Perbaiki Praktik Demokrasi dengan Mengedepankan Nilai Ketimuran dan Pancasila - Telusur

Perbaiki Praktik Demokrasi dengan Mengedepankan Nilai Ketimuran dan Pancasila

Istimewa

telusur.co.idJakarta - Demokrasi di Indonesia dinilai sudah kebarat-baratan. Belum lagi munculnya istilah oposisi yang sebenarnya tidak ada dalam kamus demokrasi ketimuran. Ditambah lagi munculnya nuansa demokrasi liberal dengan jargonnya winner takes all yang mulai mengental di masyarakat.

Berbeda dengan demokrasi nusantara yang bersandar pada kekeluargaan dan nilai Pancasila. Demokrasi bebas ala barat membuat seseorang apabila mau menjadi kepala daerah atau anggota parlemen harus memiliki sponsor.

Alhasil kedaulatan bergeser, tidak lagi berada di tangan rakyat, melainkan di tangan sponsor.

Padahal, hasil riset International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) mengindikasi demokrasi di dunia barat sendiri, dalam hal ini Amerika Serikat, mengalami kemunduran.

Sementara survei Institute of Politics - Harvard Kennedy School menunjukkan, 52 persen kaum muda AS percaya bahwa demokrasi di negerinya sedang dalam masalah, bahkan disebut 'gagal' dan rentan konflik.

Kekhawatiran ini mendorong digelarnya sebuah diskusi publik dengan tajuk Demokrasi Timur Berjaya (?) di CGV Grand Indonesia, Jakarta, Rabu (8/12).

Melihat gejala ini, Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak mengatakan bahwa Indonesia perlu menilik kembali makna demokrasi nusantara dan memperbaiki praktik demokrasi di tanah air dengan lebih mengedepankan nilai- nilai ketimuran dan Pancasila.

"Kalau kita perhatikan, sejarah membuktikan presiden kita lahir dari sebuh narasi. Dari mulai Pak Soekarno, Pak Soeharto, Ibu Megawati, Pak Habibie, Pak SBY, hingga Pak Jokowi yang waktu itu narasinya adalah tentang prestasi. Hari ini kita perlu melihat lagi apa narasinya? Yang jelas demokrasi kita harus dijalankan sesuai dengan nilai gotong royong, kolaborasi dan kesantunan," kata Emil.

Menurut Emil, Demokrasi liberal ala barat yang hidup dengan jargon ‘winner take all’ jelas menjauhkan masyarakat dan bangsa kita dari semangat kekeluargaan ala Indonesia.

Kendati demikian, Peneliti CSIS, Arya Fernandez menambahkan, bukan berarti sistem demokrasi merupakan sistem yang salah bagi negara-negara Asia.

Menurut Arya, indeks demokrasi di Indonesia memang sempat menurun. Ini salah satunya terjadi pada memburuknya sistem kepartaian kita yang tampak pada tiga aspek, yakni, lemahnya representasi, menguatnya personalisasi politik, dan tidak adanya demokrasi internal partai.

“Meski demikian, dukungan publik terhadap demokrasi di Indonesia masih cukup  tinggi dibandingkan sistem lainnya. Bila diambil rata rata dari data panel sejak Juni 2012-November 2021, tingkat dukungan publik terhadap demokrasi sebesar 64%," katanya.

"Dalam kasus Indonesia, sejak reformasi dan adanya otonomi daerah, terjadi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, meningkatnya akses ke sekolah, dan menurunnya angka kemiskinan,” lanjut Arya.

Sementara itu, Anggota DPR RI Nasir Djamil menyampaikan masyarakat Indonesia perlu bersyukur karena telah memilih sistem demokrasi karena telah memberi berbagai hal positi. Namun demikian, masih perlu penegakan hukum dan etika untuk meningkatkan atau menyuburkan kualitas demokrasi Indonesia. Sebab, sejatinya demokrasi memunculkan risiko, yakni lahirnya ignorance leadership atau pemimpin yang kurang berpengetahuan. Apalagi jika demokrasi dijalankan berdasarkan transaksional atau rupiah.

