Betawi diantara Arab dan Cina: dari Melting Pot menjadi Cracking Pot - Telusur

Betawi diantara Arab dan Cina: dari Melting Pot menjadi Cracking Pot


Telusur.co.id - Oleh: Mahfuz Sidik, Sekjen Partai Gelora Indonesia

Saya lahir dan besar dari keluarga etnis betawi. Kedua ortu dan kakek-nenek saya asli betawi. Sehari-hari berbahasa betawi yang kosakatanya banyak serapan dari bahasa arab dan cina.

Sahdan, garis ibu saya ada campuran arab, sementara garis ayah saya ada campuran cina.

Maka banyak keluarga besar dari ibu yang bernama (harian) Bari, Ida, Akim, Uwoh - yang sangat lekat dengan kosakata Arab. Lalu keluarga besar dari ayah ada yang nama (panggilan) Oing, Oni, Yati, Papat - yang lekat dengan kosakata cina.

Saya manggil kekek dari garis ibu dgn sebutan "Abe", sedang dari garis ayah "kong".

Tiap kali ada acara selamatan di rumah, ibu saya biasa masak nasi uduk, olahan versi light dari nasi kebuli. Tapi saat lebaran, (dulu) selalu terhidang dodol betawi dan dodol Cina. Makanan asli Cina, bedanya yang satu berwarna coklat pekat, satunya berwarna lebih kekuningan.

Tapi tradisi keagamaan dan budi pekerti, orang betawi sangat melayu. Paduan antara arab dan melayu melahirkan tradisi keagamaan yang condong tarekat ala nahdiyin. Maka ikatan spiritual antara muslim (santri) betawi dengan habaib terkategori sangat dekat. Semasa kecil saya biasa diajak ibu ke kediaman (alm) habib Umar al-Attas di bilangan pasar minggu untuk didoain dan di"sembur".

Tetapi untuk tradisi pengobatan misalnya, adopsi tradisi pengobatan tradisional cina sangat lumrah ditemukan. Saat saya kecil jika pipi mengalami inflamasi (pembengkakan) biasanya dibawa ke engkoh cina warung buncit untuk di"paraf" pakai blauw dan di"boreh" pakai telor kodok.

Saya punya tetangga di warung buncit 9 (sekarang jalan Mampang Prapatan 12) yang menantunya cina muallaf, setelah haji dipanggil "haji oman". Kesalehan dan kefasehannya gak kalah dengan yang betawi muslim asli.

Di wilayah mampang prapatan dan sekitarnya (dikenal sebagai basis betawi santri), perkawinan campuran betawi-arab dan betawi-cina kerap terjadi. Yang langka adalah perkawinan campuran arab dan cina.

Saat usia SMP, saya pernah naksir dengan sepupu jauh yang berdarah cina. Saat SMA, saya pernah naksir dengan sepupu jauh yang berdarah arab. Keduanya gak ada yang kesampean, karena keduanya dari keluarga yang tergolong kaya. Sementara saya hanya dari keluarga seorang guru. Sisi hirarki sosial kadang masih berperan dalam pola relasi perkawinan di betawi, yang nampaknya lebih sebagai pengaruh dari budaya arab dan cina.

Tetapi hal yang saya rasakan dan alami dalam komunitas budaya betawi, ada perpaduan harmonis antara budaya betawi, arab dan cina. Istilahnya betawi menjadi "melting pot" bagi keduanya. Dalam setiap acara syukuran atau keriaan, rebana dan petasan selalu hadir bersamaan dan kompak. Begitu rebana berbunyi, maka petasan pun meledak susul menyusul. Mengiringi calon pengantin, bocah sunat, babe haji dan nyai hajah yang baru pulang naik kapal gunung jati dari mekah, dst. Rebana dari budaya arab, petasan dari budaya cina.

Bagi komunitas betawi "pinggiran" atau asosiatif dengan istilah "abangan", pengaruh budaya cina lebih kuat daripada arab. Makanya tarian topeng betawi misalnya, kostum penari perempuannya 99% mengadopsi model pakaian cina. Tetapi wilayah betawi pinggiran juga secara geografis berdekatan dengan komunitas dan budaya jawa barat (sunda dan pantura). Makanya gerak tari topeng betawi dan lenong misalnya sarat dengan 3G (goyang, gitek, geol) khas jaipongan. Tradisi pencak silat dan jawara juga lebih subur di kawasan ini. Seni bela diri silat yang akar gerakannya banyak dipengaruhi oleh gerak seni beladiri tradisional cina.

