Oleh: Suroto*

Setiap orang butuh uang, baik mereka yang tinggal di kota metropolitan hingga di pedalaman. Barang yang satu ini hampir tak bisa dihindari oleh siapapun. Untuk membeli makanan, membayar biaya sekolah, beli rumah, beli kendaraan, sampai hal hal kecil bayar parkir, dan bahkan bayar kencing di toilet. 

Orang bekerja setengah mati intinya untuk mendapatkan uang. Petani menanam, panenanya untuk dijual dan mendapatkan uang. Pedagang berjualan sepanjang hari untuk hasilkan uang. Orang bekerja setengah mati untuk mendapatkan uang. 

Intinya uang telah menjadi kebutuhan siapapun. Orang berspekulasi dengan menanamkan uangnya alias investasi juga ujung ujungnya untuk mendapatkan uang. 

Masalahnya, ketika orang tidak dapat mengatur keuangan dengan baik akhirnya banyak yang terjebak pada utang pada rentenir. Pinjaman uang  yang bunganya  20 hingga 30 persen per bulan. 

Praktek yang terjadi di masyarakat kecil terutama, rentenir itu berikan pinjaman 100 ribu, dipotong di depan 10 ribu dan hanya terima 90 ribu. Lalu mengangsur harian hingga jumlahnya 120 ribu. Ini artinya satu bulan musti bayar bunga 30 ribu atau 33 persen. Peminjamnya, terutama rakyat jelata seperti buruh tani, buruh pabrik, pedagang kaki lima, dan lain lain.  Rakyat jelata yang sering kepepet hadapi kebutuhan hidup sehari hari akhirnya hidupnya terjerat oleh praktek rentenir ini.

Pemerintah dari sejak dulu kala selalu membuat program untuk bebaskan masyarakat dari jerat rentenir. Tapi upaya untuk memberantasnya sampai hari ini belum ada yang benar benar berhasil.  Masyarakat dimana mana masih tetap masif jadi korban jerat ribawi ini. Malahan,  ada salah satu Direktur Utama bank BUMN yang katakan kalau mereka itu bekerjasama memang dengan para rentenir. 

Dalam istilah lain, rentenir itu disebut sebagai bank ngrolasi,  bank ucek ucek, bank plecit. Disebut sebagai bank ngrolasi karena pihak bank tersebut menduabelaskan atau ngrolasi pinjaman seperti yang dijelaskan di atas.  Disebut bank ucek-ucek karena para kolektor bank itu untuk mendapatkan angsuranya memang harus mengucek ucek atau datangi peminjamnya setiap hari ke rumah. Disebut bank plecit karena peminjamnya harus diplecit atau yang dalam bahasa Indonesia artinya dikejar kejar. 

Ada banyak istilah lain dari rentenir ini di seluruh Indonesia, kalau di Sumatra istilahnya Penggalas, kalau di daerah Indonesia Timur seperti di NTT, Ambon, Papua namanya Bank Selamat Pagi. Sebab pagi pagi sekali mereka sudah datang menagih angsuran. 

Penyebutan istilah rentenir terdengar sangat sinis. Peminjamnya sebetulnya membenci perilaku rentenir ini. Tapi apa daya, karena kebutuhan hidup yang mepet mereka tetap saja mengharapkan pinjaman dari para rentenir. Mereka benci tapi rindu. Sebab rentenir itu menawarkan solusi ketika kesulitan hidup tak dapat dihindar.  

Membangun Bank Milik Sendiri (BMS)

Di masa saya kuliah, pernah  kumpulkan para tukang becak yang ada di pangkalan kampus. Tak terduga, mereka ternyata semua korban dari rentenir atau bank ngrolasi. 

Para tukang becak yang jumlahnya sekitar 80 an orang waktu itu saya minta untuk bentuk bank milik sendiri. Caranya sangat sederhana, kumpulkan uang dengan cara kurangi rokok sebatang setiap hari. Dari penyisihan uang rokok sebatang sehari, terkumpulah modal yang cukup untuk dipinjamkan kepada anggota mereka sendiri. 

Mereka buat aturan main sendiri.  Mereka terapkan kebijakan penetapan bunga sebesar 1,5 persen dari pinjaman secara tetap. Lalu  maksimal besarnya pinjaman yang mengikuti jumlah dana yang tersedia. Bunga yang dibayarkan 1 persennya  dijadikan sebagai pendapatan bank mereka dan 0,5 persen dijadikan sebagai tabungan mereka yang meminjam. 

Lambat laun, para tukang becak itu akhirnya terbebas dari rentenir semua. Tak hanya itu, mereka akhirnya juga dapat membeli becaknya sendiri bagi mereka  yang status becaknya tadinya sewa dari juragan becak. 

