Pengusaha Versus Aktivis - Telusur

Pengusaha Versus Aktivis


Oleh: Suroto*

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, beberapa waktu lalu membuat pernyataan publik bahwa negara ini maju jika pengusahanya bertambah, bukan aktivisnya yang bertambah.

Pernyataannya yang menghadap-hadapkan antara pengusaha dan aktivis langsung menjadi kontroversi karena mensyiratkan pesan seakan pengusaha itu dianggap lebih penting peranannya daripada aktivis. Menteri Teten Masduki seperti sedang menaruh pesan juga bahwa aktivis itu adalah sumber masalah karena mereka menghambat gerak para pengusaha di lapangan. 

Mas menteri Teten, yang juga berlatar belakang sebagai aktivis sebelum jadi menteri, sepertinya lupa bahwa  bahwa keseimbangan peran yang baik antara pemerintah, pengusaha dan aktivis atau masyarakat sipil itu sama pentingnya bagi kemajuan sebuah bangsa dan peradaban pada umumnya. Justru banyak dari masalah yang timbul di negara ini karena ulah pengusaha yang eksploitatif terhadap persoalan kemanusiaan dan merusak lingkungan serta birokrat yang korup, dan bukan karena bertambahnya aktifis.

Para aktifis lahir karena memburuknya kualitas demokrasi, kemanusiaan dan lingkungan. Mereka berdiri di garda terdepan untuk melakukan advokasi baik regulasi, kebijakan, kasus-kasus kemanusiaan dan lingkungan di lapangan, melakukan penelitian dan juga berbagai aktivitas advokasi lainya termasuk kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Pernyataan Menteri Teten lain halnya jika yang dimaksud adalah untuk semata membela kepentingan pengusaha yang seringkali di lapangan memang banyak berseberangan dengan para aktifis sosial dan lingkungan karena mereka bukan hanya memberikan kritikan tajam namun juga pembelaan langsung masyarakat di bawah terhadap masalah yang ditimbulkan oleh para pengusaha. 

Sebut misalnya, dalam kasus tambang Semen di Kendeng, Kasus tambang Quary Wadas, Kasus Sangihe dan juga perlawanan kolosal terhadap regulasi seperti UU Cipta Kerja yang secara prosedural ternyata memang inkonstitusional dan secara substansial memang potensi abaikan persoalan nasib buruh dan juga soal mitigasi kerusakan lingkungan. 

Aktifis sosial dengan aktifismenya biasanya memang berasal dari kelas menengah kritis dan peduli terhadap kondisi masyarakat dan lingkunganya. Mereka adalah sedikit dari masyarakat kita yang biasanya berlatar belakang intelektual dan sosial yang mapan. Ini adalah kekayaan sebuah bangsa dan negara dan kontribusi mereka riil.  

Mereka biasanya motivasinya bukan hanya digerakkan semata untuk mengejar jalur profesional pekerjaanya, namun karena digerakkan oleh sebuah passion atau ketertarikan atas fenomena sosial yang ada di sekitarnya. Mereka bekerja secara vokasional dari situasi yang biasanya sedang diselubungi oleh kabut tebal kebusukan dan keburukan perilaku elit pengusaha konglomerat kaya yang berkongkalikong dengan elit penguasa politik. 

Aktifis sejati itu adalah manusia besar yang lahir karena ditempa masalah riil di lapangan dan juga karena jiwa kerelawanannya. Mereka itu justru patut dibanggakan karena tak sedikit yang harus  sampai meregang nyawa karena membela hak masyarakat. Tapi tentu bukan aktifis gadungan yang bekerja hanya untuk sekedar meningkatkan posisi tawar politis pribadinya dan atau memperbanyak daftar riwayat kegiatan demi menambah pertimbangan karir politis atau profesionalnya. 

Dari segi substansi, pernyataan Menteri Teten yang katakan bahwa  kita perlu menambah pengusaha, karena jumlahnya terlalu sedikit atau masih di angka 3,18 persen dari jumlah penduduk juga sebetulnya sebuah pernyataan yang perlu diklarifikasi definisinya. Apa yang dimaksud dengan pengusaha menurut dia dan dasar perhitungan jumlahnya baru 3,18 persen itu apa? Bukankah dia sering menyebut bahwa pengusaha mikro kita itu jumlahnya 64 juta atau 99,9 persen dari jumlah pengusaha kita? lalu mereka itu apa kalau bukan pengusaha? Juga jadi pertanyaan, referensinya apa yang menyebut bahwa negara itu maju jika jumlah pengusahanya itu semakin banyak ? 

Sebagaimana kita ketahui bahwa negara yang miskin secara ekonomi itu dimana-mana justru karena jumlah pengusahanya yang terlalu banyak. Contoh beberapa negara dengan jumlah pengusaha terbanyak adalah Ekucuador, Guatemala, Peru, Lebanon, Chile. 

Satu hal lagi, negara kita itu di masa pandemi, dibandingkan dengan 43 negara lain yang disurvei oleh Global Entreprenuer Monitor (GEM), 2021, adalah juara satu dari segi negara yang paling banyak bangkut usahanya. Kemudian juga ternyata juara satu dalam memulai usaha karena tidak adanya lapangan kerja yang menampung para penganggur akibat krisis ekonomi di masa pandemi. 

Motivasi para orang dewasa untuk menjadi pengusaha juga berbeda jauh dengan negara-negara maju. Kalau mereka itu motivasinya paling banyak adalah  untuk menjadi makmur dan demi kekayaan, kita motivasinya karena  bertahan hidup di tengah hidup yang serba sulit alias  jadi pengusaha gurem yang rentan jatuh miskin. 

Jadi, Mas Menteri Teten ini sebetulnya arah pernyataannya secara substabsi mau diarahkan kemana?.  Mau mengolok-olok aktifis? mau menambah jumlah pengusaha kita agar capai rekor sebagai negara dengan jumlah pengusaha terbanyak ?


*) Aktifis Pengusaha


Tinggalkan Komentar