Telusur.co.id -Penulis: Nasywa Azizah Tsabitah, Universitas Indonesia, Ilmu Administrasi Fiskal.

Kesehatan merupakan hal yang fundamental dalam kehidupan manusia. Sebagai individu yang mengimpikan untuk memiliki hidup sehat, untuk mewujudkan hal tersebut tidak hanya sebatas berolahraga ataupun tidur yang cukup tetapi juga mengontrol pola konsumsi yang seimbang dan bergizi. Saat ini, pola hidup modern tidak seperti sebutannya, dimana masyarakat memiliki kebiasaan untuk mengonsumsi makanan atau minum yang tidak bergizi dan makin maraknya produk makanan ataupun minuman yang tergolong fast food dalam mendukung konsumsi masyarakat. Salah satu produk yang banyak digandrungi masyarakat dan berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat adalah minuman berpemanis. Dengan rasanya yang menarik, varian yang banyak, mudah dibeli dan terbilang kekinian, menjadikan minuman berpemanis menjadi faktor signifikan dalam kesehatan tubuh.

Dibalik tampilan minuman berpemanis yang cantik juga menarik, terdapat fakta kejam terhadap dampaknya bagi tubuh manusia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik atau BPS, pada tahun 2018 prevalensi obesitas pada penduduk berusia lebih dari 18 tahun berada di angka 35,4% yang mana angka ini terus meningkat setiap tahunnya. Selain
obesitas, penyakit berbahaya yang ditimbulkan oleh minuman berpemanis adalah diabetes dan gagal ginjal. Berdasarkan data yang dilansir dari International Diabetes Federation atau IDF, Indonesia berada di peringkat 11 kategori penduduk penyandang diabetes, dimana pada 2021 sebanyak 19,4 juta penduduk Indonesia dengan rentang usia 20-79 tahun terdiagnosa diabetes dan nilai ini diprediksi akan terus meningkat menjadi 28,5 juta pada tahun 2045. Sedangkan,
untuk penderita gagal ginjal sendiri berada di angka 0,41% atau sebanyak 713.783, ditunjukan dari data laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018.

Dengan tingkat penyakit yang disebabkan minuman berpemanis sangat tinggi, World Health Organization (WHO) memberikan salah satu langkah sebagai tindak preventif untuk menekan penderita penyakit yang disebabkan minuman berpemanis tersebut. WHO merekomendasikan kebijakan excise tax on Sugar Sweetened Beverages (SSBs) atau cukai atas minuman berpemanis. Latarbelakang WHO dalam menerapkan kebijakan ini adalah karena terus meningkatnya konsumsi atas minuman berpemanis dengan segala jenis dalam tiga dekade terakhir, terutama berkembang pesat di negara berpendapatan rendah dan menengah. WHO menyatakan bahwa cukai atas minuman berpemanis terbukti sebagai alat intervensi yang efektif untuk meningkatkan harga dan mengurangi penjualan atas minuman berpemanis. Hal ini merupakan win-win strategy bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dan pemerataan kesehatan.

Atas rekomendasi WHO untuk menerapkan cukai minuman berpemanis, sebanyak 108 negara sudah menerapkan kebijakan tersebut, sebagai contohnya adalah Meksiko dan Filipina. Meksiko menerapkan cukai minuman berpemanis pada tahun 2014 dengan metode one peso-per-litre tax to sugar-sweetened beverage (SSBs). Setelah diterapkannya kebijakan tersebut, penjualan atas minuman berpemanis di Meksiko menurun sebesar 6,3%, digantikan dengan peningkatan pembelian air mineral sebesar 16,2%. Penurunan tersebut didominasi oleh kalangan berpendapatan rendah, penduduk perkotaan dan rumah tangga yang memiliki anak. Sedangkan untuk peningkatan pembelian air mineral banyak terjadi pada kalangan berpendapatan rendah dan menengah, daerah perkotaan dan rumah yang hanya ada orang dewasa saja. Sementara itu, Filipina menerapkan kebijakan 6.00 Philippine pesos-per-litre of sweetened beverages dan 12.00 Philippine pesos-per-litre untuk minuman yang mengandung sirup jagung fruktosa tinggi. Penerapan kebijakan cukai minuman berpemanis di Filipina berimplikasi pada meningkatnya harga minuman berpemanis sebesar 20.6% pada toko lokal
dan meningkat sebesar 16.6% pada supermarket. Selain itu, penjualan pada toko lokal pun menurun sebesar 8.7%. Tidak hanya untuk menekan penyakit berbahaya dari minuman berpemanis dan meningkatkan pendapatan, kebijakan cukai minuman berpemanis di Filipina juga ditujukan untuk sumber dana Philhealth, bantuan medis dan HFEP (Health Facilities
Enhancement Program) dengan alokasi 50% dari pendapatan cukai minuman berpemanis.