Hal yang mengaggetkan lagi adalah ternyata dengan adanya bank milik mereka sendiri tersebut banyak yang memiliki usaha sampingan di rumahnya. Seperti misalnya jualan lotek, tebasan bambu untuk dijual di pasar, buat usaha penggemukan kambing ketika akan datang hari kurban, usaha lele dengan media terpal, dan lain lain. 

Model usaha yang mereka kembangkan ada usaha yang sifatnya individual dan ada yang kolektif. Kalau yang kolektif biasanya butuh modal lebih banyak. Sehingga mereka perlu melakukan pinjaman bersama. Bagian keuntunganya dibagi kepada yang mengelola, untuk yang memodali dan  juga sebagian ada yang ditambahkan untuk tambahkan modal bank mereka. 

Hal yang sangat mengherankan adalah, semua bisnis sektor riil yang mereka kembangkan itu tidak ada yang dimulai dengan program pendidikan dan pelatihan. Ternyata tiap tiap anggota itu telah lama menyimpan keterampilan berbisnis. Selama ini mereka ternyata sudah punya mimpi bahwa jika satu saat mereka memiliki modal akan lakukan bisnis bisnis tersebut. 

Mereka juga terlihat sangat hebat dalam berorganisasi. Mereka pilih sendiri pengurusnya di antara mereka dengan kriteria penting ; orang jujur dan suka mengabdi. Mereka tanpa dimanipulasi oleh siapapun, sudah tahu siapa tepat untuk mereka pilih jadi pengurus. 

Tak hanya itu, hal yang mengagetkan lagi adalah, kebiasaan berjudi dipangkalan berhenti. Mereka juga menjadi sangat terlihat punya rencana hidup yang lebih baik seperti perhatian terhadap anak dengan rajin menabung untuk tujuan biayai pendidikan anak anak mereka dengan alasan agar ada perubahan nasib generasi. 

Itu satu pengalaman kecil ketika masa kuliah dulu. Pengalaman lainya adalah di kantor tempat saya bekerja dimana kebetulan dipercaya sebagai manajer. 

Hampir semua karyawan di tempat kerja saya itu awalnya melakukan kas bon. Pinjam uang ke perusahaan dan kemudian pembayaranya di potong dari gaji bulanan mereka. 

Saya pikir kas bon itu terasa sangat mengganggu karena aliran kas perusahaan menjadi tidak sehat.  Ada penggunaan dana yang peruntukanya bukan untuk tujuan usaha. Sehingga secara rasio kesehatan bisnis menjadi tidak normal. Aktifitas kas bon tersebut juga tentu menggangu pekerjaan staf keuangan. 

Berangkat dari kondisi di atas, akhirnya saya coba kembangkan Bank Milik Sendiri ( BMS). Caranya minta kepada semua karyawan  agar menabung bersama sama di staf keuangan. Saya beri nama BMS COGITO.  

Ide ini awalnya ternyata tidak jalan. Sebab semua orang enggan karena mereka pikir gaji mereka itu untuk biayai kebutuhan bukanan keluarga mereka saja tidak cukup. Hal tersebut persis seperti yang ada dalam teori ekonomi yang saya pelajari di fakultas ekonomi. 

Teorinya, yang namanya tabungan ( T ) adalah merupakan sisa dari pendapatan (P ) yang dikonsumsi ( K). Notasinya P = K+T.  Jadi intinya tabungan itu adalah sisa dari konsumsi. Masalahnya, pola konsumsi itu meningkat sesuai dengan tingkat pendapatanya. Pendapatannya meningkat maka gaya konsumsinya juga meningkat. Polanya begitu meningkat pendapatanya, keinginanya juga terus meningkat. Jadi sulit diharapkan untuk dapat menabung.  

Manusia ternyata pada umumnya keinginanya itu tak terbatas. Saya berfikir dengan demikian maka berapapun pendapatan orang itu kalau hanya menuruti keinginanya maka tidak akan ada batasnya. 

Tadinya yang hanya berpendapatan 2 juta sebulan uangnya habis untuk dikonsumsi. Ketika pendapatanya meningkat jadi 3 juta juga akan juga habis dikonsumsi.  Bahkan jika keinginanya tidak terkendali maka mereka akhirnya malah harus berhutang dan jadi bulan bulanan rentenir. 

Pola konsumsi orang yang keinginanya  tak terkendali itu ternyata ciptakan hidup yang tidak sehat. Keinginan mereka ternyata seringkali selain ciptakan pemborosan juga memiliki karakter membeli barang barang yang sesungguhnya tak diperlukan.  Mereka rata rata tidak memiliki rasa tanggungjawab terhadap masa depan dan selalu menggantungkan pada pinjaman pada orang lain atau bank untuk penuhi kebutuhanya. Termausk untuk kebutuhan darurat seperti sakit, terkena musibah, dan lain lain.    

Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk karyawan toko tempat saya bekerja. Saya melihat hal ini terjadi pada siapapun juga. Terjadi di semua profesi, bahkan semua orang. Ternyata benar, musuh terbesar manusia itu memang keinginanya sendiri. Hanya mereka yang mampu mengendalikan keinginanya saja yang akhirnya dapat terselamatkan hidupnya dan hidup lebih bahagia. 

Akhirnya saya berfikir keras, kalau caranya begini tak mungkin bank akan jalan. Lalu saya tanyakan kepada karyawan saya, apakah mereka ada yang punya pinjaman di bank.  Mereka ternyata banyak yang pinjam ke bank umum konvensional sampai dengan BPR ( Bank Perkreditan Rakyat) hingga rentenir juga. Lalu saya katakan pada mereka kenapa tidak buat BMS dan bebaskan diri dari rentenir?. 

Idenya persis seperti yang saya terapkan di komunitas tukang becak. Saya tabungkan uang saya sebagai contoh. Lalu karyawan yang pinjam uang sebagai pengganti kas bon juga harus bayar bunga sebesar 1,5 persen. 1 persenya jadi pendapatan BMS dan 0,5 persennya untuk dijadikan tabungan peminjam. 

Sampai akhir tahun ternyata hasilnya luar biasa. Putaran pinjamanya ternyata sangat besar dan akhirnya pendapatan bunga banknya menjadi sangat besar. Pinjaman jangka pendek maksimal satu bulan yang ternyata sangat banyak.

Setelah berjalan satu tahun, saya minta kepada staf keuangan untuk buat laporan keuangan tahunan BMS tersebut. Kemudian undang rapat semua karyawan untuk saya jelaskan betapa pentingnya BMS. 

Dalam rapat karyawan tersebut, saya katakan kalau ada keuntungan BMS yang didapat dari bunga 1 persen. Kemudian juga dilaporkan kepada mereka ada tabungan dari angsuran yang dipinjam oleh mereka sebesar 0,5 persen. Lalu saya katakan jika ada yang mau mengganti modal awal maka mereka akan mendapatkan keuntungan bank tersebut. 

Perhitungan sederhananya, jika keuntungan bank 10 juta dari modal 50 juta maka jika ada yang mau menabung 10 juta maka mereka langsung mendapatkan bagian keuntungan sebesar = 10 juta x (10 juta/50 juta × 100/100). Maka orang itu akan mendapatkan bagian keuntungan langsung sebesar 2 juta. 

Karyawan toko kami langsung tertarik dan tak disangka ternyata di antara mereka ada yang selama ini menabung uanganya di bank cukup banyak. Mereka menjadi bersemangat untuk menarik tabunganya di bank lalu menyimpannya di BMS. Siapa yang menabung lebih banyak maka mereka akan mendapatkan keuntungan lebih banyak. 

Di BMS ini, nasabah atau anggota tak hanya mendapatkan keuntungan berdasarkan besaran tabunganya, tapi mereka terus mendapatkan laporan perkembangan dari pengelolaan uang mereka. Dilaporkan oleh pengurus yang juga mereka pilih sendiri dengan kriteria yang sama dengan komunitas tukang becak ; mereka yang jujur dan suka mengabdi. 

Seperti halnya di komunitas tukang becak. Anggota BMS itu banyak yang pinjam untuk usaha usaha produktif. Ada yang pinjam untuk bangun usaha kos kosan, untuk buka warung di rumah, dan lain lain. Mereka menjadi berkinerja tinggi dan semakin loyal dalam bekerja di perusahaan karena mereka tak lagi hanya andalkan pendapatan dari gaji untuk penuhi kebutuhan. Kewirausahaan mereka juga meningkat.  

Dalam perkembanganya, pengurusnya dipilih secara rutin dan diganti setiap dua tahun. Mereka diberi semacam insentif atau uang kehormatan berdasarkan prosentase keuntungan yang disepakati. Untuk menjaga agar bilamana terjadi kredit macet karena masalah yang tak dapat dihindari seperti yang peminjam sakit permanen atau meninggal dunia maka mereka alokasikan sebagian keuntungan sebagai cadangan resiko untuk memutihkan uang yang macet tersebut. 

Masa Depan BMS

Dua contoh praktek lembaga keuangan milik sendiri di atas adalah contoh yang masih sangat sederhana bagaimana praktek melepaskan diri dari jerat rentenir dan menata kehidupan keluarga.  Tapi dampaknya tentu sangat signifikan dan penting bagi kehidupan rakyat jelata. 

