Minta Mahfud MD Mundur, ICW Dinilai Tak Paham Sistem Pemerintahan - Telusur

Minta Mahfud MD Mundur, ICW Dinilai Tak Paham Sistem Pemerintahan

Anggota Dewan Pakar Seknas Jokowi, Siti Noor Laila

telusur.co.id - Anggota Dewan Pakar Seknas Jokowi, Siti Noor Laila membenarkan pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang mempertanyakan kapasitas Indonesia Corruption Watch (ICW).

Sebelumnya, ICW menyebut Mahfud MD lebih baik mengundurkan diri dari Menkopolhukam jika dalam 100 hari pemerintah tidak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) untuk membatalkan UU KPK yang baru.

"ICW itu siapa ..? Jawab Mahfud MD Menko Polhukam menanggapi ultimatum ICW itu. Ya ... benar kata Pak Mahfud MD. ICW itu siapa? ICW bukan lembaga negara yang punya hak dan kewenangan untuk menyuruh mundur seorang menteri," kata Siti Noor Laila di Jakarta, Kamis (31/10/19).

Menurut Siti Noor Laila, meminta mundur menteri adalah cermin bahwa ICW tak paham soal sistem pemerintahan di Indonesia.

Dia menegaskan, seorang Menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden yang dipilih oleh rakyat, melalui pemilu yang sah, bukan oleh kelompok masyarakat sipil seperti ICW.

"Lantas apa ada yang salah dengan Presiden Jokowi tidak mengeluarkan Perppu KPK sehingga ICW harus pake cara mengultimatum Menkopolhukam Mahfud MD ? Apa ICW lupa atau sengaja mengabaikan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 2006?" ujarnya mempertanyakan.

Didalam konvensi itu, kata dia, tidak ada satupun pasal yang melarang negara untuk merevisi undang-undang atau peraturan terkait badan anti korupsi yang ada. Bahkan di Konvensi PBB yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 tahun 2006 itu mewajibkan negara secara periodik mengevaluasi peraturan dan upaya administrasi badan anti korupsi.

Pasal 5 ayat 3 Konvensi PBB Anti Korupsi yang berbunyi; "Negara Pihak (negara pengesah konvensi) wajib mengupayakan untuk mengevaluasi instrumen- instrumen hukum dan upaya-upaya administratif yang terkait secara berkala agar memadai untuk mencegah dan memberantas korupsi”.

"Pasal 5 ayat 3 ini dengan sangat jelas, bahkan tegas mewajibkan negara yakni pemerintah dan parlemen mengevaluasi instrumen hukum yakni undang-undang atau peraturan badan anti korupsi seperti KPK secara periodik," terang Komisioner Komnas HAM tahun 2012-2017 itu.

Dia mengatakan, dengan merujuk pada pasal 5 ayat 3 Konvensi PBB Anti Korupsi ini, berarti tidak ada yang keliru apalagi salah dengan DPR RI dan Pemerintah Indonesia merevisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK. Apalagi, perubahan yang dilakukan tidak mengurangi tugas dan kewenangan KPK, yang artinya tidak ada pelemahan terhadap KPK.

Bahwa KPK dalam menjalankan tugasnya perlu dilakukan pengawasan adalah merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem pemerintahan yang demokratis.

"Tidak ada yang salah dari pemerintah dan DPR merevisi UU KPK. Kalau ada pihak-pihak yang tidak puas dengan revisi tersebut, maka bisa menempuh jalan Judicial review atau buat usulan legislatif review," terangnya.

Dikatakannya, saat ini, mahasiswa sedang melakukan upaya Judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), sudah seharusnya pemerintah menghormati proses hukum yang sedang berjalan.

"Kecuali jika ICW dan para aktifis anti korupsi lainnya sengaja mengabaikan Konvensi PBB Anti Korupsi ini," pungkasnya. [Fhr].


Tinggalkan Komentar