Maharaja Itu, Jiwa Dirimu - Telusur

Maharaja Itu, Jiwa Dirimu


Telusur.co.id - Oleh : Nur Kholis

“Seorang maharaja berkuasa penuh atas rakyatnya. Ia ibarat manusia utama yang mewarisi sifat-sifat ilahiyah, dan karenanya ia digerakkan oleh kehendak akan kebenaran (the will to truth).

Maharaja itu, menjelmakan yang salah jadi benar, yang bengkok jadi lurus. Tentu, ia berkuasa melakukan sebaliknya. Bayangkan, sang maharaja adalah jiwa manusia. Sang jiwa mengendalikan segala kehendak ragawi. Itulah jiwa yang merdeka dan terbebas dari segala bentuk keterjajahan.

Jiwa yang mengubah hasrat kebinatangan menjadi kemalaikatan. Inilah jiwa yang mengendalikan jagad ruhaniyah karena mengenali segenap hasrat inderawi. Sama seperti maharaja yang mengenali rakyatnya. 3 Ramadlan 1442 H/15 April 2021,” mengutip kata Rektor IAIN Tulungagung, Prof Maftukhin.

Uraian ini akan saya mulai dengan bercerita tentang maharaja Zulkarnain a.s. Selain seorang raja yang disegani di belahan Barat dan Timur, ia juga seorang da’i. Cerita ini dinukil dari QS al-Kahfi/18: 83-101.

Terdapat satu kata, yaitu; “sababa” diulang sebanyak tiga kali dalam 14 ayat tersebut. Ini menarik, sebagian ahli menafsirkan sababa sebagai kemampuan Zulkarnain a.s menguasai metode riset (menempuh jalan) sehingga dapat menguasai peradaban Barat dan Timur.

Zulkarnain a.s juga teladan maharaja yang lurus, baik, dan menempuh jalan kebenaran. Kecerdasan dan kebaikan Zulkarnain a.s dipengaruhi oleh kepatuhannya pada jiwa pengabdian pada rakyatnya. Ia menempuh jalan yang obyektif  dalam memimpin kerajaan berdasarkan nilai-nilai ilahiyah.

Agaknya kita perlu memahami secara utuh makna; ruhani (al-ruh), jiwa (nafs), hati (qolb), akal budi (al-aql). Pertama, memaknai jiwa sama dengan ruhani, qolbu, dan akal budi (Prof. Maftukhin). Kedua, ruhani memiliki empat komponen, yaitu; qolbu, jiwa, ruh, akal budi (Said Hawa, [1996], jalan ruhani. Bandung: Mizan. Keempat komponen ini pada dasarnya memiliki makna yang sama, tergantung dari situasi kondisi internal individu.

Dan, saya lebih condong memaknai jiwa yang dimaksud dari Quote-nya pak rektor adalah qolbu. Qolbu memiliki peran vital untuk mengendalikan dan mengarahkan pada tujuan hidup yang sejati. Nabi SAWmenunjukkan bahwa qolbu-lah yang dapat menjadikan individu baik atau buruk. Pertanyaan mendasar kita sekarang, sebenarnya hati (qolb) itu di mana?

Nabi SAW hanya menjelaskan bahwa, di dalam diri manusia ada segumpal darah, baik buruknya manusia tergantung padanya, yaitu hati (qolbu). Al-Qur’an juga menjelaskan tentang sifat qolbu, misalnya; Pertama, dapat menerima pengetahuan, pemahaman, akal, dan tergerak untuk menyampaikan kepada lainnya (QS. asy Syu’ara’/26: 194; QS. al-Qaf/50: 37). Kedua, membolak-balikkan keadaan (QS. al-Ahzab/33: 66); QS. al-Kahfi/18: 42). Ketiga, kembali ke asal (QS. al-Ankabut/29: 21; QS. Ali-Imran/3: 144).

Berdasarkan penjelasan al-Qur’an tentang sifat-sifat hati (qolbu), maka dapat dipahami baik secara fisik, medis, maupun psikhis bahwa qolbu itu adalah otak. Semua komponen jasmani/ragawi adalah alat-alat yang dibutuhkan untuk menghubungkan antara situasi diluar manusia (stimulan) dengan otak (qolbu), termasuk jantung.

