Kementan Ajak Peternak Unggas Gunakan Antimikroba Secara Bijak - Telusur

Kementan Ajak Peternak Unggas Gunakan Antimikroba Secara Bijak


telusur.co.id -Kementerian Pertanian (Kementan) ikut memperingati Pekan Kesadaran Antimikoba Dunia (WAAW) yang diselenggarakan pada 18 - 24 November 2020. 

Hal ini sekaligus menunjukkan komitmen Kementan dalam mengontrol penggunaan antimikroba atau antibiotik pada hewan ternak khususnya, untuk mencegah terjadinya resistensi antimikroba.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Nasrullah mengingatkan, perlu peran segala pihak agar pencegahan resistensi antimikroba dapat optimal, khususnya peternak unggas yang bersinggungan langsung dengan antimikroba.

"Maka dari itu, secara khusus kami berharap kepada peternak unggas untuk ikut berperan dalam mengatasi resistensi antimikroba dengan menggunakan antibiotik atau antimikroba secara bijak," ujar Nasrullah dalam keterangannya, Senin (30/11/20).

Nasrullah menambahkan, maka untuk memerangi laju resistensi antimikroba peternak unggas diminta bertanggung jawab dan mengurangi pemakaian antibiotik secara berlebihan pada hewan khususnya hewan ternak konsumsi. Pasalnya, hal ini bisa membahayakan dan menular ke manusia.

Dalam beberapa dekade terakhir, laporan di berbagai negara memang mencatat adanya peningkatan laju resistensi antimikroba, namun disisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik (antimikroba) baru berjalan sangat lambat. 

"Dengan kata lain, pola peningkatan laju resistensi sudah berbanding terbalik dengan penemuan obat antimikroba baru," ucap Nasrullah

Hal inilah yang menyebabkan adanya perkembangan resistensi antimikroba yang menjadi isu global dan dibahas dalam berbagai forum internasional, serta dipandang sebagai salah satu ancaman yang serius untuk ditangani bersama. 

Bagi sektor peternakan dan kesehatan hewan, harus dapat dipahami bahwa resistensi antimikroba merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, disamping pembangunan kesehatan hewan yang berkelanjutan.

Menurut sebuah rilis Global Review pada tahun tahun 2016, kejadian resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia pada tahun 2050, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia.

"Maka dari itu, dunia termasuk kita, Indonesia sedang dalam merealisasikan Rencana Aksi Global dalam pengendalian Resistensi Antimikroba yang mengamanatkan agar setiap negara di dunia menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN)," ujarnya.

Nasrullah menuturkan, sebelum penyusunan RAN ini, pemerintah dalam hal ini Kementan sebenarnya sudah menerbitkan beberapa aturan dalam rangka memerangi resistensi antimikroba. Misalnya dengan melarang penggunaan antibiotik di bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Undang-undang (UU) No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Pasal 22 ayat 4 huruf C melarang penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan (Antibiotic Growth Promoter).

Selain itu, ada juga pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Lalu, ada Permentan No 22 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan. Serta Permentan No 43 Tahun 2019 tentang Pendaftaran Pestisida yang melarang penggunaan pestisida menggunakan bahan antibiotik.

Kementan belum lama ini juga telah menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian No. 9736 Tahun 2020 tentang perubahan atas lampiran III Peraturan Menteri Pertanian No. 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan yang melarang penggunaan Colistin pada ternak yang produknya dikonsumsi manusia. 

"Dari aturan-aturan yang ada diharapkan akan menurunkan penggunaan antimikroba yang digunakan sebagai pencegahan penyakit pada hewan ternak," ucap Nasrullah

Ia mengungkapkan, Kementan juga memiliki beberapa upaya lain dalam hal pencegahan resistensi antimikroba ini. Di antaranya, akan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat serta peternak unggas tentang resistensi antimikroba.

Di samping itu, pemerintah juga berkomitmen membangun rasa tanggung jawab kepada pemangku kepentingan dalam upaya mencegah dan mengendalikan resistensi antimikroba di setiap sektor.

