Konsepsi Presiden, Kritik Hatta dan Reaksi Aidit - Telusur

Konsepsi Presiden, Kritik Hatta dan Reaksi Aidit


Telusur.co.id -

Oleh : Lukman Hakiem, Peminat Sejarah

PEMILIHAN UMUM 1955 yang diselenggarakan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) adalah pemilu paling demokratis dan paling bebas sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Dibandingkan dengan pemilu di masa reformasi pun, pemilu 1955 masih jauh lebih demokratis.
Dari segi peserta, pemilu 1955 tidak membatasi. Siapa saja boleh menjadi peserta. Partai politik,  boleh. Organisasi kemasyarakatan, boleh. Gabungan organisasi, boleh. Bahkan perseorangan pun boleh menjadi peserta pemilu.

Pemilu 1955 punya 15 daerah pemilihan (dapil), tetapi tidak semua peserta pemilu  harus ikut di semua dapil. Saat itu dapil adalah wilayah provinsi.

Ada peserta yang ikut di semua dapil, ada yang ikut di 13 dapil, bahkan ada yang ikut hanya di satu dapil saja.

Selaku perancang Undang-undang Pemilihan Umum di masa Kabinet Wilopo-Prawoto, Menteri Dalam Negeri Mr. Mohamad Roem mengatakan: "Pikiran kita waktu itu adalah hak asasi. Tidak saja partai-partai, perorangan juga berhak ikut dalam pemilihan umum. Adapun banyaknya partai-partai, itu juga hak asasi. Tiap-tiap orang boleh mendirikan partai. Melarang hal itu berarti melanggar hak asasi."

Koalisi PNI-Masyumi-NU

DENGAN Undang-undang Pemilu yang ultrademokratis, otomatis peserta pemilu membludak.  Jumlah peserta terbanyak di Jawa Tengah, yaitu 45 peserta.
Dari 45 peserta, hanya 28 yang mendapat kursi parlemen. Yang 17, karena tidak dapat kursi,  hilang.

Dari 28 yang mendapat kursi, 4 partai menjadi pengumpul suara terbanyak, yaitu PNI (57), Masyumi (57), NU (45), dan PKI (39). Empat partai besar itu secara keseluruhan meraih 198 dari 260 kursi parlemen atau hampir 80%.

Sisa 20% kursi parlemen direbut oleh 24 partai. PSII dan Partai Kristen masing-masing dapat 8 kursi. Partai Katolik, 6. PSI, 5. Perti dan IPKI masing-masing dapat 4 kursi. 
Enam partai masing-masing mendapat 2 kursi. Dua belas partai dan perorangan, masing-masing  mendapat 1 kursi. Partai-partai inilah yang oleh Presiden Sukarno disebut partai gurem.

Begitulah cara rakyat menyeleksi peserta pemilu. Meskipun ada banyak peserta pemilu, ternyata rakyat dengan cerdas mampu memilih empat partai besar. "Jadi, saringan itu dilakukan dari bawah," kenang Roem.

Apabila pemilu dengan model 1955 itu diadakan lagi, niscayalah partai gurem, setengah gurem, ormas, dan perorangan akan berpikir puluhan kali untuk kembali ikut pemilu.

Dengan komposisi hasil pemilu seperti itu, Presiden Sukarno menunjuk Mr. Ali Sastroamidjojo (PNI) menjadi formatur untuk menyusun kabinet. Walaupun jumlah kursi PNI dan Masyumi sama, ternyata Bung Karno memilih PNI. "Itu hak prerogatif Presiden. Kita tidak bisa menyalahkan Sukarno," kata Roem.

Sebagai formatur, Ali membentuk kabinet yang merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU. Kabinet dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjojo (Perdana Menteri) dengan dua Wakil Perdana Menteri: Mr. Mohamad Roem (Masyumi) dan K.H. Idham Chalid (NU).

