Penulis: Rusdianto Samawa, Front Nelayan Indonesia (FNI), Petualang Pesisir Indonesia (PPI) Menulis dari Zona Merah Covid-19, Makassar, Sulsel.

 


Pada 5 tahun lalu, perusahaan pengolah ikan (UPI-UPI) diterpa isu miring dan tuduhan menyakitkan. Keterpurukan perekonomian nasional yang salah satunya disebabkan oleh sektor kelautan dan perikanan dalam lima tahun terakhir. Secara fakta itu benar. Silahkan lihat Industri dan manufaktur perikanan collaps alias hancur. Ditambah, justifikasi industri perikanan illegal alias tidak dilaporkan dalam kegiatan ekonominya. Karena Unit Pengolah Ikan (UPI) sesungguhnya memiliki nelayan-nelayan. Kondisi itu sudah berlangsung sejak lama hingga sekarang.

Misalnya di Prov. Bali, nelayan Long Line penangkap Tuna sekitar 10ribu beroperasi tahun 2014 - 2020 ini terpaksa tersendat - sendat. Karena kebijakan sebelumnya. Apalagi regulasi pengganti (revisi) regulasi dianggap menyusahkan itu ternyata belum juga ditanda tangani oleh menteri KKP sekarang ini. Nelayan di Provinsi Bali hadapi tiga bentuk ancamannya, yakni: Pertama, Pembekuan struktur industri perikanan: melalui instrumen evaluasi dan monitoring pajak melalui auditor professional. Sehingga dapat diketahui bahwa Industri perikanan tersebut tidak bayar pajak. Maka seharusnya hanya soal pajak yang dicarikan solusinya. Nelayan tetap melaut.

Kedua: Pelarangan melalui Peraturan Menteri No. 56 Tahun 2016, Peraturan Menteri No. 01 Tahun 2015, Peraturan Menteri No. 71 tahun 2016. Semua peraturan ini membuat nelayan tak bisa apa-apa. Seharusnya kita mengetahui definisi, pengertian dan perbedaan antara Industri Perikanan dengan nelayan itu sendiri. Ternyata, perkiraan pergantian menteri memberi peluang akan perubahan lebih berarti bagi perusahaan Unit Pengolahan Ikan diseluruh Indonesia. Namun, regulasi baru dibahas dengan penuh kemerdekaan dari kekangan. Ditengah rasa merdeka dan harapan itu pula Covid-19 harus dihadapi dan dilawan. Karena wabah ini tidak memiliki segmen umur harus menjangkitinya, tetapi semua siapapun.

Kondisi atas wabah Covid-19 ini menjadi wajah ekonomi nasional Indonesia suram masa depannya. Ekonomi tumbuh dibawah 5 porsen saja. Defisit fiskal tak bisa dihindari. Data PT Bursa Efek Indonesia, indeks bisnis berakhir di level 403,50 setelah terkoreksi 15,75 poin atau 3,76 persen dibandingkan perdagangan sebelumnya. Statistik BEI per 8 April 2020 mencatat, selama tahun berjalan indeks bisnis telah terkoreksi 27,34 persen. Sebagai perbandingan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah turun 26,56 persen selama periode yang sama. Sementara itu pada perdagangan hari ini IHSG tercatat mengalami pelemahan 3,18 persen.

Tentu kondisi IHSG yang berada di zona merah itu berpengaruh terhadap industri Unit Pengolahan Ikan (UPI) serta sektor lain dicabang komoditas kelautan dan perikanan. Karena pasokan hasil olahan Unit Pengolahan Ikan (UPI) terdistribusi secara regional dan internasional. Apalagi bahan baku olahan sebagian besar impor dari berbagai negara, seperti China, India, Amerika Serikat, Vietnam dan Thailand. Negara-negara ini pula sedang sama-sama bergerak melawan Covid-19 karena terjangkiti juga. Jelas, tidak dapat dipungkiri keputusan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk wilayah mempengaruhi laju IHSG.

Harus diketahui juga, Industri perikanan Unit Pengolahan Ikan (UPI) merupakan struktur usaha bersama yang berdiaspora melalui institusi perikanan. Kegiatannya jual beli, produksi, dan merekrut pekerja. Sementara nelayan berada pada posisi mencari dan berusaha dilaut secara bebas. Artinya struktur antara Industri perikanan dengan nelayan ada prinsip kerja, hak, koordinasi dan garis putus.

