Bukan Debat Utang, Jokowi Harus Terapkan Politik Kencangkan Ikat Pinggang - Telusur

Bukan Debat Utang, Jokowi Harus Terapkan Politik Kencangkan Ikat Pinggang


Oleh: Salamuddin Daeng

 

SUDAH pasti Pemerintah Jokowi tidak akan sanggup membayar utang jatuh Tempo tahun ini senilai kurang lebih Rp 450 T. Dikarenakan seluruh penerimaan pajak dan PNBP ambruk, jauh dibandingkan target yang ditetapkan APBN. Pemicunya adalah ambruknya harga minyak dan komoditas serta pelemahan konsumsi.

Sementara sumber keuangan yang diharapkan akan diperoleh dari pinjaman dalam mata uang asing baik itu dari pasar keuangan maupun dari multilateral dan bilateral sudah tidak dapat diharapkan. Peringkat utang pemerintah sudah negatif turun dari invertment grade dan stabil.

Demikian juga sumber utang dari dalam negeri sudah menipis. Ini dikarena kan dana bank sudah lama tersedot ke dalam Surat Utang Negara (SUN), demikian juga dana publik seperti dana haji, dana asabri, dana Jamsostek, dan taspen, dana perusahaan asuransi seluruhnya telah disedot sejak lama ke dalam SUN. Jadi mau dapat utangan dari mana? Sudah tak ada lagi.

Usaha pemerintah untuk meminta BI membeli obligasi pemerintah di pasar perdana tampaknya tak akan berani dilaksanakan secara penuh. BI tak akan berani karena masih tersandera dengan masalah obligasi akibat BLBI dan Century yang mewariskan beban luar biasa besar pada APBN yang harus dibayar pemerintah kepada BI setiap tahun.

Boro-boro pemeritah mau menolong BUMN yang juga tengah kolaps akibat utang menumpuk, pemerintah tak akan sanggup. Utang pemerintah dan BUMN sekarang sekitar Rp. 12.000 triliun. Amblas dah! Rencana anggaran yang dibuat menteri keuangan adalah hanyalah karangan bebas yang dibuat di “atas lutut” tanpa pijakan dan asumsi yang jelas. Akibatnya setiap hari dan jam rencana itu berubah ubah. 

Bagaimana tidak disimpulkan sebagai APBN karangan ngawur. Pemerintahan menargetkan utang bruto senilai Rp 1600 triliun, naik Rp 500 triliun dari target APBN dalam Perpres 54 tahun 2020. Darimana dan siapa mau kasih utang sebesar itu. Lagipula kalau dapat bagaimana membayarnya? Utang yang ada sekarang saja meski dalam situasi normal tidak bisa dibayar.

Lebih ngawur lagi aadapah APBN mau digunakan untuk menolong beberapa perusahaan atau korporasi yang memesan suntikan dana. Hal itu akan menimbulkan resiko berlipat ganda lagi.  Penggunaan dana hasil pajak yang sudah tipis untuk menolong korporasi adalah tindakan konyol.  Koncoisme dalam pemanfaatan APBN melanggar nilai moral, kaidah kaidah universal dalam pemgelolaan anggaran publik.

Jadi, kesimpulan sekarang adalah pemerintah gagal anggaran, tak ada jalan keluarnya. Gagal anggaran berarti goverment shutdown, pemerintahan bubar. Memang belum pernah terjadi, belum ada pengalaman sejarah pemerintah bernasib seperti ini. Kekuasaan begitu besar, hasil dari Perppu No 1 tahun 2020, tapi kantong pemerintah kempes tak bisa membiayai kekuasaanya.

Seharusnya pemerintah menempuh politik ikat pinggang, membubarkan kementerian dan lembaga yang selama ini hanya memboroskan anggaran dan tak jelas pekerjaannya, seperti Kementerian Kemaritiman dan invetasi, dan kementerian serta lembaga lain yang tidak diperlukan sama sekali oleh rakyat. Kalau tak mau politik kencangkan ikat pinggang, maka cara kemplang utang boleh dicoba.  Begitu ya ...[***]


Tinggalkan Komentar