telusur.co.id - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, melontarkan kritik keras terhadap pemerintah dan DPR terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Ketahanan dan Keamanan Siber (RUU KKS) yang kini tengah digodok di Senayan.
Menurutnya, RUU KKS justru berpotensi mengerus kebebasan berekspresi dan memperkuat kontrol negara terhadap ruang digital. Salah satu pasal yang paling kontroversial adalah ketentuan yang memberi kewenangan penyidikan tindak pidana siber kepada TNI. Padahal konstitusi menegaskan bahwa tugas utama TNI adalah menjaga kedaulatan negara, bukan melakukan penegakan hukum.
“Saya curiga, dengan adanya RUU KKS ini, kebebasan berekspresi di dunia siber akan mengalami kemerosotan luar biasa. Kalau tidak ada kebebasan berekspresi, pemerintah tidak akan tahu kesalahannya sendiri. Itu bukan negara demokratis, tapi negara otoriter tertutup,” tegas Usman dalam keterangannya, Kamis (23/10/2025).
Ia menambahkan, Indonesia kini berada di titik rawan, karena kualitas demokrasinya terus menurun. Mengutip indeks demokrasi V-Dem dari Swedia, Usman menjelaskan bahwa Indonesia kini turun dari kategori “demokrasi elektoral” menjadi “otoritarianisme elektoral” sebuah kondisi di mana pemilu masih berlangsung, tetapi kebebasan sipil dan pengawasan publik nyaris hilang.
“Untuk pertama kalinya sejak reformasi, Indonesia bukan lagi negara demokrasi. Kalau kebebasan berekspresi terus ditekan, kita akan jatuh ke level paling berbahaya: otoritarianisme tertutup,” ujarnya.
Usman mendesak agar pembahasan RUU KKS ditunda hingga ada kajian menyeluruh dan pelibatan masyarakat yang bermakna.
Ia menyoroti tren pembahasan undang-undang penting yang kerap dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa, seperti revisi UU KPK dan RUU TNI.
“RUU KKS jangan disahkan tergesa-gesa seperti RUU KPK atau Omnibus Law yang dibahas di luar jam kerja, bahkan di hotel mewah tanpa partisipasi publik,” sindirnya.
Aktivis HAM itu menegaskan, menjaga kebebasan berekspresi berarti menjaga roh demokrasi Indonesia. Jika RUU KKS dipaksakan tanpa keterlibatan publik, ia khawatir ruang kebebasan digital akan berubah menjadi alat represi negara.[Nug]