Kemudian, terus berupaya menurunkan prevalensi resistensi antimikroba di setiap sektor, lalu mengembangkan inovasi pencegahan dan tata cara pengobatan infeksi, serta alternatif pengganti antimikroba serta meningkatkan koordinasi dan kolaborasi terpadu dalam upaya mencegah dan mengendalikan resistensi antimikroba.

"Setidaknya kami mempunyai enam tujuan strategis untuk pengendalian resistensi antimikroba ini pada tahun 2020 sampai tahun 2024," ungkap Nasrullah.

Ia menerangkan, berdasarkan survei yang ada, jika aturan tersebut diterapkan dengan baik, penggunaan antimikroba akan menurun dari 80% menjadi 50% di tahun 2024. Selain itu, peningkatan praktik biosekuriti dan penatalaksanaan penggunaan antibiotik juga meningkat dari 4,4% menjadi 20% di tahun 2024 dengan upaya sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV) pada peternakan ayam petelur.

"Namun, upaya pencegahan ini tidak bisa dilakukan sendiri. Mengacu pada konsep one helath, maka seluruh pemangku kepentingan terkait harus ikut berperan sebagai bagian dari solusi dalam mengendalikan laju resistensi antimikroba," papar dia.

Ia berharap dengan adanya peran semua pihak bisa selalu menjaga agar efektivitas antimikroba tetap memberikan manfaat bagi kehidupan secara lestari dengan menggunakannya secara bijak, cerdas dan bertanggungjawab.

Nasrullah menyampaikan, peran semua pihak ini termasuk ke dalam program One Health yang dicanangkan Kementan dalam upaya mencegah terjadinya resistensi antimikroba. Kementan, kata Nasrullah, menyadari memiliki peran yang penting memerangi laju resistensi antimikroba, khususnya di peternakan.

Ia juga memastikan pihaknya akan selalu bersiaga dan membuka diri untuk dapat mempersiapkan berbagai program, kegiatan, dan penguatan regulasi di Kementan bersama Kementerian dan Lembaga serta stakeholders terkait. Hal ini dalam rangka menyiapkan rencana strategis serta peta jalan dalam upaya-upaya pencegahan resistensi antimikroba.

"Kami berharap langkah-langkah kita ke depan akan lebih kuat dan terpadu dalam kerangka kerja Kesehatan Terpadu (One Health)," imbuh Nasrullah.

Menurut Nasrullah, meningkatnya populasi manusia dan maraknya aktivitas manusia berpengaruh terhadap degradasi lingkungan. Hal ini berdampak pada kompleksitas ancaman kesehatan dan perkembangan epidemiologi penyakit infeksi baru.

Kompleksitas yang ada membuat pendekatan terhadap pengendalian penyakit yang dihadapi saat ini, semakin sulit diselesaikan oleh satu sektor. Maka dari itu, pendekatan konsep One Health menjadi pilihan yang dianggap cukup baik.

"Konsep one health memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan dari disiplin ilmu yang berbeda dapat terlibat dalam proses pemecahan masalah kearah kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan," paparnya.

Konsep one health ini juga sesuai dengan Instruksi Presiden No 4 tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia, yang juga mengamanatkan pengendalian Resistensi Antimikroba.

Agenda Keamanan Kesehatan Global (GHSA) juga menyebutkan bahwa pentingnya pendekatan multilateral dan multisektoral untuk memperkuat kapasitas global serta negara untuk mencegah, mendeteksi dan merespon ancaman penyakit-penyakit infeksius, baik yang terjadi secara alamiah, disengaja maupun yang tidak disengaja.

Peran semua pihak dalam konsep one health menjadi penting, lantaran dalam beberapa dekade terakhir, laporan berbagai negara mencatat adanya peningkatan laju resistensi Antimikroba. Namun, di sisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik (antimikroba) baru berjalan sangat lambat.

"Dengan kata lain, pola peningkatan laju resistensi sudah berbanding terbalik dengan penemuan obat antimikroba baru," tukas Nasrullah.[Fhr] 

 

 


Tinggalkan Komentar