Ada Pekerjaan Besar Pemerintah Usai Penetapan KKB Sebagai Organisasi Teroris - Telusur

Ada Pekerjaan Besar Pemerintah Usai Penetapan KKB Sebagai Organisasi Teroris

Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani. (Foto: telusur.co.id/Bambang Tri).

telusur.co.id - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengtakan, ketika Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua ditetapkan menjadi kelompok teroris, banyak reaksi atau penentangan dari sejumlah kalangan masyarakat sipil.

Menurutnya, dalam perspektif negara demokrasi, hal itu wajar dan tidak dilarang. Ketika KKB Papua ditetapkan tidak lagi sekadar sebagai kelompok kriminal bersenjata, tapi sebagai organisasi teroris, sejumlah elemen masyarakat sipil concern-nya menghadapkan kemungkinan atau makin terbukanya untuk terjadi pelanggaran hak azasi manusia.

"Ini yang menurut saya harus kita dalami lebih jauh. Bagi saya apakah itu sebagai KKB  atau hanya bahkan sebagai kelompok atau organisasi teroris,  maka potensi pelanggaran hak azasi manusia itu tidak tergantung pada pemberian atau penetapan statusnya. Tapi tergantung pada karakter-karakter dan juga kultur dari aparatur keamanan dan pertahanan kita, itu yang paling penting," kata Arsul dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertajuk 'Papua Adalah Indonesia' di Media Center Parlemen, Senayan, Kamis (6/5/21).

Dia menjelaskan, dengan status KKB katakanlah di mana dilakukan operasi operasi penegakan hukum yang melibatkan tidak hanya Polri tapi juga TNI, kalau karakter aparatur keamanan memang suka melanggar HAM,  itu akan terjadi juga. 

"Jadi kemudian kalau apakah kemudian ketika dikenakan sebagai organisasi atau pelaku terorisme itu akan kembali potensi pelanggaran HAM,  jawabannya buat saya adalah kembali lagi kepada karakter dan kultur bukan karena status penetapan sebagai respon dari aksi-aksi yang dilakukan oleh OPM itu," terangnya.

Politikus Partai Persatuan Pembangunan itu pun mengingatkan pemerintah, ketika OPM atau KKB itu ditetapkan sebagai organisasi atau pelaku terorisme,  berarti di sana ada kerja besar yang harus di lakukan oleh institusi pemerintahan terkait, tidak hanya terbatas pada Polri dan TNI. 

"Karena rezim  pemberantasan terorisme kita itu tetap mengacu pada pendekatan criminal justice system,  pendekatan penegakan hukum berbasis sistem peradilan pidana, maka yaitu tadi penyelesaiannya juga harus dengan dengan proses-proses hukum pidana," jelasnya. 

Wakil Ketua MPR RI itu berharap, dengan penetapan sebagai organisasi teroris atau pelaku terorisme maka pemerintah juga harus melakukan kerja-kerja pencegahan seperti termuat dalam UU nomor 5 tahun 2018, itu dalam rangka menangkal,  memberantas terorisme itu bukan sekedar kemudian menurunkan Densus dan kemudian menangkap.

"Disana ada pekerjaan lain yang itu dalam undang-undang dirumuskan, rumahnya atau nomenklaturnya disebut sebagai kesiapsiagaan nasional yang terdiri dari kontra radikalisasi dan deradikalisasi," katanya.

Dia mengingatkan, penetapan sebagai organisasi teroris jangan dimaknai semata-mata bahwa ini nanti berarti pemerintahannya atau aparatur keamanan dan pertahanan akan melakukan penindakan saja, yang itu akan membuka kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM. 

"Karena bisa saja kemudian ada salah tindak, salah tangkap, salah tembak dan lain sebagainya, tidak hanya itu. Justru ini yang harus kita ingatkan pemerintahnya agar juga kerja-kerja kontra redikalisasi dan deradikalisasi dalam konteks menjaga keutuhan NKRI, dalam konteks supaya tidak terpengaruh dengan gerakan yang ingin melepaskan Papua itu, dari negara kesatuan republik Indonesia itu harus dilakukan," pungkasnya. [Tp]


Tinggalkan Komentar