Ajari Anak Bertanya Bukan Menjawab - Telusur

Ajari Anak Bertanya Bukan Menjawab

Guru Besar Fisipol Unesa, Prof. Dr. Warsono, M.S.

telusur.co.idOleh : Prof Dr. Warsono, M.S.
 
Kemajuan suatu bangsa lebih ditetukan oleh sumber daya manusia daripada sumber daya alam. Hal ini telah terbukti selama ini, seperti Jepang, Singapura maupun Korea Selatan, meruapakan negara yang tidak memiliki sumber daya alam, dan sebelumnya termasuk negara yang berkembang seperti Indonesia, namun dalam perkembangannya merek menjadi negara maju karena memiliki sumber daya manusia yang berkualitas.

Kualitas sumber daya manusia terletak pada kemampuannya menggunakan akal untuk berpikir. Berpikir merupakan kegiatan akal (intelektual) dalam rangka mencari jawaban, menganalisis, atau mengambil kesimpulan. Ini berarti bahwa, berpikir diawali dengan kegiatan bertanya.

Kemampuan bertanya ini pada gilirannya akan menghasilkan kreativitas, dan inovasi. Inovasi tidak mungkin ada, jika tidak ada tradisi berpikir kreatif, dan tidak mungkin lahir budaya kreatif, jika tidak memiliki kebiasaan dan kemampuan berpikir kritis.

Tradisi inovasi ini telah terbukti dengan adanya revolusi industri yang terjadi di Eropa. Revolusi industri berawal dari gerakan renaissance, suatu gerakan untuk melepaskan diri dari kungkungan dogma gereja. Mereka menginginkan adanya kebebasan berpikir seperti yang dilakukan oleh orang Yunani. 

Bahkan di Jerman gerakan tersebut lebih tegas dengan semboyan Aufklarung (berani berpikir). Keberanian dan kebebasan bertanya inilah yang kemudian melahirkan berbagai temuan, seperti mesin uap oleh James Watt, Listrik oleh Mikhael Farady yang menjadi modal lahirnya revolusi industri.

Berpikir kritis, juga bisa menghasilkan teori, filsafat dan peradaban melalui proses berpikir analisis, abstraktif dan reflekktif. Pada program doktor, salah satu yang menjadi beban akademik adalah novelty. Sebagaimana yang disampaikan Prof Soetandjo bahwa, disertasi just not research only, karena bukan hanya sekedar menjawab rumusan masalah tetapi harus menghasilkan novelty.

Sejarah Bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia, juga telah membuktikan memiliki kemampuan berpikir secara abstraktif, reflektif, seperti yang dilakukan oleh Joyoboyo, Ronggowarsito, yang memiliki pemikiran yang masih relevan sampai sekarang. Bahkan para pendiri negara juga telah membuktikan kemampuan berapikir abstraktif dan reflektif, sehingga mampu merumuskan Pancasila sebagai filsafat negara yang menurut Notonagoro memiliki kebenaran secara ilmiah, filosofis, dan relegius.

Bahkan bangsa Indonesia juga telah membuktikan memiliki kemampuan teknologi. Kita bisa menyaksikan mahakarya bangsa Indonesia berupa Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan kapal-kapal pada jaman Majapahit sampai ke zaman Kalinyamat. Menurut analisis para pakar di ITS, kapal Majapahit jauh lebih besar dibanding dengan kapal yang dibawa Pertugis untuk menjajah Indonesia.

Tradisi berpikir teknologis dan filosofis juga telah terbukti dimiliki oleh bangsa Indonesia.  Sebagai bangsa yang relegius, tradisi berpikir ini juga menjadi bagian dari ajaran agama (Islam). 

Jika kita menyimak isi Alquran, banyak ditemui ayat ayat yang memerintahkan manusia untuk berpikir, diantaranya adalah Surat Al-Hashr ayat 21;  Surat Fathir ayat 28; Surat Yusuf ayat  7; Surat Azamar ayat 9; dan Surat Yunus ayat 100.

