Presidential Treshold di Medan Interpretasi UUD 1945 - Telusur

Presidential Treshold di Medan Interpretasi UUD 1945


Telusur.co.id - Oleh: Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum

Presidential threshold yang diatur dalam pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Presiden, kembali dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya ke MK. Suka atau tidak, mempersoalkan konstitusionalitas atau validitas presidential treshold sama hukumnya dengan mempersoalkan konsep-konsep pada pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Apakah hukum dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945 jelas validitasnya sebagai pijakan presidential threshold? Apapun argument apapun disodorkan, rumusan pasal 6A ayat (2) UUD 1945, tidak jelas maknanya. Pasal ini, sebagai konsekuensinya, memerlukan interpretasi. 

Ilmu hukum cukup jelas dalam soal ini. Interpretasi diperlukan ketika teks tidak jelas maknanya, interpretatio cessat in claris, tulis Alfred Rieg dalam artkerlnya “Judicial Interpretation Of Writen Rules.” Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, karena ketidakjelasan makna atau maksudnya, menimbulkan apa yang James R. Maxeiner sebut dalam artikelnya “Legal Indeterminacy Made In America; US Legal Method and The Rule ofLaw” sebagai “Indeterminacy.” 

Konsekuensinya interpretasi terhadap pasal 6A ayat (2) harus dijadikan aktifitas utama dalam merancang permohonan juridical review. Harus diakui presidensial threshold telah berulangkali dipersoalkan sejauh ini. Selalu khas ahli hukum konstitusi, permohonan itu bersandar pada pasal 6A ayat (2) UD 1945. 

Pasal ini, untuk alasan ibnterpretasi, harus diakui tidak menulis angka-angka atau persentase, pa yang dikonsepkan sebagai presidential threshold itu. Rumusan lengkap pasal 6A ayat (2) UUD 1945 adalah “Pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” 

Rumusan ini tidak memiliki sifat perintah, khas diskripsi John Austin tentang hukum, dan tidak juga khas H.A. Hart berisi statement umum, dengan dua karakter utama (primary rules dan secondary rules). Rumusan pasal 6A ayat (2) iutu uga bukan daftar kata-kata, sehingga problemnya sepenuhnya bersifat leksikal, dan sintaksis. 
Sama sekali tidak. Rumusan norma pasal 6A ayat (2) sama dengan norma lainnya selalu merupakan rangkaian konsep. 

Bukan disebabkan interpretasi telah menjadi esensi penegakan hukum, tetapi konsep pada kedua pasal itu sama-sama tidak jelas menyatakan maksud yang dikehendaki pembentuknya. Itulah alasan diperlukan interpretasi, bukan transalasi. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sebagai titik tolak interpretasi. 

Tanpa itu mustahil mengonstruksi “menhyatakan hokum” bahwa pasal 6A ayat (2) tidak memberi delegasi kepada pembentuk UU membentuk presidensial threshold. Konstruksi ini akan ditertawakan, karena tidak memiliki dasar penalaran.  Tetapi bagaimana mengawali interpretasi? Tidak mungkin tidak diawali dari teks pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu. 

Masalahnya norma atau konsep apa, dari rangkaian konsep dalam pasal 6A ayat (2) yang harus dibawa ke titik awal atau dijadikan titik tolak interpretasi? Pendekatan apa yang yang menurut ilmu interpretasi  memiliki relefansi logis untuk digunakan? Itu cara yang memungkinkan siapapun memasuki dunia interpretasi sebelum berlabuh pada konstruksi hukum –menemukan hukum- atas rumusan pasal 6A ayat (2) itu. Tanpa itu, apapun konstruksi hukum atas presidential treshold, tidak lebih dari sekadar ekspresi kebebasan berpendapat.  

Ini pekerjaan rumit, serumit menemukan jarum dirimba raya. Penafsir harus memiliki fokus, dan memperlakukan setiap konsep dalam sifatnya sebagai serangkaian konsep yang terintegrasi. Pada titik ini, penafsir harus menarik diri keluar teks, menyelami medan debat MPR, khususnya debat yang berlangsung pada Panitia ad hod (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR. 

Pada PAH I BP MPR inilah debat teks sesungguhnya terjadi. Dari debat di PAH I inilah terbentuknya rangkaian teks atau konsep pada pasal 6A ayat (2) UD 1945 itu.  Pada titik ini interpreter dipaksa untuk mengawali interpretasi dengan melakukan klarifikasi dan kategorisasi konseptual. 
Bagaimana caranya? Tidak mungkin tidak diawali dengan mengidentifikasi dan  memilah setiap konsep dalam pasal 6A ayat (2) itu. Tidak hanya aspek semantiknya dan sitaksisnya, tetapi juga menemukan substantial intention para permus. Kombinasi ketiganya menjadi basis konstruksi –menemukan hukum- pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu. Hasilnya adalah hukum pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu jelas maksud dan maknanya. 

