telusur.co.id -Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., mewacanakan agar bahasa isyarat masuk ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Wacana tersebut pun memantik beragam tanggapan, salah satunya dari akademisi Universitas Airlangga (UNAIR) sekaligus Ketua Koordinator Airlangga Inclusive Learning (AIL), Dr. Fitri Mutia, A.K.S., M.Si.

Mutia menjelaskan bahwa gagasan memasukkan bahasa isyarat ke dalam kurikulum pendidikan sejatinya bukanlah hal baru. Menurutnya, wacana tersebut sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas—sebuah aturan yang menegaskan jaminan terselenggaranya pendidikan yang terfasilitasi bagi peserta didik penyandang disabilitas, tanpa terkecuali.

“Salah satu hal yang perlu disiapkan, termasuk dalam penyediaan akomodasi ini adalah dukungan anggaran, sarana prasarana, serta sumber daya manusia seperti guru, tenaga pendidik, dan dosen. Di sana juga disebutkan penyediaan kurikulum yang inklusif. Jadi, kita perlu memfasilitasi bagaimana jika di institusi pendidikan kita ada teman-teman tuli,” jelasnya.

Namun, Mutia menilai bahwa aturan saja belum cukup tanpa diimbangi dengan perubahan cara pandang masyarakat terhadap penyandang disabilitas tuli. Menurutnya, masih banyak yang beranggapan bahwa penyandang tuli lah yang harus menyesuaikan diri dengan belajar bahasa formal, bukan sebaliknya. Padahal, kemampuan berbahasa isyarat bukan hanya kewajiban bagi penyandang disabilitas tuli, melainkan juga tanggung jawab bersama.

“Yang paling efisien memang bahasa isyarat. Membaca gerak bibir atau voice to text belum tentu akurat,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Mutia menekankan pentingnya keterlibatan komunitas tuli dalam proses perumusan kebijakan maupun pembelajaran bahasa isyarat. Ia menilai, sebagaimana belajar bahasa lain, mempelajari bahasa isyarat harus dilakukan langsung kepada ahlinya atau penutur aslinya.

“Dalam proses belajar dan mengajarkan bahasa isyarat tidak boleh sembarangan orang. Idealnya belajar dari yang sudah terverifikasi. Tidak adil jika membuat kebijakan tanpa melibatkan mereka. Komunitas atau kawan-kawan tuli harus menjadi bagian dari prosesnya,” tuturnya.

Mutia menambahkan, agar wacana tersebut dapat terimplementasi secara berkelanjutan, seluruh aspek pendidikan harus berjalan beriringan. Mulai dari kesiapan tenaga pendidik dan kependidikan, kurikulum, hingga penerimaan peserta didik penyandang disabilitas tuli di institusi pendidikan umum.

“Pendidikan inklusif artinya bukan lagi hanya di SLB, lembaga khusus, atau tidak sekolah. Teman-teman tuli juga harus bisa belajar di lingkungan pendidikan yang terbuka dan setara. Jadi, semua unsur harus menyiapkan diri. Aturan sudah ada, sekolah menyiapkan sumber dayanya, dan teman-teman tuli juga menjadi bagian di dalamnya,” terangnya.

Kendati hingga kini belum terealisasi, Mutia tetap optimistis bahwa kebijakan tersebut suatu saat akan terwujud. Ia meyakini, masuknya bahasa isyarat ke dalam kurikulum pendidikan akan menjadi cikal bakal terbentuknya lingkungan belajar yang inklusif.

“Harapannya, jika kedua belah pihak saling memahami, kondisi inklusif bisa tercapai. Di sisi lain, masyarakat umum pun dapat menumbuhkan rasa empati yang lebih tinggi terhadap keberagaman,” pungkasnya.