Bung Karno: Saudara Tidak  Adil terhadap PKI

RUPANYA kabinet yang dibentuk oleh Ali Sastroamidjojo, mengecewakan Bung Karno. Seperti diceritakan oleh Ali di dalam otobiografinya, _Tonggak-tonggak di Perjalananku_, reaksi Presiden Sukarno melihat hasil kerja Ali ialah kekecewaan yang disampaikan dengan nada kemarahan.

"Saudara sebagai formatir bersikap tidak adil terhadap PKI. Mengapakah suara partai besar yang mendapat  suara dari rakyat lebih dari 6 juta itu, tidak kau ikutsertakan dalam kabinet baru?", kata Bung Karno.

Dengan tenang Ali menjelaskan, tidak mungkin  membentuk kabinet koalisi dengan PKI, karena Masyumi dan NU menolaknya. "Apalagi PKI, bahkan orang-orang yang dianggap 'berbau' komunis saja sudah mereka tolak."

Dengan tegas Ali mengatakan kepada Sukarno bahwa dirinya tidak akan mengubah susunan kabinet sedikitpun, karena sudah terikat dengan Masyumi dan NU. "Maka susunan kabinet sudah menjadi bersama partai-partai tersebut, dan tidak bisa diubah lagi. Dengan lain perkataan, saya menempatkan Presiden pada dua pilihan saja, yaitu _take it or leave it_ (setujuilah atau tolaklah)," kata Ali.

Kekecewaan Sukarno terhadap kabinet tanpa PKI itu diungkapkan saat mengumumkan susunan kabinet. "Walaupun sebenarnya saya kurang puas terhadap susunan kabinet baru yang dibentuk oleh formatir tepat dalam satu minggu itu, namun saya toh memutuskan untuk mengesahkannya."

Konsepsi Presiden dan Kritik Hatta

PRESIDEN Sukarno mengesahkan kabinet hasil pemilu 1955 itu pada 20 Maret 1956. Akan tetapi kegusaran Sukarno atas tidak diikutkannya PKI, terus hidup di jiwa dan pikirannya. 

Pada Oktober 1956, dalam pidato memperingati Sumpah Pemuda, Sukarno menyampaikan mimpinya untuk mengubur partai politik. Dia mengecam Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 tentang anjuran kepada rakyat untuk membentuk partai politik, dan mengecam demokrasi Barat yang disebutnya tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. 

Pada 27 Januari 1957, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan mencetuskan konsepsi yang memungkinkan dirinya  turut serta dalam pemerintahan yang hingga saat itu, di bawah UUD 1950, menempatkan Sukarno hanya sebagai Kepala Negara.

Pada 21 Februari 1957, Sukarno mengumumkan konsepsinya. Seraya mengecam kegagalan demokrasi, Bung Karno menyarankan agar dibentuk  kabinet gotong royong yang  di dalamnya turut serta semua partai dan atau fraksi yang mempunyai sejumlah anggota tertentu di parlemen. Tentu saja PKI menjadi prioritas yang dimasukkan ke dalam kabinet. Sukarno mengulang pertanyaannya kepada Ali Sastroamidjojo: "Dapatkah kita mengabaikan suatu golongan yang telah mendapat enam juta suara?"
K.H.M. Dachlan dan Imron Rosjadi dari NU, mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap konsepsi Presiden.

Mohammad Natsir dari Masyumi, juga menolak pandangan Presiden tentang sistem partai dan demokrasi pada umumnya serta konsepsi Presiden.

Kritik yang paling berwibawa datang dari Mohammad Hatta. Di _Pedoman_, 2 Maret 1957, Hatta menurunkan tulisan berjudul "Meninjau Konsepsi Bung Karno".
Hatta mengingatkan bahwa demokrasi mutlak mengharuskan adanya oposisi. 

Dalam rangka ini, Hatta menyarankan supaya PKI berada di barisan oposisi. Oposisi yang baik dan tegas di dalam parlemen agar antara lain dapat mencegah korupsi di antara partai-partai pemerintah, dan dengan begitu ikut serta memperbaiki moral politik yang sudah merosot sekarang ini.

