16 Februari, 127 Tahun MH. Thamrin, Orang Betawi dan Nasib Kaum Miskin Kota - Telusur

16 Februari, 127 Tahun MH. Thamrin, Orang Betawi dan Nasib Kaum Miskin Kota


Telusur.co.id - Oleh : Roni Adi – Ketua Perkumpulan Betawi Kita & Pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi

Pembangunan di DKI Jakarta dan Peran Aspek Budaya Orang Betawi

Berdasarkan data BPS DKI Jakarta yang dirilis pada Senin (15/02/2021) jumlah penduduk miskin di Ibu Kota DKI Jakarta pada September 2020 meningkat menjadi 496,84 ribu orang atau 4,69 persen dari total penduduk Jakarta, masih lebih rendah dibandingkan kenaikan jumlah penduduk miskin secara nasional sebesar 11,1%.

Bila dibandingkan dengan keadaan enam bulan lalu sejak wabah Covid-19 melanda Indonesia pada Maret 2020, kenaikan ini masih relatif kecil di mana pertambahan penduduk miskin sebesar 0,16 persen. Deflasi pada kelompok bahan makanan sebesar -0,495 persen membantu meringankan beban pengeluaran konsumsi. Di sisi lain, berbagai bantuan sosial yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi berkontribusi menjaga stabilitas konsumsi masyarakat miskin dan hampir miskin di DKI Jakarta.

Berbagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi persoalan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta, namun hasilnya masih kurang memuaskan. Apalagi di tengah masa pandemi Covid-19 ini jumlah penduduk miskin di Jakarta sangat sulit dikurangi, terutama di wilayah pesisir Jakarta sejak sekitar sepuluh tahun terakhir menurut data Badan Pusat Statistik.

Diduga budaya berperan sebagai salah satu penyebabnya. Fenomena ini terjadi pada penduduk asli (Betawi) dan juga terjadi pada penduduk pendatang. Di sisi lain, terjadi pula fenomena sebagian masyarakat Betawi yang mengalami proses pemiskinan sehingga tidak bisa bertahan di Jakarta dan pindah ke pinggiran ibukota.

Menarik untuk disimak hasil penelitian mengenai orientasi nilai-budaya pada penduduk Betawi miskin vis a vis penduduk pendatang miskin yang dilakukan oleh Diana Aryanti (2011). Penelitian yang dilakukan secara mendalam pada tahun 2007 di Kelurahan Marunda (Jakarta Utara), Kelurahan Kebagusan (Jakarta Selatan), dan Kelurahan Menteng Dalam (Jakarta Selatan) dengan menggunakan metode sampling bertahap.

Hasil penelitian Diana Aryanti menunjukkan bahwa hal positif yang sudah diyakini baik penduduk Betawi maupun pendatang adalah bahwa mereka telah menyadari bahwa untuk memperbaiki taraf hidup diperlukan ikhtiar, namun cara berikhtiar pada Betawi, berbeda dengan pendatang.

Budaya yang progresif atau berpihak pada kemajuan cenderung jumlahnya lebih banyak pada kaum pendatang dibandingkan pada Betawi. Hal ini terlihat dari usaha yang lebih kongkrit, motivasi dalam berusaha, keinginan untuk berdagang, rajin/tekun dalam bekerja, keinginan untuk mencoba beragam pekerjaan, terlihat lebih kuat pada pendatang.

Sementara, Orang Betawi cenderung bersikap menerima keadaan hidupnya yang barangkali disebabkan mereka terbiasa hidup nyaman di daerahnya sendiri dan belum terlihat kecenderungan memiliki jiwa kewirausahaan. Pada beberapa kasus ditemui prinsip gengsi bila melakukan pekerjaan kasar.

