POTENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN SEBELUM DAN SESUDAH UU CIPTA KERJA (Part 9) - Telusur

POTENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN SEBELUM DAN SESUDAH UU CIPTA KERJA (Part 9)


Telusur.co.id -  Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH***

SEKURANGNYA ada 79 item perubahan mendasar pada level Undang Undang, termasuk dalam kaitannya dengan pengelolaan Suber Daya Alam (SDA) yang diadakan perubahan oleh UU Ciptaker. Satu diantaranya adalah pengelolaan Sumber Daya Perikanan. Analisis berikut mencatat bagaimana pengelolaan Sumber Daya Perikanan yang menurut UU yang lama sebenarnya masih belum selesai, tetapi tenyata “ikut” diadakan perubahan oleh UU Ciptaker.

Pengelolaan Potensi Perikanan Menurut UU Cipta Kerja

UNDANG-UNDANG Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan se­bagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (UU Perikanan) sebenarnya sudah cukup memberikan lan­dasan, arah, dan kemajuan kebijakan tata kelola perikanan di Indo­nesia, tetapi pelaksanaannya dalam dua dekade terakhir dipandang belum berjalan baik. Hal itu berdampak pada kondisi stok ikan yang terus tertekan di semua unit WPP-NRI.

Dalam kurun waktu 1999 hingga akhir 2014, pelaksanaan kebi­jakan dan penegakan hukum terhadap perikanan yang merusak (de­structive fishing) dan perikanan ilegal yang merusak, tidak dilaporkan dan tidak diatur (illegal, unreported and unregulated fishing/ IUU Fishing) memang telah berjalan tetapi tidak efektif. Periode ini di­warnai kebijakan yang memberikan ruang bagi kapal perikanan asing melalui metode pemberian lisensi, charter, bilateral agreement, maupun impor kapal yang dibangun di luar negeri (eks asing) untuk melakukan penangkapan ikan di WPP-NRI. Sistem pengawasan yang lemah dan integritas pengelolaan yang korup menyebabkan praktik-praktik pengurasan sumber daya ikan oleh kapal-kapal ikan, baik lokal maupun asing, di WPP-NRI berlangsung tidak terkenda­li.

Dalam perkembangannya, keberadaan UU Perikanan dipan­dang semakin tidak relevan, terutama untuk menjalankan prinsip dan tuntutan terhadap pengelolaan perikanan yang lebih etis berkeadilan (ethical, just and fair fisheries) dan transparan (fisheries transparency). Selain itu, terdapat kebutuhan untuk menciptakan pengelolaan perikanan yang berbasis pendekatan kaidah kehati-ha­tian, riset, data, dan rekomendasi ilmiah (precautionary and sci­ence-based fisheries management approach). Lebih dari itu, ada kebutu­han untuk menghadirkan regulasi perikanan menjamin proses dan lingkup penegakan hukum yang lebih sistematis, terpadu, menyeluruh, dan memberikan efek jera.

Dengan segala kekayaan dan persoalan sektor kelautan dan peri­kanan, Indonesia membutuhkan regulasi yang mampu mendorong pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan dan perikanan. Fak­tanya, pendekatan dalam UU Cipta Kerja justru berpotensi meng­hambat terwujudnya pembangunan berkelanjutan tersebut se­bagaimana tergambar dalam sejumlah perubahan ketentuan sebagai berikut.

 

Perubahan Izin Lingkungan Menjadi Persetujuan Lingkungan

Salah satu prinsip dalam pembangunan berkelanjutan adalah rinsip pencegahan (preventive principle). Esensi izin lingkungan adalah untuk pencegahan. Akan tetapi, Pasal 22 angka 1 UU Cipta Kerja justru menghilangkan izin lingkungan dan menggantinya dengan persetujuan lingkungan. Perubahan itu dilakukan semata untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memper­oleh hak pengelolaan lingkungan. Padahal, ketika masih menggunakan instrumen izin lingkun­gan, pemegang izin wajib mencantumkan secara detail persyaratan pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan untuk pemegang izin, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Kegiatan yang mencantumkan persyaratan analisis menge­nai dampak lingkungan (Amdal) dan upaya pengelolaan/pemantauan lingkungan hidup (UKL/UPL) diwajibkan untuk memiliki izin lingkungan. Dengan tidak adanya instrumen pencegahan yang ketat, ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir dapat ter­dampak karena perubahan izin menjadi persetujuan tersebut.

Di dalam hal mekanisme koordinasi antara kementerian dengan pemerintah pusat untuk memastikan pemanfaatan tetap pada batas keberlanjutan (sustainability limit) tidak diatur. Persoalan pengelolaan kelautan dan perikanan yang ada selama ini adalah perizinan yang panjang dan melibatkan banyak kementerian. Oleh karena itu, pemangkasan proses perizinan memang diperlukan untuk mengatasi kompleksitas perizinan yang menghambat pertum­buhan ekonomi. Namun, environmental safeguards (pelindungan lingkungan) harus tetap dipertahankan. Dengan izin yang lebih se­derhana tanpa diimbangi perspektif, UU Cipta Kerja dikhawatirkan akan mendorong ekspansi usaha besar-besaran di daerah pesisir dan ruang laut.

Tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem, tidak akan ada kontrol atau kendali yang dapat menjaga tingkat pemanfaatan daerah pesisir dan ruang laut tersebut. UU Cipta Kerja juga tidak mengatur mengenai mekanisme koordinasi yang kuat antara peme­gang kewenangan izin (yang berada di lembaga yang bertanggung jawab langsung ke Presiden, seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal) dengan kewenangan pengelolaan (yang dipegang oleh Menteri dan pemerintah daerah) untuk memastikan adanya fungsi kontrol dan kendali agar pemanfaatan tidak melebihi sustainability limit.

Demikian pula sekaitan dengan kewajiban penetapan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi dikecualikan jika terdapat kebijakan nasional bersifat strategis. Merujuk pada ketentuan Pasal 18 angka 14 UU Cipta Kerja mengatur bahwa untuk peman­faatan laut yang berkaitan dengan kebijakan nasional yang bersifat strategis, seperti pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi, perizinan berusaha dapat diberikan walaupun rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi belum ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.  Selain itu, menurut Pasal 18 angka 2, perencanaan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sudah ditetapkan pun dapat ditinjau kembali apabila terdapat rencana tata ruang dan/atau zonasi yang tidak sejalan dengan kebijakan nasional bersifat strategis.

Ketentuan tersebut akan mengabaikan esensi dari Rencana Tata Ruang dan Rencana Zonasi yang seharusnya memperhatikan daya dukung ekosistem. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah menegaskan bahwa penyusunan tata ruang harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Begitu juga Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pu­lau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 (UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) yang menegaskan bahwa rencana zonasi juga ditetapkan dengan mempertimbangkan daya dukung ekosistem. Pasal 14 UU PPLH juga menegaskan bahwa tata ruang merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Menurut Pasal 19 UU PPLH, perencanaan tata ruang juga harus di dasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Selain itu, pengabaian esensi Rencana Tata Ruang dan/atau Rencana Zonasi juga bertentangan dengan Pasal 23 UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang mengatur bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya harus memenuhi persyaratan penge­lolaan lingkungan. Dampak dari menegasikan esensi Rencana Tata Ruang dan/atau Rencana Zonasi demi kebijakan strategis nasional itu berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat maupun ekosistem.

 

Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan dihapus

Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Un­dang Nomor 45 Tahun 2009 (UU Perikanan) menegaskan bahwa Menteri menetapkan potensi dan alokasi sumber daya ikan serta jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan peri­kanan Republik Indonesia setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnaska­jiskan).

Komnaskajiskan merupakan lembaga non-struktural indepen­den yang memberikan rekomendasi kepada Menteri melalui peng­himpunan dan penelaahan hasil penelitian/pengkajian mengenai sumber daya ikan dari berbagai sumber, termasuk bukti ilmiah yang tersedia (best scientific evidence available) Keberadaan komisi itu juga ditujukan untuk mendorong peran sains dalam pengelolaan sumber daya perikanan.

Sekaian dengan sSistem pengawasan dan penjatuhan sanksi tidak optimal untuk menjamin kepatuhan pelaku usaha, mencegah pelanggaran, dan menimbulkan efek jera, maka ketentuan mengenai pengawasan tidak diatur secara rinci dalam UU Cipta Kerja. Pengaturannya diserahkan kepada Peraturan Pe­merintah tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (PP NSPK) sebagaimana diatur Pasal 173 ayat (1) UU Cipta Kerja. Akan tetapi, jika mengacu pada Naskah Akademik UU Cipta Kerja, penga­wasan dalam UU Cipta Kerja akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan risk based monitoring atau pemantauan berbasis risiko. Intensitas pengawasan akan disesuaikan dengan tingkat risiko dari kegiatan usaha tersebut. Untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi akan mendapatkan pengawasan yang lebih ketat ketimbang pengawasan terhadap kegiatan usaha dengan risiko rendah.

Dengan demikian, jika peraturan mengenai pengawasan tidak diatur dengan detail, maka dikhawatirkan pemerintah atau aparat penegak hukum akan kehilangan kemampuan untuk melakukan pendeteksian pelanggaran oleh kegiatan yang berisiko rendah atau menengah. Akibatnya, respons dan penghukuman terhadap pelang­garan tersebut tidak akan terjadi. Hal ini dapat menyebabkan ban­yaknya pelanggaran yang dilakukan oleh kegiatan berisiko kecil atau menengah yang jika diakumulasi dapat menimbulkan kerugian yang besar.

Apalagi, izin yang selama ini dijadikan instrumen pencegahan baik untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah atau menen­gah juga dihilangkan dan hanya diberikan untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi. Hal ini akan menghilangkan peran izin sebagai instrumen pengawasan kepatuhan untuk kegiatan berdampak menengah dan rendah. Di sisi lain, dengan dipindahkann­ya kewenangan perizinan dari KKP ke pemerintah pusat untuk ke­giatan yang berdampak tinggi, implementasi sistem pengawasan tersebut belum diketahui karena peraturan pelaksananya belum ada. Selain itu, Pasal 22 angka 28 UU Cipta Kerja juga menghapus konsep pengawasan pada UU PPLH yang memberikan kewenangan kepada Menteri untuk melakukan pengawasan lapis kedua (over­sight). Hal itu juga akan berimplikasi pada lemahnya pengawasan kepatuhan yang dapat dilakukan oleh kementerian.***(BERSAMBUNG)

 


*** Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengurus Pusat INI (Ikatan Notaris Indonesia) Universitas Diponegoro,  Dosen Sekolah Tinggi Ilmu  Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah.


Tinggalkan Komentar