Hasil penelitian Marian Damond (1994) menunjukkan bahwa, terdapat tujuh bagian otak yang memiliki fungsi mirip dengan penjelasan al-Qur’an tentang sifat hati (qolbu). Tiga di antaranya adalah; Pertama, prefrontal cortex merupakan bagian penting untuk berfikir, memproses, dan menyimpan informasi. Kedua, sistem limbik, merupakan pusat pengendalian emosi, seks, cinta, dan kesabaran. Ketiga, hypotalamus berfungsi sebagai perantara semua rangsangan dari indera ke otak , dan dilanjutkan ke cortex dan bagian-bagian lainnya.

Selain itu, dibagian depan susunan otak terbagi menjadi tiga, yaitu; cortex berada di atas berfungsi untuk berfikir, disebut juga sebagai otak manusia. Inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Bagian tengah sistem limbik berfungsi mengatur emosi, disebut otak mamalia, dan bagian bawah adalah otak replilia berfungsi mengatur gerak reflek.

Keberfungsian ketiga susunan otak ini berkembang sesuai perkembangan usia kedewasaan individu. Hal ini dapat dipadukan dengan teorinya Peaget (sudah dijelaskan pada artikel sebelumnya). Bayi dan anak-anak selalu beraktifitas dibawah kendali sensor motorik kasar, gerak reflek, atau otak replilia yang lebih dominan.

Semakin bertambah usia, pengetahuan, dan pengalamannya maka fungsi otak mamalia (sistem limbik) ikut mewarnai aktifitas kesehariannya. Dan, semakin dewasa, pengetahuan, dan pengalamannya juga semakin komplek, maka cortex (otak manusia) semakin dominan, karena sensor motorik halusnya telah berkembang dengan baik.

Prefrontal cortex inilah yang disebut oleh al-Ghozali sebagai qolbun salim. Sistem limbik dan replilia disebutnya sebagai qolbun maridl.
Prefrontal cortex dapat bekerja dengan baik jika situasi pikiran dan batin seseorang tenang, damai, dan bahagia. Semakin dominan cortex seseorang maka pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya semakin baik dan benar (smart dan berkarakter).

Sedangkan, sistem limbik dan replilia selalu bekerja dalam situasi tegang, marah, dan tertekan. Lihat saja, sikap dan cara berfikir seseorang pada saat marah tampak tidak rasional dan amoral. Disinilah, dapat dipahami, Nabi SAW menunjukkan bahwa, ketika seseorang marah hendaknya duduk, kalau masih marah berbaringlah, dan jika masih marah berwudlu’-lah. Pada jiwa yang tenang dan bahagia perilaku seseorang menjadi rasional dan bermoral. Dan, begitu pula sebaliknya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa, terapi dzikir dan/atau ritual agama dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan suplay darah ke otak, ketenangan jiwa, dan berkurang resiko stress. Suplay darah ke otak yang lancar dan banyak memungkinkan fungsi otak semakin maksimal; daya fikir, daya analisis, dan pengendalian emosi menjadi baik, cerdas, dan bijak. Disinilah dapat dipahami pentingnya memperbanyak aktifitas ritual agama/berdzikir (QS. al-Ra’d/13: 28).

Nabi Ibrahim a.s menyendiri ke lembah ‘arafah untuk mengetahui kebenaran mimpinya menyembelih Ismail a.s. Nabi saw pernah menyendiri ke gua hira’ agar dapat mengetahui secara benar (ma’rifat) Allah SWT.

Begitu juga, para filosof membutuhkan ketenangan jiwa dan kesendirian agar dapat memahami sesuatu secara komprehensif.
Sekiranya patut direnungkan pandangan Jalaluddin Rumi bahwa makhluk terbagi menjadi tiga; Pertama, malaikat, mereka murni akal (qalbu). Kedua, binantang, mereka murni nafsu (didominasi sistem limbik). Ketiga, manusia yang lemah, mereka makhluk akal (qalbu) dan nafsu.

Barang siapa akalnya menguasai nafsunya ia akan lebih mulia daripada malaikat. Barang siapa nafsunya mengalahkan akalnya, ia sungguh lebih rendah daripada binatang. Pusat inti kesadaran manusia adalah dalamnya akal/qalb. Sedangkan “segumpal darah”, adalah bayangan atau kulit luarnya.

Sebagai hakikat manusia yang terdalam, qalb selalu berada di sisi Tuhan, tetapi hanya para nabi dan orang-orang suci yang disebut sebagai “para pemilik qalb” yang dapat mencapai kesadaran Tuhan. Kembalilah pada kesejatianmu, oh “hati”! Karena jauh di kedalamanmu akan kau temukan jalan menuju yang tercinta.

*Penulis adalah Dosen IAIN Tulungagung.


Tinggalkan Komentar