telusur.co.id -Oleh: Agus Widjajanto, Praktisi Hukum, Pemerhati Politil, Sosial Budaya.
Dalam aliran Hukum Positif seperti yang dianut oleh sistem hukum di Indonesia, dipandang perlu ada pemisahkan secara tegas antara hukum dan moral, yaitu antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya, antara das Sein dan das Sollen, karena begitu kakunya aliran hukum positif yang kadang tidak mencerminkan rasa keadilan, hingga mendorong Prof. Satjipto Rahardjo memperkenalkan aliran hukum Progresif dimana antara das Sein dan das Sollen saling mengisi, tidak terpisahkan satu sama lain.
Bahwa sesungguhnya hukum juga berkaitan dengan moral karena hukum mencerminkan nilai nilai etika dalam aturan-aturannya, meskipun hukum dan moral tidak selalu identik, karena aturan hukum positif tadi.
Etika sendiri adalah ladang tempat hukum ditemukan dan hukum itu sendiri merupakan pengejawantahan dari aturan formal yang diperkuat dengan sanksi. Dalam filsafat hukum dikenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang, artinya pada saat hukum itu dibuat maka disitulah nilai-nilai norma dan etika sudah melekat, karena para pembentuk undang-undang sendiri adalah para ahli dan pakar di bidangnya, yang menggunakan dan mempertimbangkan etika hukum. Itu merupakan pendapat aliran Hukum Positivisme, yang tetap memperdaulatkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama.
Di dalam buku Prof. D.H.M. Meuwissen, Guru Besar Tata Negara dan Filsafat Hukum dari Universitas Groningen Belanda, yang diterjemahkan oleh Prof. B. Arief Sidharta dikutip dengan pernyataan bahwa dalam aliran Hukum Positivisme ada tiga tradisi, dimana yang pertama disebut Teori Analitik yang ditemukan oleh John Austin, murid dari Jeremy Bentham (1790-1861) dimana Austin menggunakan istilah “Principle of Origin” (asas sumber) harus ditelusuri dimana hukum itu menemukan sumbernya, yang mana menurut Austin hukum dapat ditemukan dalam undang-undang yang ditetapkan oleh penguasa yang berdaulat, dimana hukum positif itu ditetapkan oleh penguasa yang berdaulat yang telah dipilih oleh rakyat dalam sebuah demokrasi yang jadi kesepakatan bersama. Sedang tradisi kedua dikembangkan oleh Hans Kelsen (1881-1973) dimana hukum dipandang sebagai suatu kaidah-kaidah, dimana menurut Kelsen arti hukum terletak pada dalam sifat normatif. Sedangkan tradisi ketiga atau terakhir adalah Teori hukum Empirik.
Aliran hukum positif selalu bertentangan dengan aliran hukum Kodrat (Hukum Alam), dimana Aristoteles pada jaman Yunani dulu, Thomas Aquino (1225-1274) yang memandang hukum sebagai Lex naturalis, atau undang-undang ilmiah (hukum kodrat) yang secara sederhana bisa dipahami akal budi manusia, terutama terdiri dari “Prima principia” atau kaidah-kaidah secara sederhana untuk melakukan hal baik dan menghindari hal buruk. Selanjutnya aliran ini berubah sesuai perkembangan jaman, terpecah lagi menjadi Sosiologi Hukum yang bertumpu pada mempelajari hukum dari segi sosial kemasyarakatan, yang mana dalam Sosiologi Hukum ini nanti ditemukan pada medio tahun 1980-an oleh Prof. Satjipto Rahardjo sebagai aliran Hukum Progresif, dimana akal budi manusia sebagai penguasa dan dibekali akal sejak lahir dan telah diajari budi pekerti, untuk bisa menerjemahkan hukum secara alamiah berdasarkan akal dan budi tersebut yang tidak hanya terpaku pada hukum positif dalam dogma yang telah diatur dalam suatu aturan baku perundang-undangan.
Jikalau melihat fenomena saat ini yang terjadi dimana penegakan hukum tengah berada pada titik nadir ketidak adilan dimana hukum telah dijadikan obyek bisnis dengan hitungan untung rugi oleh aparat nya , sedang pada tataran politik nasional yang telah kita bisa saksikan bersama, dimana hukum telah dijungkirbalikkan, aturan hukum diotak-atik seperti sebuah mesin, untuk kepentingan golongan dan untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan, dimana antara hukum dan etika sudah tidak sejalan lagi, lalu yang jadi pertanyaan besar kita: apakah hukum lebih tinggi dari etika ataukah sebaliknya etika merupakan dasar-dasar dari awal terbentuknya hukum?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut sangat perlu kita melakukan pengembaraan ilmu tanpa sekat, tanpa batas, tanpa ada defenisi dari apa itu hukum, dan apa kaitannya dengan filsafat, dan sekalian tetek bengek yang berkaitan dengan teori-teori, dogma-dogma, tetapi kita kembali kepada fitrah kita sebagai manusia di muka bumi yang memang secara kodrat diciptakan untuk membuat kebaikan di atas bumi, baik terhadap sesama manusia (Hablum minanas) dan terhadap alam semesta (sebagai hukum Alam yang bersifat Sunatullah) yang merupakan pertanggungjawaban kita pada Tuhan yang Esa (Hablum Minallah) untuk memayu Hayuning Bawono.