“Perjalanan demokrasi itu sangat ditentukan rasa tanggungjawab. Bisa jadi menurunnya demokrasi karena menurunnya tanggung jawab. Juga perlu penguatan lembaga –lembaga yang menunjang demokrasi,” ucapnya.

Menurut Nasir, problem terbesar demokrasi Indonesia hari ini adalah belum mampu menangani kemiskinan, kebodohan dan ketidkaadilan sosial. Jadi, katanya, memang masalah demokrasi itu lumrah dan selalu ditemukan di negara demokrasi.

“Amerika Serikat yang sudah 100 tahun mempraktikan demokrasi saja masih mengalami masalah. Apalagi kita, yang tergolong masih baru,” kata Nasir dalam diskusi yang digagas oleh What’s Viral ini.

Sementara itu, Pengamat dan Inisiator Rumah Perubahan, Prof. Rhenald Kasali menyatakan, suksesnya sistem demokrasi ala barat yang merangsek ke dunia timur menjadi glorifikasi atas pemikiran masyarakat barat, yang musuh mereka saat itu adalah nasionalisme yang dianggap menjadi penghambat investasi dan globalisasi.

Pada sisi lain, tambah Rhenald, sistem demokrasi sebenarnya banyak manfaatnya. Salah satunya banyak melahirkan pemimpin yang bekerja untuk rakyat. Tapi persepsi tentang demokrasi pun sebaiknya dipandang beragam. Tidak ada standar yang seragam, apalagi dikesankan ke satu negara tertentu saja.

Rhenald pun sependapat jika ‘biaya demokrasi’ kita dinilai ‘mahal’ akibat melunturnya nilai musyawarah dan mufakat.

Dia memaparkan, menurut catatan Litbang Kemendagri dan Kompas, biaya untuk menjadi wakil rakyat atau pemimpin sangat besar.

Biaya untuk calon bupati atau walikota mencapai RP20-30 milar, sementara  calon gubenrur sekitar Rp20-100 miliar.

Untuk calon legislator, mecapai di atas Rp100 miliar padahal tingkat suksesinya di pemilu 2019 hanya sekitar 7,5% saja.

Sementara untuk menjadi lurah di desa ataupun ketua RW di perkotaan, seseorang harus memiliki modal minimal Rp20-40 juta. Padahal kasus korupsi terus meningkat.

"Mungkin sistem politik kita harus diubah agar bagaimana pembiayaannya dan enforcementnya bisa lebih efektif. KPK mencatat di Pemkab dan Pemkot ada 409 kasus korupsi selama tahun 2014-2019, sebanyak 105 kepala daerah ditangkap. Sistem saat ini menyebabkan biayanya sangat mahal dan akhirnya membuat banyak pemimpin yang bekerja tidak untuk melayani publik dan malah melayani kepentingan sponsor. Inilah kegagalan sistem demokrasi kita yang perlu terus dikritik,” tutupnya.

Senada dengan Rhenald, Pakar Politik dan Hubungan Internasional Prof. Hikmahanto Juwana menyatakan setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Pertama mengubah pola pikir bahwa untuk memenangkan pemilihan harus dilakukan dengan kecurangan.

Kedua, perlu adanya law enforcement terkait kebebasan pers saat ini dimana banyak media menyebarkan informasi hoaks.”

Sekedar informasi, What's Viral adalah festival kreatif di Indonesia. Tempat individu-individu disrupsi dan trendsetter berbagi, berdiskusi, dan memancing ide-ide segar dan berwawasan luas.

What's Viral siap menjadi pusat kreatif dari semua pemangku kepentingan di industri, berkumpul untuk menumbuhkan talenta pemula dan membangun ekosistem yang dapat mengatasi apa pun yang mungkin terjadi di masa depan.

What's Viral bertujuan menyatukan orang-orang dari berbagai disiplin ilmu dalam satu hub hybrid. Menciptakan ruang inklusif, dan semua dapat berkomunikasi serta menginspirasi satu sama lain tanpa batasan, membuka jalan bagi ide-ide inovatif yang akan membentuk masa depan.

What's Viral hadir untuk menjadi surga kreatif yang menghubungkan dan memberdayakan komunitas kreatif bangsa, sehingga mereka dapat melepaskan bahkan melampaui potensinya.


Tinggalkan Komentar