BMS tersebut tentu apabila terus berkembang, akan menjadi kekuatan tangguh penyangga ekonomi rakyat. Sistemnya juga tentu perlu dikembangkan. Seperti misalnya ; pembuatan badan hukum dan perizinan, perbaikan sistem kebijakan lembaga, perluasan anggota, peningkatan kapasitas pengelolaan/ manajemen, pengembangan kualitas sumberdaya manusia, pengembangan teknologi, pembinaan khusus usaha usaha produktif anggota baik yang dilakukan secara sendiri maupun kolektif, maupun pembentukan jaringan kerja antar BMS dan juga pembentukan lembaga lembaga pendukung laimya. 

Badan tersebut dapat ditingkatkan jadi badan hukum Koperasi untuk menjamin agar ada  pemisahan harta pribadi dengan modal lembaga. Badan hukum ini juga berfungsi untuk menjamin kejelasan tanggungjawab hukum lembaga ketika jalin kerjasama baik antar BMS maupun dengan lembaga lembaga lainya. 

Kebijakan lembaga juga dapat terus dikembangkan misalnya ketika sebelumnya hanya berikan bagian keuntungan bank berdasarkan simpanan juga bisa didasarkan pertimbangan pinjaman. Sebab jika tabungan anggota meningkat terus dan semakin sedikit yang pinjam maka perlu perubahan kebijakan untuk memberikan insentif bagi mereka yang pinjam. Ini penting untuk mencegah agar dana tidak mengendap terlalu banyak yang juga menjadikan lembaga menjadi tidak sehat dan uang yang ada menjadi tidak produktif. 

Jika BMS telah badan hukum koperasi maka dapat dilakukan perluasan anggota. Seperti misalnya merekrut  keluarga anggota seperti ; anak, suami, istri atau keluarga dekat mereka seperti adik, kakak, orang tua, mertua, paman, bibi, bude atau pakde dan  lain lain yang kemudian dapat meluas ke keluarga besar lebih luas yang pada akhirnya dapat menjaring seluruh masyarakat. 

Dalam perkembanganya juga tentu pengelolaanya akan semakin kompleks dan membutuhkan penanganan secara  profesional. Perlu mengangkat manajer dan staf yang tak lagi kerja paro waktu tapi secara purna waktu dan bergaji. Perlu penambahan pengetahuan terus menerus dari seluruh SDM yang ada baik dalam memahami prinsip, struktur organisasi koperasi maupun kemampuan lainya dari semua yang terlibat di koperasi BMS. 

Usaha usaha produktif anggota juga tentu ketika terus berkembang perlu konsultan konsultan manajemen dan pemberdayaan sosial ekonomi. Bahkan juga butuh tenaga konsultan untuk tujuan pengembangan usaha usaha anggota secara kolektif dalam bentuk koperasi sektor riil seperti : koperasi perdagangan, pertanian, peternakan, perikanan, industri rumah tangga,  dan lain lain. Bahkan bentuk usaha layanan publik seperti sekolah, kampus, rumah sakit, perlistrikan dan lain lain. 

Koperasi BMS ini juga dapat kembangkan jaringan kerja antar BMS dalam bentuk federasi nasional untuk tujuan tujuan misalnya penyelenggaraan silang simpan dan silang pinjam antar BMS, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pengurus, pengawas dan manajer, pembentukan lembaga penjamin simpanan anggota, membentuk jaringan kerja koperasi sektor riil yang telah dikembangkan anggota anggota koperasi dan lain lain. 

Dalam pikiran saya, andaikan koperasi BMS ini lalu dirintis oleh para pekerja di tiap tiap kantor, di tiap tiap organisasi atau komunitas, maka tentu masyarakat akan bebas rentenir semua. Bahkan bank bank konvensional milik perorangan yang dikelola secara kapitalistik yang hanya jadikan nasabah sebagai obyek kebijakan mereka dan hanya untungkan segelintir orang kaya investor pemilik banknya akan tutup semua. Jaringan usaha usaha koperasi sektor riil yang dikembangkan anggota bahkan jika berhasil membentuk federasi nasional maka akan dapat menggusur seluruh jaringan usaha konglomerat yang selama ini hanya keruk keuntungan dari rakyat semata. 

Jika BMS dan jaringan koperasi sektor riil dalam bentuk Usaha Milik Sendiri ( UMS) berkembang di seluruh sektor baik kebutuhan sehari hari hingga kebutuhan layanan publik,  maka Badan Usaha Milik Negara( BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah ( BUMD) yang selama ini rakyat hanya jadi obyek dan dikelola secara tertutup dan tidak demokratis maka tentu akan tutup semua. Sehingga pada akhirnya, mimpi ekonomi kekeluargaan dan demokrasi ekonomi serta keadilan ekonomi dan kesejahteraan rakyat akan tercapai segera. Kemiskinan dan pengangguran lenyap. Bahkan saya yakin, rakyat Indonesia akan semakin cerdas dan kritis untuk tidak memilih presiden, gubernur, bupati, lurah dan juga parlemen yang selama ini hanya jualan slogan dan pencitraan belaka.[***]


*) Rakyat Jelata