Untuk saat ini keadaan penduduk miskin Betawi cenderung masih tertanggulangi oleh aset warisan tanah atau rumah atau terjamin kehidupannya oleh kerabat dekat. Keadaan ini sesungguhnya merupakan kelebihan yang disandang oleh kepala rumah tangga Betawi, namun sifatnya cenderung tidak akan abadi karena aset yang jumlahnya semakin minim itu pun bisa menjadi habis dan kehidupan kerabat dekat juga bisa jadi tak selamanya baik. Kondisi ini diam-diam justru akan membuat penduduk Betawi terlena dan akhirnya terpinggirkan, kalah bersaing dengan pendatang yang datang ke Jakarta dengan keinginan memperbaiki taraf hidupnya.

Relevansi Perjuangan MH. Thamrin & Perhimpoenan Kaoem Betawi

Mohammad Husni Thamrin, atau lebih dikenal sebagai Mat Aseni oleh teman-teman sekampungnya, merupakan pahlawan nasional kelahiran Sawah Besar (orang Betawi menyebut Sao Besar), pada 16 Februari 1894.

Dia berasal dari keluarga “gado-gado”. Kakeknya, Tuan Ort, berkebangsaan Inggris, yang menikah dengan neneknya Thamrin, Noeraini, seorang perempuan pribumi Betawi.

JJ Rizal mengungkapkan, Thamrin memilih bergerak meninggalkan kenyamanan sebagai orang superkaya Batavia dan keturunan Eropa. Ia lebih memilih memperjuangkan kaum Betawi yang kampungnya telah dirusak. Mulai dari soal tanah orang Betawi yang diserobot, nasib kampung yang dihinakan, sampai urusan minyak tanah.\

Thamrin, keluar masuk kampung becek, mandi di Kali Ciliwung, bergaul bahkan tidur bersama kalangan jelata. Ia menekankan pentingnya perbaikan jalan-jalan kampung dan sanitasi di Batavia pada masa itu. Dan Thamrin bersama Abu Bakar termasuk orang pertama yang mengkritik soal pembebasan lahan di Menteng, sebuah area pemukiman mewah pertama di masa kolonial Belanda.

Namun apakah cukup kita hanya memperingati ulang tahun Thamrin setiap tanggal 16 Februari untuk dijadikan pengingat kelahiran seorang pejuang Betawi pembela kaum miskin kota di pentas politik masa kolonial Belanda? Dan berpikir seolah-olah tanggung jawab penggerak perubahan sosial berikutnya hanya pada seorang agen seperti Thamrin tanpa berupaya melibatkan struktur dalam perubahan sosial.

Anthony Giddens (2010) menekankan pentingnya keberadaan ruang dan waktu dalam perubahan sosial. Gagasan tersebut menunjukkan bahwa ruang dan waktu tidak hanya dipandang sebagai arena, tetapi menjadi setting dari berbagai praktik dan rutinitas sosial. Dalam realitasnya, agen akan dibentuk dan membentuk struktur dalam perentangan ruang dan waktu yang melatarbelakangi berbagai interaksinya.

Untuk itu perlu juga kita sedikit mengulas sejarah kehadiran 'Perhimpoenan Kaoem Betawi' yang merupakan perkumpulan politik pertama dari masyarakat Betawi yang menggunakan nama Betawi sebagai identitasnya.

Permohonan pendiriannya pada tanggal 4 April 1923 oleh Masserie dan M. Damiri selaku Ketua dan Sekretaris perhimpoenan. Namun baru diakui pendirian sebagai badan hukum oleh pemerintah kolonial pada  22 Desember 1923. Walaupun dalam Besluit Perhimpoenan Kaoem Betawi dinyatakan bahwa perhimpoenan telah berdiri 29 tahun atau sejak tahun 1894.

Perhimpoenan ini lahir sebagai hasil dari meluasnya pendidikan barat di kalangan orang Betawi akibat dari politik etis pemerintah kolonial Belanda. Dalam perkembangan kemudian timbul semangat di antara organisasi-organisasi kedaerahan yang ada di Batavia termasuk Perhimpoenan Kaoem Betawi untuk melepas kedaerahan mereka menuju solidaritas kesatuan Indonesia yang melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.