Mazhab Hukum Alam dapat dikatakan sebagai Mazhab tertua dalam ilmu hukum dan titik pangkal dari Mazhab ini adalah " Hukum dijadikan sebagai instrument untuk mencapai keadilan " dalam kontek ini Thomas Aquino sebagai ekponen utama Mazhab ini menyatakan bahwa pandangan hukum alam didasarkan pada hukum yang beralasan pada moral alamiah manusia ( Moral nature) dimana hukum sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari moral dan etika itu sendiri. Hukum yang tidak berlandaskan kepada moral dan etika dapat dikategorikan hukum yang buruk dan tidak boleh dijadikan landasan dalam mengatur kepada masyarakat. Bahwa hukum bukan hanya aturan baku berupa pasal pasal untuk dijalankan , namun hukum itu sendiri harus mempunyai moralitas dalam sebuah tatanan , yang mana Moral tertinggi dalam hukum adalah " Keadilan " . Bahwa Mazhab hukum alam memandang hukum sebagai instrumen untuk mencapai keadilan sebagai unsur esensial dari hukum itu sendiri. Apabila hukum tidak berkeadilan maka sesungguhnya bukan hukum , tapi aturan tirani. Dengan demikian Mazhab hukum alam mempunyai kekuatan mengikat karena hukum tersebut mempunyai nilai keadilan dan apabila hukum itu dilepas dari nilai keadilan , maka hukum tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Lain hal nya Mazhab positivisme dimana hukum dalam Mazhab tersebut memandang hukum dari sudut pandang yang berbeda jika dibandingkan dengan Mazhab hukum alam . Dalam Mazhab positivisme memandang hukum sebagai sarana untuk menciptakan kepastian hukum , karena harus dipisahkan dari nilai baik atau buruk dan adil atau tidak adil bagi Mazhab positivisme hukum , hukum hanya dipandang sebagai perintah yang berdaulat, dimana para penegak hukum dipandang hanya sebagai robot tanpa Ruh tanpa hati nurani tanpa Rasionalitas sebagai manusia. Jeremy Bentham sebagai salah satu ekponen utama Mazhab positivisme yang paling getol dan kuat menolak pendapat Mazhab hukum alam .
Oleh karena kita sebagai manusia secara kodrati kita diciptakan sebagai hamba Tuhan, yang dibekali segala akal budi, pikiran, dan seluruh upaya serta pancaindera yang kita miliki merupakan satu kesatuan. Untuk mencari dan melakukan perenungan demi menemukan apa tujuan sejatinya kita dilahirkan yang lalu hidup di Dunia ini dan bermasyarakat, lalu dalam komunitas masyarakat yang serba majemuk dalam sebuah Negara yang bernama Indonesia ini , apa tujuan dari Negara ini dibentuk dan diproklamirkan dari awalnya, disepakati bersama dari berbagai perbedaan, baik beda agama, beda suku, beda ras, beda bahasa, beda adat istiadat, untuk mencapai tujuan bersama. Tidak ada satupun dari warga negara ini bisa dianggap sebagai golongan atau pribadi yang paling mulia, semua sama di muka hukum dan sama hak dan kewajiban sebagai warga terhadap bangsa dan negaranya, maka dari esensi tersebut bisa diambil suatu kesimpulan bahwa etika dan moral sebetulnya lebih tinggi dari aturan hukum itu sendiri. Hal ini perlu penulis sampaikan karena melihat kondisi situasi saat ini, dimana bangsa ini telah secara perlahan tapi pasti kehilangan Etika , dalam kehidupan sehari hari baik dalam hubungan bermasyarakat maupun dalam hubungan kerja serta dalam merajut Kebhinekaan dalam sebuah bangsa yang pluralisme , sebuah bangsa yang melindungi seluruh umat beragama, akan tetapi bukan negara Agama.
Oleh sebab setiap warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum dan pemerintahan sesuai konstitusi kita (Pasal 27 UUD Negara RI Tahun 1945), maka sudah selayaknya dan sepantasnya kita harus melawan segala tindakan dari seseorang maupun golongan tertentu yang akan mendominasi dengan cara menggunakan dan memanipulasi hukum demi keuntungan hegemoni kekuasaan.
Bahwa hal ini tidak hanya menyangkut hak dan kewajiban tetapi juga sebuah kesadaran bagi setiap insan dari anak bangsa bahwa bangsa ini dibentuk memang untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, agar bisa hidup layak, tenteram, bebas dari diskriminasi, baik diskriminasi secara politik, Agama dan keyakinan maupun sosial Ekonomi untuk mencapai tujuan bangsa menuju masyarakat yang adil makmur, , gemah ripah loh jinawi.Kerto Rahardjo.