Melihat betapa bahayanya minuman berpemanis terhadap kesehatan dan berkaca dari negara lain yang sudah menerapkan kebijakan tersebut, Indonesia harus mulai mempertimbangkan implementasi cukai minuman berpemanis sebagai langkah yang strategis. Hal ini tentunya sudah ada pada rencana Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk menetapkan cukai minuman berpemanis yang akan diterapkan pada tahun 2025. Penetapan kebijakan cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) memiliki tujuan untuk mengurangi penyakit obesitas, diabetes, gagal ginjal juga penyakit lainnya dengan menekan konsumsi gula berlebih. Selain itu, penerapan cukai MBDK juga sebagai alat untuk meningkatkan penerimaan negara. Beberapa pihak memberikan besaran tarif atas cukai minuman berpemanis, yaitu sebesar 2,5%, akan tetapi perlu ada pembahasan lebih lanjut oleh DJBC dan pihak terkait untuk perampungan kebijakan cukai minuman berpemanis.

Rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan cukai minuman berpemanis menimbulkan kontroversi di kalangan beberapa pihak. Para pakar kesehatan mendukung adanya kebijakan ini untuk mendorong pola hidup masyarakat yang lebih sehat. Sementara itu, pengusaha minuman berpemanis menentang adanya cukai minuman berpemanis karena
memberikan ancaman bagi usaha mereka. Pengusaha minuman berpemanis berkemungkinan besar untuk mengalami penurunan dalam penjualan dan kehilangan sebagian pangsa pasarnya, menjadikan pengusaha minuman berpemanis harus melakukan inovasi yang akan memakan dana tambahan. Disinilah tantangan pemerintah untuk merancang kebijakan cukai minuman berpemanis yang merata bagi semua pihak dan memberikan dampak yang signifikan baik itu
untuk penerimaan negara maupun kesehatan masyarakat.

Minuman berpemanis sudah menjadi gaya hidup modern masyarakat sekarang, akan tetapi tidak dapat dipungkiri dampak buruknya terhadap kesehatan seperti obesitas, diabetes, gagal ginjal dan penyakit lainnya yang tidak dapat dibiarkan. Rencana Indonesia menerapkan kebijakan minuman berpemanis pada 2025 menjadikan langkah awal untuk menggapai Indonesia yang lebih sehat dengan tingkat konsumsi gula yang rendah, peningkatan kesehatan masyarakat dan peningkatan pendapatan negara. Kebijakan ini terbukti memberikan dampak yang signifikan di Meksiko dan Filipina, diharapkan Indonesia dapat mewujudkan hal serupa. Di lain sisi, muncul tantangan dari pelaku industri yang terancam dengan adanya kebijakan cukai minuman berpemanis. Hal ini menjadikan motivasi untuk pemerintah dalam membuat
kebijakan cukai yang adil dan inklusif. Dengan adanya gagasan tersebut, diharapkan kebijakan ini bukan hanya angan-angan belaka, tetapi juga upaya signifikan untuk menciptakan masyarakat dengan pola hidup sehat.