Secara prinsip: Pertama, nelayan butuh kerja untuk hidup dengan menyiapkan bahan baku industri yang diperlukan. Kedua, nelayan dapatkan hak dari hasil kerjanya. Ketiga, nelayan bisa jadi ada dibawah koordinasi korporasi Industri sehingga banyak industri pekerjakan nelayan kecil dengan skema: kapal disiapkan disertai alat tangkapnya.

Lima tahun lalu, Menteri KKP selalu menghubung-hubungkan industri perikanan pencuri ikan (illegal fishing) sehingga dilarang berproduksi. Sekarang, datang wabah Covid-19 meruntuhkan struktur usaha dan bisnis olahan yang seumur jagung dibentuk setelah pembekuan 5 tahun lalu itu. Terutama akibat pelarangan alat tangkap yang selama ini menjadi sumber perlawanan nelayan terhadap pemerintahan. Artinya, rasa lelah usaha Unit Pengolahan Ikan (UPI) menghadapi tantangan belum berhenti. Kali ini yang sangat dahsyat menghantam Unit Pengolahan Ikan (UPI).

Kehidupan nelayan dan pembudidaya terutama Marikultur semakin susah. Selain itu, sebanyak 14 pabrik Surimi di Pantura masih mengalami mati suri, sentra industri pengolahan perikanan di Belawan, Muara Baru, Cilacap, Benoa, Bitung, Ambon, Kaimana, dan Sorong juga mati suri akibat kekurangan bahan baku. Penyebab utamanya yakni 18 regulasi Menteri sebelumnya penyebab industri perikanan hancur. 

Maka pemerintah segera mendorong pengesahan berbagai revisi regulasi yang telah dirancang itu. Terutama peraturan menteri tentang: pengelolaan usaha perikanan tangkap, pengelolaan Lobster serta rancangan peraturan lainnya, agar segera disahkan. Justru kesempatan ditengah pandemi Covid-19, tunggu apalagi.

Setelah regulasi itu disahkan dan dimasukan dalam lembaran negara, maka kedepan lakukan kebijakan pada strategi penguatan industri dimulai dari hulu dengan terus menggenjot produksi bernilai ekonomis tinggi disemua sektor dan komoditas. Sehingga sempurnakan strategi peta jalan (road map) percepatan industrialisasi seluruh komoditas Kelautan dan Perikanan nasional. Tentu meliputi percepatan produksi, pengaturan tata niaga, penguatan daya saing dan nilai tambah, investasi, serta perluasan dan penguatan pasar ekspor.

Sebagaimana teori fungsionalnya Robert Merton, sesungguhnya regulasi itu berfungsi pada dua arah yakni: 1) negara peroleh keuntungan ekonomi melalui ekspor dengan menekan fiskal dan 2) demokrasi hukum berfungsi untuk untuk mengatur dalam mengahadapi Covid-19 seperti physical distancing atau jaga jarak fisik harus diterapkan secara tegas, disiplin, dan efektif. Bersamaan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Logistic performance index perikanan semakin memburuk yang disebabkan Covid-19 meluas sehingga persentase biaya logistik terhadap PDB menurun. Kemudian, kinerja ekonomi kelautan dari nelayan dan masyarakat kelautan lain, pertumbuhan ekonomi, kontribusi terhadap PDB, nilai ekspor, pemerataan pembangunan, dan penyediaan lapangan kerja masih jauh dari optimal. Padahal, potensi perikanan: tangkap dan budidaya Indonesia sangat besar.

Belum lagi mengenai value edit process, industri pengolahan dan industri bioteknologi juga dinilai belum dikembangkan dengan baik. Karena eksekusinya hanya dimensi penegakan hukum. Tapi dimensi kesejahteraan dan dimensi ekonomi serta dimensi ipteknya kurang didorong. Apabila dari segi ekonomi, kesejahteraan dan iptek didorong dengan baik, maka pencapaiannya diyakini akan sangat baik.

Diharapkan, dengan luas perairan yang mencapai 70 persen dari total wilayah Indonesia, kontribusi sektor perikanan dan kelautan dapat terus meningkat terhadap Produk Dometik Bruto (PDB) nasional yang kini hanya 30 persen. Potensi ekonomi sektor kelautan di Indonesia bisa mencapai USD 1,2 triliun per tahun dan diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 40 juta orang. Volume ekspor perikanan dalam lima tahun ini menurun.

