telusur.co.id - Pengamat Hukum Tata Negara, Said Salahudin mengatakan, keberpihakan PKS dan Partai Demokrat pada perjuangan rakyat yang menolak UU Cipta Kerja perlu dilanjutkan di DPR. Keduanya bisa mengambil peran sebagai inisiator pembatalan UU Cipta Kerja melalui proses ‘legislative review’.

"Penolakan PKS dan Partai Demokrat terhadap pengesahan UU Cipta Kerja di Sidang Paripurna DPR beberapa waktu lalu wajar diapresiasi. Tetapi perjuangan mereka dalam memenuhi aspirasi rakyat tersebut semestinya tidak berhenti hanya sampai di situ," kata Said dalam keterangan yang diterima telusur.co.id, Jumat (16/10/20).

Said menyarankan, untuk lebih meyakinkan publik bahwa PKS dan Demokrat konsisten pada sikapnya, maka keduanya perlu mengambil langkah-langkah politik lanjutan yang bersifat strategis dan konstitusional.  

"Salah satu langkah politik yang bisa ditempuh oleh PKS dan Demokrat untuk membatalkan omnibus law adalah dengan cara menggagas pembentukan sebuah undang-undang baru," ujar Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma) itu.

Undang-undang baru yang dimaksud Said yakni sebuah undang-undang yang kira-kira judulnya adalah “undang-undang tentang pencabutan atas UU Cipta Kerja”.

"Jadi, di dalam undang-undang baru itu tidak perlu memuat banyak norma. Cukup dimuat beberapa pasal yang pada pokoknya menyatakan bahwa UU Cipta Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh undang-undang baru tersebut," ungkapnya.

Menurutnya, sebagai partai politik yang memiliki kursi di parlemen, PKS dan Demokrat memiliki kewenangan untuk itu. Sebab, kader-kader mereka di DPR memiliki hak konstitusional untuk mengajukan usul Rancangan Undang-Undang (RUU). Hak itu dijamin oleh Pasal 21 UUD 1945.

"Nah, gagasan untuk mengajukan RUU mengenai pencabutan UU Cipta Kerja oleh Anggota-anggota DPR dari Fraksi-PKS dan Fraksi-Demokrat menurut saya memiliki landasan yuridis yang kuat," sebutnya.

Dasarnya adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat. Alasan tersebut merupakan salah satu alasan normatif untuk membentuk sebuah undang-undang.

Gelombang aksi unjuk rasa besar-besaran menolak omnibus law yang tak kunjung berhenti belakangan ini jelas menunjukan adanya kebutuhan hukum dari masyarakat untuk membatalkan UU Cipta Kerja.

"Nah, untuk membatalkan UU Cipta Kerja melalui proses ‘legislative review’, DPR seperti halnya MK juga memiliki hak menguji (‘toetsingsrecht’) sebuah UU yang ia bentuk sendiri," paparnya.

Perangkat hukum yang dibutuhkan DPR untuk membatalkan UU dimaksud adalah dengan cara membentuk undang-undang yang lain lagi. Sebab, UU hanya bisa dibatalkan dengan UU juga.

"Jadi, usulan mengajukan RUU mengenai pencabutan UU Cipta Kerja oleh Anggota DPR dari PKS dan Demokrat yang saya sarankan ini ada ‘legal reasioning’-nya. Beralasan menurut hukum," katanya.

"Terkait dengan hal itu, anggota-anggota dari PKS dan Demokrat menurut saya bisa menjadi inisiator sekaligus motor penggerak penggalangan tanda tangan pengusulan RUU mengenai pembatalan UU Cipta Kerja," sambungnya.

Setelah dimulai dari anggota-anggota PKS dan Demokrat sendiri, lanju dia, selanjutnya mereka bisa mengajak anggota-anggota dari fraksi yang lain guna memperluas dukungan.

"Orang seperti Fadli Zon dari Fraksi Gerindra, misalnya, mungkin juga mau ikutan tanda tangan. Bahkan, setelah terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran kemarin, boleh jadi sekarang ini sudah ada fraksi lain yang mau melakukan pertobatan dan bersedia mengubah sikap politiknya mendukung pembatalan UU Cipta Kerja," pungkasnya. [Tp]