Tentang Sukarno, Hatta mengungkapkan bahwa di samping seorang politikus dan pemimpin, Bung Karno adalah seorang yang berjiwa seni yang berkobar-kobar.

"Sebagai pencinta seni, ia ingin memandang semuanya dalam keindahan, dalam suasana yang harmonis, dalam kesatuan yang bulat. Jiwanya luka melihat keretakan. Sebab itu persatuan menjadi pokok dan akhir dari segala tujuannya," tulis Hatta.

Menurut Hatta, tujuan Sukarno selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerapkali menjauhkan dia dari tujuannya itu. "Dan sistem diktator yang diadakannya sekarang atas nama demokrasi terpimpin akan membawa ia kepada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya selama ini."

Reaksi Aidit

TULISAN Hatta, mengundang reaksi keras Ketua CC PKI, D.N. Aidit. Dia menurunkan tulisan berjudul: "Hatta Biang Keladi Menggagalkan Konsepsi Bung Karno" 
Dalam tulisan bertarikh 7 Maret 1957, Aidit menyebut Hatta sebagai seorang realis yang tidal real. Aidit juga menganggap Hatta orang yang picik karena Hatta tidak menyetujui adanya kerjasama dalam kabinet antara partai-partai agama, nasionalis, dan komunis. "Dan kebih picik lagilah mereka yang menerima pikiran picik itu," hadik Aidit.
Aidit menuduh, pemerintahan Hatta sebagai pihak yang berada di balik pembunuhan dalam peristiwa Madiun. " Dari tulisannya tersebut nyata, bahwa Hatta belum puas dengan pembunuhan-pembunuhan yang sudah dilakukan di bawah pemerintahnya selama Peristiwa Madiun. Ia masih menyimpan fikiran untuk 'menghancurkan kaum Komunis' atau sekurang-kurangnya 'membendung arus Komunis' sebagai 'tugas yang suci' seperti juga menjadi 'tugas sejarah' kaum milioner di Washington, Amsterdam, London, dan lain-lain," tulis Aidit.
Tidak hanya Bung Hatta yang dilabrak oleh Aidit. Natsir dan Masyumi pun dapat bagian. Aidit tiba-tiba  menyebut sikap kepala batu "pemimpin-pemimpin Masyumi klik Natsir yang secara ngotot menolak konsepsi Bung Karno."

Bagi Komisi Pilihan Tulisan D.N. Aidit dari CC PKI yang mengumpulkan tulisan-tulisan Aidit, tulisan Aidit memberikan jawaban tepat terhadap tulisan Hatta yang disebut-sebut sebagai otak kekuatan reaksioner di dalam negeri.

Konsepsi Presiden Menjadi Kenyataan?

DENGAN penuh keyakinan, Komisi Pilihan Tulisan menabur opini bahwa sejarah berkembang berlawanan dengan alam pikiran Hatta. 

Gagasan gotong royong yang menjadi ciri dari Konsepsi Presiden Sukarno, menurut Komisi, makin tertanam di hati rakyat hingga perundingan Tampaksiring antara Presiden Sukarno dengan pimpinan partai-partai PNI, NU, dan PKI menghasilkan terbentuknya DPR Gotong Royong tanpa Masyumi dan PSI.

Usaha-usaha untuk menggagalkan pelaksanaan Konsepsi Presiden Sukarno, masih kata Komisi, yang dikemudikan oleh Hatta semakin gagal. Bahkan sebaliknya usaha-usaha untuk melaksanakan Kabinet Gotong Royong tanpa Masyumi dan PSI semakin menjadi kenyataan.

Benarkah Konsepsi Presiden Sukarno semakin menjadi kenyataan?
Bung Hatta menjawab singkat: "Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi  setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan."


Tinggalkan Komentar