Industri perikanan termasuk dalam sektor prioritas berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035. Pengembangan industri perikanan ini memerlukan dukungan kementerian atau lembaga terkait lainnya sehingga berjalan secara sinergi. Setelah di evaluasi banyak yang tutup dan tampak lesu. Karena sebelumnya kurang koordinasinya antar kementerian dan Kelembagaan. Namun, saat wabah Covid-19 kembali lesu, tutup dan tak beroperasi karena bahan baku susah mereka dapatkan. Karena negara-negara pemasok bahan baku juga dilanda wabah Covid-19 ini, sehingga mata rantai ekspor - impor tertutup.

Akhirnya, utilitas industri pengolahan ikan yang saat wabah Covid-19 ini masih berada di bawah 60% dapat didongkrak dengan peningkatan ketersediaan bahan baku. Namun, sangat sulit karena faktor pemberlakuan peraturan pemerintah Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) sehingga berdampak pada aktivitas perusahaan, kapasitas produksi dan utilisasi industri tidak dapat dimaksimalkan sehingga suplai bahan baku tersendat. Tentunya adanya PSBB akan berdampak terhadap penghasilan masyarakat dan perusahaan. Akan tetapi, seharusnya dampaknya tidaklah terlalu besar dan akan menjadi short term effect.

Berdasarkan data Badan Pusat Stastistik (BPS), kapasitas produksi industri pengolahan ikan mencapai 3,65 juta ton. Dari jumlah tersebut, olahan tuna atau cakalang kaleng berkapasitas 365.000 ton dan sardin atau makarel kaleng sebanyak 235.000 ton. Adapun, dari kapasitas terpasang: utilisasi industri masih berada di bawah 60%. Padahal nelayan sudah dibolehkan melaut, tetapi karena Covid-19, jadi harus terbatas.

Sementara, efek kebutuhan guna melindungi ekonomi pribadi, keluarga dan lingkungan dari pukulan akibat wabah virus corona (Covid-19) menjadi darurat pada pertengahan Maret 2020 ini. Pemerintah sendiri sudah melihat resiko penurunan ekonomi dan defisit sehingga memutuskan memangkas suku bunga acuan dan memulai kembali menjual asset obligasi besar-besaran untuk memompa stimulus ke dalam sistem perbankan itu sendiri agar industri pengolahan ini bisa bertahan.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, prediksi perkiraan adanya penurunan volume ekspor maka utilisasi Unit Pengolahan Ikan (UPI) sekarang naik sekitar 3%–4% dibandingkan 2019. Namun, jumlah kenaikan tersebut belum menutupi defisit ekonomi nasional. Prediksi kedepan, hantaman Covid-19 ini mengarah pada kontraksi ekonomi yang akan berlangsung, guncangan ekonomi sudah cukup bukti membawa sistem ekonomi nasional Indonesia menuju krisis. Karenanya, krisis terus memberikan tekanan lebih lanjut pada inflasi, yang terus berada dibawah target.

Penguatan dolar AS, lemahnya permintaan, dan penurunan harga minyak mentah menjadi faktor-faktor yang kemungkinan akan menekan inflasi pada periode mendatang. Alat kebijakan untuk mendukung aliran kredit dan menopang permintaan dengan kebijakan moneter, serta melakukan segala upaya untuk memastikan pemulihan berjalan dengan cepat.

Maka, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia (BI) diizinkan untuk membiayai defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) serta Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di pasar perdana. Perppu tersebut terbit, bank sentral tidak diperbolehkan untuk membiayai defisit fiskal yang merupakan domain pemerintah. Di tengah pandemik virus corona (covid-19) perekonomian tengah menghadapi situasi yang tidak normal, sehingga membutuhkan penanganan melalui kebijakan yang luar biasa. 

Pembelian surat utang pun terdapat pada pasal 16 ayat 1 bagian c: membeli Surat Utang Negara (SUN) dan atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan sistem keuangan dan perekonomian nasional, termasuk SUN dan SBSN yang diterbitkan dengan tujuan khusus dalam rangka lawan pandemik virus corona. Skenario berat hingga paling buruk yang akan dialami Indonesia akibat pandemik Covid-19. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mengalami kontraksi hingga 0,4 persen di akhir tahun. Sementara untuk skenario berat, perekonomian RI hanya akan tumbuh di kisaran 2,3 persen. Bahkan skenario lebih buruk - 0,4 persen. 

