telusur.co.id - Wakil Ketua Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Hendarsam Marantoko mengatakan, pihaknya tidak sepakat terhadap beberapa ketentuan pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Piidana (RKUHP). Hendarsam mengatakan, yang membuat ACTA tak sepakat adalah terutama tentang pasal penghinaan presiden dan pasal tentang Contempt of Court.
"Yang berpotensi akan membuat iklim demokrasi Indonesia kembali ke zaman kolonial," kata Hendarsam dalam keterangannya kepada telusur.co.id, Selasa (10/9/19).
Menurut Hendarsam, pasal penyerangan kehormatan atau harkat martabat Presiden dan wakil presiden dan begitu juga dengan pasal penyerangan integritas hakim akan memproduksi pasal karet baru, karena tidak ada terminologi dan batasan yang jelas antara kritik dengan menyerang kehormatan.
"Sejatinya Presiden dan Hakim adalah abdi negara, abdi rakyat, kritik dan saran adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk bersama sama membangun bangsa ini," ujar Mantan Kuasa Hukum BPN Prabowo-Sandi itu.
"Dan oleh karena itu, apabila Presiden tetap mengesahkan RKUHP tersebut, maka ACTA akan berada dalam garis terdepan untuk melakukan jihad konstitusi dengan mengajukan Judicial Review terhadap pasal-pasal zaman batu tersebut," pungkasnya.
Diketahui, saat ini DPR masih terus menggodok RUU KUHP. Anggota Komisi III DPR M Syafii mengatakan DPR menargetkan akan mengesahkan RUU tersebut pada 26 September 2019.
"Beberapa isu-isu krusial kan sedang kami bahas. Jadi, bahkan kami sedang bertekad di 26 september ini sudah bisa diparipurnakan untuk disahkan menjadi UU pidana yang baru menggantikan UU pidana produk belanda yang cukup lama itu," kata M Syafii, Senin (9/9).
Mengenai pasal penghinaan presiden yang juga sempat menimbulkan pro kontra, pria yang akrab disapa Romo itu mengatakan hal tersebut sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menuturkan DPR akan tetap patuh pada keputusan MK.
"Itu kan justru yang sudah di judicial review di MK pada waktu itu kan. Mungkin kita akan patuh pada MK karena sudah final and binding," ujarnya. [asp]
Laporan : Fahri Haidar