Bahkan Tang dan Eriksson secara tegas mengatakan bahwa, modal untuk mencapai kesuksesan di masa depan adalah 4C (Critical thinking, Creativity Communication, Collaboration). Dua diantaranya berkaitan dengan berpikir, yaitu critical thinking dan creativity.
 
Realita Pendidikan Kita

Bangsa Indonesia juga telah memiliki tradisi berpikir sebagai modal untuk menjadi negara maju. Persoalannya, mengapa tradisi berpikir tersebut hilang. Salah satu faktornya adalah karena penjajahan, yang cukup lama.

Penjajahan  menyebabkan kita kehilangan tradisi berpikir kritis. Penjajahan dengan sengaja membuat kita menjadi bodoh, agar mudah dikuasai. Sistem pendidikan kita juga tidak membuat anak menjadi cerdas (berpikir kritis). 

Dalam proses belajar mengajar anak hanya diajari untuk menjawab pertanyaan, bukan dilatih dan didorong untuk bertanya. Bahkan guru kita  ikut mematikan daya kritis siswa dengan menyatakan bahwa bertanya itu bodoh. Padahal, bertanya itu merupakan indikator dan awal dari berpkir yang akan menghasilkan pengetahuan.  

Pentingnya kemampuan bertanya daripada menjawab pertanyaan  telah ditegaskan oleh James E. Ryan Dean of Harvard University’s Graduate School of Education: kita seringkali menghabiskan waktu dan energi untuk mencari jawaban yang benar, padahal bertanya yang jelas dan benar jauh lebih penting daripada jawaban. 

Jika pertanyaannya salah, maka akan menghasilkan jawaban yang salah juga. Pertanyaan yang jelas dan mendalam akan memberi inspirasi untuk menemukan jawaban, proses yang harus dilakukan dan mendorong orang untuk memahami makna hubungan antar orang.

Pendidikan kita selama ini juga kurang membangun tradisi bertanya (berpikir). Pembelajaran di sekolah dasar lebih banyak hanya sampai pada tataran Law Order Thinking.

Padahal pada anak PAUD pun bisa diajari atau dilatih untuk berpikir sampai pada tahap Higher Order Thinking. Kondisi ini mengakibatkan anak anak kita hanya menjadi pembelajar yang pasib, bukan pembelajar yang aktif.

Bahkan buku buku pelajaran kita juga tidak membangun habitus sebagai interprenuer maupun produser, yang notabene membutuhkan pemikiran yang kritis.

 Bisa kita lihat dalam buku pelajar, di SD kelas rendah ketika anak belajar membaca, disuguhi dengan bacaan: “Ibu belanja ke pasar” atau :”Ibu Budi membeli roti”. Mengapa tidak ditulis: Ibu berjualan di pasar, atau Ibu Budi membuat roti, atau Ibu Budi menjual roti. 

Diksi membeli, menjual dan membuat memiliki makna yang yang berbeda. Kata “membeli” jelas mengacu kepada habitus konsumsi. Sedangkan “menjual” mengacu kepada habitus wirausaha. Dan “membuat” mengacu kepada kreatifitas dan inovasi.

Oleh karena itu, jika ingin menjadi maju, tradisi pembelejaran harus dirubah dari paradigma menjawab menjadi paradigma bertanya. Tanpa diawali dengan pertanyaan, seringkali pengetahuan akan kehilangan akar (asal usulnya).

Di samping itu, dengan diawali  pertanyaan yang  kritis akan menghasilkan berbagai pengetahuan, ilmu dan teknologi seperti yang terjadi di Eropa maupun Yunani.

*Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur periode 2022-2026, Ketua II Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (PP ISPI) periode 2014-2019, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) periode 2014-2018, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unesa, dan Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Cabang Jawa Timur.


Tinggalkan Komentar