Agar tepat, interpreter dipaksa menuntun aktifitas inferensinya dengan sejumlah pertanyaan kritis. Untuk urusan menemukan makna teks atau konsep, penafsir harus membawa aktifitas berpikirnya melampaui batas teks atau konsep. Jangan lupa konsep tidak lahir atau terbentuk begitu saja. Teks adalah hasil kristalisasi debat. 

Masalahnya dimana ditemukan gagasan yang saling bersaing, menyangkal dan menenggelamkan, sebelum akhirnya disepakati untuk dikristalisasi, dalam makna dipositivisasi menjadi pasal 6A ayat (2) UUD 1945? Apapun alasannya, ilmu interpretasi memaksa penafsir memeriksa detail risalah rapat. Masalahnya apakah semua risalah memiliki kualifikasi otoritatif, merekam setiap kata terucap dalam rapat itu? 
Bagaimana bila dalam kenyataannya terdapat lebih dari dua risalah?  Misalnya  terdapat risalah tahun 2001, lalu terdapat risalah hasil sistimatisasi yang dilakukan jauh setelah debat awal, dan terdapat risalah lain yang termutakhir? Risalah mana yang dipakai? 

Serumit itu sekalipun, ilmu interpretasi tidak menyediakan metodologi dan teknik lain selain metode diatas, yang suka atau tidak harus dilalui oleh pemohn judial review. Cara itu memungkinkan, misalnya penafsir hendak menemukan jawaban atas masalah apa yang dimaksud dengan konsep partai politik dan gabungan partai politik dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu. 

Apa yang MPR maksud dengan peserta pemilu dan apa yang MPR maksud dengan sebelum pemilu dilaksanakan? Apakah konsep partai sebagai pengusul calon presiden bermakna MPR berkehendak pilpres diikuti oleh lebih dari, bukan hanya 2 (dua) pasangan capres dan cawapres secara berpasangan, tetapi jumlahnya sesuai dengan jumlah partai peserta pemilu?  
Bila makna itu dianggap valid sebagai kehendak MPR dibalik konsep partai politik dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945, dan itulah hukum pada pasal 6A ayat (2), maka interpreter dipaksa harus memasuki debat-debat MPR pada fase pertama perubahan UUD tahun 1999. Ini mutlak. Tanpa itu, konstruksi atas hukum yang menyatakan konsep partai politik bermakna setiap partai politik mencalonkan presiden dan wakil presiden secara berpasangan, jelas mengada-ada. 

Konstruksi jenis diatas jelas mengandung apa yang disebut substantial default. Ini disebabkan konsep partai politik dirangkai dengan konsep “atau gabungan partai politik.”  Rangkain kata atau konsep yang terintergasi itu menimbulkan akibat penafsir harus memiliki pendekatan yang tepat dalam kerangka kerja metodologi interpretasi. 

Apakah a jusdem generis atau harus noscitur a socis atau pragmatics enrichment? Pendekatan pertama mengharuskan interpreter memahami konsep genus dan spesis. Tanpa itu, akan terjadi substantive default, sebagai akibat interpretation fallacy. Bila menggunakan pendekatan a jusden generis, besar kemungkinan interpreter dapat menyatakan MPR berkehendak semua partai politik, yang ikut pemilu ataun tidak dapat mengusulkan capres dan cawapres secara berpasangan. 

Konstruksi jenis itu jelas konyol. Hukum ini keliru. Sebab bila itu yang menjadi MPR intention atau main mean MPR, pasti tidak ada konsep “gabungan partai politik” dalam pasal 6A ayat (2) itu. Ketika terjadi gabungan partai, maka partai yang tak ikut bergabung berkurang jumlahnya. Konsekuensi logisnya jumlah capres jelas berkurang.

Praktis hukum dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus duibuat jelas, untuk difungsikan sebagai standing mind dalam menginferensi konsep-konsep pada pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017, yang dikenal luas dengan presidential threshold itu. Kejelasan hukum pasal 6A ayat (2) UUD 1945, sebagai konsekuensinya  berfungsi sebagai point of legal inferention pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Wujud kerja inferensi itu berupa apakah pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mendelegasikan kewenangan kepada pembentuk UU Nomor 7 Tahun 2017 mengatur presidential threshold? Apa betul pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 valid disifatkan sebagai open legal policy? Jangan-jangan pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengharuskan presidential threshold, dalam sifatnya sebagai hal yang imperatif.

Tidak logis membayangkan capres tunggal sebagai imperative mean atau imperative intention atau collective intention para drafter pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Harus ada lebih dari satu capres dan cawapres secara berpasangan.  Konsekuensi logisnya adalah harus dicegah terjadinya capres tunggal. Bagaimana caranya? Harus dibuat treshold penggabungan partai. Ini terlihat valid dan imperative, tentu konstitusional. 

Jakarta, 7 Januari 2022
Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate


Tinggalkan Komentar