Siswantari dalam diskusi Betawi Kita ke-33 pada 21 Juli 2019 menyebutkan bahwa tujuan pendirian Perhimpoenan Kaoem Betawi seperti  yang tercantum dalam Majalah Tjahaja Betawi pada 15 Juli 1923 adalah sebagai berikut :

- Memadjoekan Boemipoetera Betawi serta sekalian Boemipoetera Hindia Nederland, dalam hal onderwijs, perniagaan dan pertoekangan.

- Memperhatikan segala keperloean bagi Boemipoetera Betawi serta sekalian Boemipoetera di Hindia-Nederland dengan daja oepaja jang tiada melanggar wet negeri teroetama perihal kesehatan.

Setelah Thamrin masuk ke dalam Parindra tahun 1935 dan selepas kepemimpinan Abdul Manaf di Perhimpoenan Kaoem Betawi pada tahun 1940 sepertinya orang Betawi belum menemukan kembali seorang tokoh pejuang kaum Betawi yang gigih membela kepentingan nasib kaum miskin kota dan hadirnya kembali organisasi seperti Perhimpoenan Kaoem Betawi yang gigih memperjuangkan solidaritas kaum Betawi sekaligus persatuan kebangsaan Indonesia.

Penutup

Soedjatmoko (1954) pernah mengingatkan bahwa pembangunan ekonomi bukanlah suatu proses ekonomi semata-mata, melainkan suatu penjelmaan dari perubahan sosial dan kebudayaan yang meliputi bangsa kita di dalam kebulatannya. Untuk itu kita harus mempertimbangkan peranan agama dan unsur-unsur di dalam warisan kebudayaan nenek moyang kita. Menurut Soedjatmoko, unsur-unsur yang positif perlu dihidupkan kembali dan yang negatif perlu diinterpretasikan ulang agar pembangunan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik.

Program pembangunan dan penanggulangan kemiskinan di DKI Jakarta hendaknya tidak sekadar menambah anggaran dan menambah jenis program pengentasan kemiskinan semata, namun perlu memperhatikan prilaku dari target sasaran program. Untuk mewujudkannya, perlu perhatian terhadap upaya memahami orientasi nilai budaya mereka (baik Betawi maupun pendatang) dalam menyusun kebijakan program pembangunan yang akan diambil.

Ke depan perlu perhatian lebih besar pada penduduk Betawi, untuk memberikan bantuan pendidikan setidaknya sampai jenjang SLTA (dan beasiswa perguruan tinggi bagi siswa yang berbakat) dan memberikan pelatihan bagaimana menggugah mereka untuk meningkatkan motivasi dari diri sendiri dan berupaya meningkatkan taraf hidup. Untuk penduduk miskin yang saat ini terlanjur hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat dasar, agar bisa mendapatkan penghasilan yang layak, perlu proaktif diajak mengikuti program Jakprenuer, pengembangan program kewirausahaan terpadu (d/h program OK OCE) untuk merubah mindset agar orang Betawi lebih produktif dan memberikan penyediaan modal usaha dengan bunga pinjaman rendah dan tenor cukup panjang untuk meningkatkan wirausaha / perdagangan serta membantu akses pasar.

Kita juga perlu melahirkan kembali tokoh-tokoh politik dan pegiat ormas kebetawian yang memiliki militansi dalam memperjuangkan hajat hidup orang banyak Betawi sekaligus memiliki jaringan pergaulan yang luas di lingkungan nasional serta melakukan institusionalisasi gerakan advokasi dan kontrol sosial masyarakat Betawi terhadap jalannya pembangunan di DKI Jakarta yang seringkali terjadi tarik menarik kepentingan antara kepentingan wilayah dan nasional. Sudah saatnya pula pegiat budaya Betawi dan intelektual Betawi melakukan sinergitas dengan penyelenggara urusan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yaitu Pemprov DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta agar dapat memberikan masukan dan usulan program-program pro rakyat miskin Jakarta yang tidak hanya untuk kalangan Betawi saja.


Tinggalkan Komentar