Kita harus merdeka, benar-benar merdeka, baik merdeka jiwanya maupun badannya, merdeka pola pikirnya dalam mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, yang tidak lagi hanya terpaku kepada teoritik dan dogmatis, tetapi menemukan pemikiran prakmatis sesuai nilai-nilai luhur yang bisa menjadi pedoman masyarakat banyak dari sumber dan kodifikasi hukum bangsa ini sendiri, yang telah ada pada Pancasila sebagai filosofi dan pandangan hidup bangsa dan sumber dari segala sumber hukum , yang tidak lagi dibatasi aturan baku dalam sebuah penulisan secara akademik , dan praktikal, akan tetapi benar benar mengalir seperti aliran sungai yang bermuara pada samudera ilmu yang luas. Sebagai perwujudan dari rangkuman antara ilham dari yang kuasa melalui perenungan yang total , dengan alam pikiran rasionalitas beserta seluruh panca indra yang dimiliki .
Bahwa perlu digarisbawahi dimana kepentingan negara dan bangsa dipertaruhkan karena kondisi geo-politik dan geo-strategis baik kawasan maupun kepentingan global, yang sangat cepat sekali berkembang, dimana di belahan lain di dunia ini telah terjadi konflik dan peperangan, bahkan bukan tidak mungkin akan meluas menuju Indo-Pasifik di kawasan sekitar wilayah kita, dan ancaman megatrust terjadinya bencana, jangan berpikir sempit hanya soal pilpres dan hiruk-pikuknya yang dianggap ada darurat politik di negeri ini, tetapi ada hal lain yang jauh lebih besar yang dipertaruhkan, kelangsungan bangsa dan negara ini jadi taruhan yakni para elit politik di negeri ini telah kehilangan etika, baik etika perilaku politik, maupun etika dalam memberikan suri tauladan kepada masyarakat nya bahwa ada harga yang harus dibayar dengan segala keputusan yang dianggap tidak ber etika, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam kehidupan bermasyarakat dimana telah luntur nya nilai nilai moralitas dan nilai nilai kebangsaan sebagai orang Indonesia, yang telah hilang jati diri nya sebagai bangsa , demi menjunjung suatu Piala Yang dinamakan Demokrasi namun Hasil dari tata cara Demokrasi ala Barat yang lebih mirip dengan Tata cara Liberal . Jadi tidaklah mengherankan apabila ada sekelompok oknum dari turunan bangsa tertentu yang dulu merupakan imigran yang datang di era menjelang kemerdekaan telah dengan berani dengan jumawa mengakui sebagai keturunan yang lebih ningrat secara keagamaan dalam masyarakat kita, yang dipergunakan untuk mencari keuntungan baik secara materi maupun kedudukan kehormatan dalam masyarakat, yang sudah berani mengklaim bahwa bangsa ini saat merdeka merupakan ide dan harus mendapat restu dari kakek kakek mereka saat itu. Dan lebih miris nya seakan negara tidak pernah hadir untuk menyudahi dan mengambil tindakan hukum yang mana sebenarnya tindakan oknum oknum tersebut sudah masuk ranah pidana dalam delik formil yang artinya tanpa menunggu adanya laporan masyarakat pun penegak hukum sudah bisa mengambil tindakan secara represif, dan itu tidak pernah dilakukan yang terkesan adanya pembiaran , yang membuka peluang terjadinya konflik horizontal di masyarakat.
Belum lagi sebentar lagi terjadi hajatan demokrasi pemilukada serentak untuk memilih calon kepala daerah baik gubernur pada 37 propinsi serta bupati/walikota bagi kabupaten dan kota pada 508 di kabupaten/kotamadya yang akan diselenggarakan pada bulan November nanti, bertepatan setelah adanya pelantikan Pemimpin baru dari Presiden Terpilih Prabowo Subiyanto dan Gibran Rakabuming Raka pada bulan Oktober bulan depan, dimana harus ada pemerintah yang stabil untuk bisa menjaga berlangsungnya pemilu tersebut, baik dari segi keamanan, stabiitas politik maupun dari segi biaya dalam pesta demokrasi agar terlaksana dengan baik sebagai negara yang katanya Negara Demokrasi terbesar kedua di Dunia. Harapan kita bersama agar pemerintahan yang baru nanti , lebih baik dalam menjalankan kekuasaanya dimana kekuasaan tersebut sebagai amanah rakyat, bukan merasa dan menganggap adanya kekuasaan dari hasil dari kompromi politik antar elit dan kepentingan Partai Politik , tapi benar benar menjalankan amanah sebagaimana yang dicita citakan oleh para pendiri bangsa. Dan para pahlawan Kusuma Bangsa yang telah gugur demi membela kemerdekaan negara ini dengan nyawa, darah, airmata dan harta yang tiada bisa dinilai .