Apresiasi Gerindra Dorong Pegawai KPK Jadi ASN, IPW: Supaya Tidak Tebang Pilih - Telusur

Apresiasi Gerindra Dorong Pegawai KPK Jadi ASN, IPW: Supaya Tidak Tebang Pilih

Ketua Presidium IPW, Neta S Pane. (Foto: telusur.co.id).

telusur.co.id - Ind Police Watch (IPW) memberi apresiasi pada Partai Gerindra yang mendorong agar status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab itu IPW mendesak Presiden Jokowi agar segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang penjabaran UU KPK mengenai status ASN pegawai KPK.

Ketua Presidium IPW Neta S Pane mwngatakan, dengan keluarnya PP tersebut, jenjang karir pegawai KPK semakin jelas dan masa depannya pun semakin jelas. 

"Tidak seperti sekarang, jenjang karir pegawai KPK tidak jelas juntrungannya. Ada pegawai yang sudah puluhan tahun atau sejak KPK berdiri, bertugas di tempat yang sama hingga kini. Akibatnya, jenjang karirnya tidak jelas dan pegawai tersebut cenderung 'membangun kerajaan sendiri' di tubuh KPK," kata Neta dalam keterangan pers yang diterima wartawan, Jumat (7/8/20).

Dorongan Partai Gerindra terhadap status ASN pegawai KPK ini disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Arief Poyuono kepada wartawan, Kamis (6/8/20) kemarin. Arief mengatakan, dengan berstatus ASN, maka ASN KPK bisa jadi percontohan bagi ASN di lembaga dan institusi negara yang lainnya. Setidaknya, bisa menciptakan institusi yang clean governance dan bebas korupsi serta menularkan budaya antikorupsi kepada instusi negara. 

"Apa yang disampaikan tokoh Gerindra ini adalah sesuatu yang sangat tepat dan perlu dicermati semua pihak, terutama oleh Presiden Jokowi," ujar Neta.

IPW menilai, dengan keluarnya PP ASN KPK, para pegawai lembaga anti rasuah tersebut bisa digeser ke berbagai departemen dan institusi pemerintah untuk menggetok tularkan semangat anti korupsi. Pergeseran ini berdampak positif bagi KPK karena lembaga anti rasuah itu bisa segera dikonsolidasikan oleh para pimpinannya. 

"Selama ini IPW melihat, internal KPK terpecah empat kelompok, yakni antara Polisi Taliban, Polisi India, Kelompok Auditor, dan Kelompok Netral. Jika perpecahan ini terus berlanjut tentunya masyarakat yang menjadi korban. Arah pemberantasan korupsi semakin tidak jelas, tebang pilih terus terjadi, dan dominas kelompok mayoritas di KPK terus mencengkram, yakni kelompok Polisi Taliban," papar Neta.

Neta menjelaskan, salah satu contoh nyata tebang pilihnya pemberantasan korupsi yang dilakukan kelompok mayoritas KPK adalah dalam kasus ditangkapnya sejumlah anggota DPRD Sumut. Ada tiga tahap penangkapan terhadap anggota DPRD Sumut yang dilakukan KPK, yang terakhir dilakukan akhir Juli lalu. Hampir semua anggota fraksi di DPRD Sumut ditahan KPK, tapi dari Fraksi PKS hanya satu orang. Sementara figur pemberian uang dan pengusaha pemilik asal uang dari kasus itu tidak disentuh KPK. 

"Jika cara cara tebang pilih ini terus dilakukan KPK tentu akan berbahaya bagi pemberantasan korupsi itu sendiri. Cara ini seolah ingin mengkriminalisasi kelompok tertentu dan melindungi kelompok lainnya," ungkap Neta. 

Neta menambahkan, dalam konteks pilkada serentak, cara kerja KPK ini akan membuat kampanye hitam bahwa partai-partai yang figurnya ditahan adalah figur figur kotor, sementara figur partai yang tidak ditahan adalah figur bersih. Menurutnya, jika aksi ini dibiarkan, cara kerja KPK akan menjadi predator bagi demokrasi. 

Untuk itu, kata sia, KPK perlu dikonsolidasikan agar kelompok tertentu tidak menjadi penguasa yang bisa seenaknya melakukan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. 

"Salah satu cara mengkonsolidasikan KPK adalah Presiden Jokowi segera mengeluarkan PP ASN untuk pegawai KPK, apalagi Partai Gerindra sudah mendorongnya, sehingga tidak ada alasan bagi Jokowi untuk menunda nunda keluarnya PP tersebut," pungkasnya. [Tp]


Tinggalkan Komentar