Atas dasar skenario diatas, mestinya industri Unit Pengolahan Ikan (UPI) bisa mengambil kesimpulan sementara untuk mencegah produksi anjlok yang bisa berdampak pada pemutusan hubungan kerja. Karena, saat ini tahun 2020 menunjukkan penurunan tajam tetapi masih relatif bisa diatasi. Bayangkan saja, industri pengolahan ikan di Indonesia terdiri dari 636 Usaha Pengolahan Ikan (UPI) skala besar dan 36.000 UPI skala kecil atau rumah tangga dengan teknologi sederhana.

Saat ini, Unit Pengolahan Ikan (UPI) berjumlah 41 perusahaan, dengan jumlah pekerja 46.500 orang dan nilai investasi mencapai Rp1,91 triliun. Prediksi kapasitas terpasang industri ini mencapai 630.000 ton dengan nilai produksi 315.000 ton pada tahun 2015 - 2017 (utilisasi produksi hanya 50%). Pada tahun 2018 - 2019, nilai ekspor ikan kaleng mencapai USD73 juta dengan nilai impornya sebesar USD3,9 juta. Sementara tahun 2020 ini, belum kelihatan jumlah angka ekspornya, duluan dihantam gelombang badai wabah Covid-19.

Tentu, ditengah wabah Covid-19 ini diharapkan potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawannya tidak terjadi. Karena produk olahan ikan yang sudah dapat diproduksi, diantaranya ikan kaleng, ikan beku, minyak ikan, tepung ikan dan pakan dengan kategori crude oil dan belum bisa memproduksi minyak ikan pangan (food grade). Sementara, jumlah unit kapal tangkap yang beroperasi juga jauh menurun, misalnya berapa banyak kapal yang parkir di pelabuhan Muara Baru, tentu banyak yang tutup. Ini indikator supply yang turun. Semua pelaku usaha mengeluh, kinerja usahanya turun semua. Saat ini, terlihat kinerja nelayan, pembudidaya dan industri semuanya anjlok, bahkan banyak yang sudah tutup usaha.

Maka, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bisa memberi alternatif bagi kondisi diatas, karena penting sekali adanya stimulus ekonomi untuk menjaga sustainabel sektor perikanan ditengah wabah Covid-19 sehingga tidak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pemerintah maupun BUMN dapat membeli produk perikanan masyarakat: nelayan dan pembudidaya sehingga terus berproduksi. Atas dasar itu, diperlukannya pondasi ekonomi agar Indonesia tetap bisa bersaing dengan negara lainnya.

Maka, penting peningkatan kemampuan nilai tambah pada produk industri perikanan tersebut. Pengembangan teknologi pengolahan menjadi faktor penting dalam pelaksanaan program hilirisasi industri pangan berbasis perikanan sesuai yang diamanatkan pada Rencana Industri Perikanan Indonesia (RIPIN). Pemerintah juga harus menyiapkan cold storage (gudang pendingin) yang dapat dipakai untuk menyimpan produk perikanan masyarakat: nelayan maupun pembudidaya melalui penerapan Sistem Resi Gudang (SRG) sebagai penyangga harga hasil perikanan dengan kapasitas 100 ribu (ton kapasitas) cold storage.

Setuju, apabila pemerintah memasukkan para nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pemasar hasil perikanan serta petambak garam, sebagai pelaku UMKM yang tergolong masyarakat miskin, untuk masuk dalam penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Sementara pelaku industri pengolahan ikan, harus ada insentif fiskal terkait PPh Pasal 25 sebesar 30 persen hingga enam bulan. Kemudian insentif ekspor dan pinjaman berbunga lunak atau tanpa bunga bagi unit pengolahan ikan.

Sepakat juga, apabila pemerintah lakukan pemantauan melalui telekomunikasi dengan berbagai pelabuhan perikanan, sentra produksi budidaya, eksportir, pengelola gudang beku dan pasar retail. Lokasi pemantauan, antara lain Bali, DKI Jakarta, Surabaya, Kendari, Purwakarta, Bekasi, Pekalongan, Trenggalek, Malang, Cilacap, Indramayu, Tegal, Gunung Kidul, Bitung, Makasar, dan Kota Ternate. Dengan begitu, Unit Pengolah Ikan (UPI), nelayan dan pembudidaya tidak mengalami kerugian maupun tidak terjadi PHK, walaupun potensinya ada.[]