Menghisab Diri Mengubur Aib - Telusur

Menghisab Diri Mengubur Aib


Oleh : Taryono Asa

PARA peminat sejarah Islam, tentu tidak asing dengan nama Al Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafy. Al Hajjaj adalah salah satu penguasa dari Bani Umayyah yang dikenal amat kejam. Semua orang yang berbeda pandangan dengan dia akan dihabisi, tanpa perikemanusiaan, tak terkecuali kalangan ulama.

Ulama yang selalu mengkritisi pun akan berhadapan dengan tukang jagal dari Al Hajjaj. Sebut saja, Said bin Jubair, salah satu ulama yang dikenal sangat kritis. Ia menemui kesyahidannya  dipenggal dengan kejam oleh tentaranya Al Hajjaj.

Al Hajjaj juga menjadi penentu merah hitamnya hukum di negerinya. Suatu barang yang haram menurut Al Quran bisa jadi halal, bila memang Al Hajjaj menghendaki, kendati barang itu sesungguhnya haram.

Tak heran setelah penguasa tiran itu meninggal dunia, bermunculanlah berbagai suara seputar kekejaman Al Hajjaj. Dosa-dosanya dibongkar satu demi satu. Caci maki pun menyeruak ke permukaan. Rakyat merasakan kebebasan setelah sekian lama terenggut.  Mereka berlomba-lomba mengekspresikan kebencian yang selama ini terkungkung.

Namun tidak demikian dengan  Muhammad bin Sirin. Ulama tabiin yang dikenal tawadlu ini tak sepatah kata pun ikut menghujat penguasa tiran itu.

Ulama wara’ itu mengambil sikap berbeda. Muhammad bin Sirin mengingatkan agar energi umat Islam tidak dihabiskan untuk ikut menghujat pemimpin yang sudah meninggal.

Saat mendengar orang menghujat, Muhammad bin Sirin berkata lantang.  “Diam, wahai saudaraku!  Sebab al-Hajjaj sudah berpulang ke Rabb-nya. Sesungguhnya dosa paling hina yang engkau lakukan akan engkau dapatkan ketika menghadap Tuhanmu lebih berat bagimu ketimbang dosa paling besar yang dilakukan al-Hajjaj. Masing-masing kalian akan sibuk dengan diri kalian sendiri. Ketahuilah, wahai anak saudaraku, bahwa Allah pasti akan membalaskan kezhaliman yang dilakukan Al-Hajjaj untuk orang-orang yang pernah dizhaliminya. Demikian pula, Dia akan membalaskan kezhaliman yang dilakukan oleh mereka untuknya. Jadi, janganlah sekali-kali engkau menyibukkan dirimu dengan mencaci-maki siapa pun.”

Sudah seyogyanyalah sikap Muhammad bin Sirin itulah yang kita tiru, saat kita membicarakan   pemimpin yang sudah tiada. Dalam falsafah Jawa, sikap itu disebut sebagai mikul dhuwur mendem jero. Mengangkat jasanya setinggi-tingginya, dan menutupi aibnya dan kekurangannya sedalam-dalamnya..

Seorang pemimpin bangsa adalah manusia biasa. Mereka bukanlah nabi yang mempunyai sifat ma'shum. Pada dirinya tersimpan kelebihan dan kekurangan. Ada kalanya kejam, ada kalanya baik. Kadangkala tersenyum manis, kadangkala menunjukkan angkara murkanya dengan menghukum rakyatnya yang kritis.

Karena itu ada baiknya perdebatan yang menjelekkan orang yang sudah tiada, maupun pemimpin bangsa  yang masih hidup, kita akhiri. Jauh lebih baik bila kita menghisab diri, sebelum kita menghitung kesalahan orang lain.

 

*) Penulis adalah wartawan senior


Tinggalkan Komentar