Posisi sebagai melting pot dan suasana harmonious mixture dari tiga entitas budaya ini saya masih rasakan kuat hingga tahun 80-an.

Lalu muncullah angin perubahan sejak era 90-an. Ada mazhab purifikasi agama yang berpadu dengan fikroh takfiri. Angin yang entah berembus dari mana, tapi sampai ke dataran rendah kampung-kampung betawi. Makin lama angin itu menguat hembusannya dan mulai menggoyang sendi-sendi tradisi dan relasi mix-culture betawi. Di saat bersamaan, para pegiat demokrasi mulai ramai beraksi di senayan melewati jalan-jalan kampung betawi. Isu ketimpangan ekonomi dan marjinalisasi pribumi jadi aroma baru yang terendus hidung banyak pemuda betawi yang gak bisa nyambung sekolah. Mereka setiap hari kumpul di ujung gang dengan motor ojegnya.

Tiba-tiba seiring bergesernya masa,  orang betawi mulai memandang arab dan cina dengan cara yang berbeda. Orang betawi tiba-tiba seperti dihimpit oleh dua sisi medan magnit yang berbeda; positif dan negatif. Ada tarikan kuat ke arab, dan tekanan kuat ke cina. Ke atas, orang betawi melihat penguasa sebagai penindas yang harus dilawan.

Situasi itu terus berlangsung dan menjalar dari generasi ke generasi orang betawi. Tapi arus itu tidak pernah menjadi kuat dan terarah. Karena warga betawi tidak pernah bisa berdiri kokoh dan survive dengan dirinya sendiri.

Pembangunan kota yang masih sejak era gubernur Ali Sadikin justru menggerus pondasi keberadaan dan ikatan kolektif warga betawi. Tanah yang makin menyempit, pendidikan yang tidak manjadi jembatan mobilitas, dari tradisi keagamaan yang menciptakan mental fatalis; membuat warga betawi makin termarginalisasi.

Modernitas menjadi keniscayaan bagi sebuah kota. Sosok bang Benyamin di pilem-pilem dan di tivi, menjadi eskapisme psikologis orang betawi. Tapi mereka juga tidak pernah menemukan sosok betawi yang harus seperti apa pada diri (alm) bang Benyamin Syuaib.

Pilpres 2014, tiba-tiba kota Jakarta berubah jadi episentrum politik identitas (yang direkayasa). Lanjut pilkada 2017 untuk memilih Gubernur DKI Jakarta, makin pekat aroma politik identitas dan politik pembelahan. "Pot Betawi" mulai retak. Arab dan Cina tiba-tiba berubah menjadi progonis dan antagonis. Orang betawi "dipaksa memilih". Tetiba kampung-kampung betawi terasa lebih banyak malaikatnya karena disulap jadi kampung jihad. Setiap khutbah jumat di masjid dekat rumah di kawasan pela mampang, penuh dengan seruan jihad politik.

Mendidihnya darah warga betawi ternyata panjang durasinya. Pusing bayar kontrakan dan ojeg pangkalan yang makin tergusur ojol, jadi bensin tambahannya. Masuklah Pilpres 2019. Isu asing-aseng, islamis-nasionalis, hingga surga-neraka menjadi warna yang makin pekat dalam bincang dan gerak sepanjang proses pemilu yang paling melelahkan.

Keep cracking... Betawi kini bukan lagi pot yang memadukan 3 entitas kultur besar melayu-arab-cina. Warga Betawi tanpa sadar sedang terus memecah bejana (pot) nya dan mengubahnya sebagai wadah konflik. Ironinya, jika cracking pot ini terus berlangsung, bukan saja perpaduan harmonis betawi-arab-cina yang terurai dan tercerai, tapi entitas betawi pun akhirnya akan kehilangan habitat hidupnya.

Apakah saya sedang menyalahkan warga betawi? Tentu saja tidak, karena saya bagian inheren dari betawi. Tapi saya harus mengatakan bahwa tangan-tangan di luar sana dengan teganya menjadikan "betawi" sebagai lahan pertarungan kepentingannya masing-masing.

Mungkin sudah saatnya, warga betawi untuk serius ngaji politik agar kampungnya tetap terjaga dan warganya menjadi bahagia.


Tinggalkan Komentar