telusur.co.id - Revisi Undang Undang Penyiaran yang melarang jurnalisme investigasi mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Komunikolog Indonesia, Emrus Sihombing menilai pelarangan jurnalisme investigasi sebagai tindakan yang inkonstitusional.
"Karena tidak sejalan dengan kemerdekaan mengemukakan pendapat," tolak Emrus, Selasa.
Ia juga menilai pelarangan jurnalisme investigasi tidak sesuai dengan nilai demokrasi karena media tidak dapat lagi melakukan fungsi kontrol sosial. Bahkan, berpotensi melahirkan kewenangan atau kekuasaan semena-mena.
Yang lebih berbahaya, lanjutnya, adanya pelarangan jurnalisme investigasi akan mendorong maraknya perilaku koruptif oleh pejabat publik karena masyarakat tidak berdaya melakukan kontrol sosial. "Memusnakan salah satu karya jurnalistik yaitu investigation reporting."
Karena dampaknya cukup membahayakan kehidupan berdenokrasi, Emrus mengusulkan agar RUU Penyiaran ditolak. "Saya mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menolak larangan penayangan jurnalisme investigasi," tutupnya.
Untuk diketahui, di dalam draf revisi UU Penyiaran ada beberapa pasal yang dipermasalahkan. Seperti Pasal 50 B ayat 2 huruf C pada draf revisi UU Penyiaran melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.
Lalu, Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Padahal, UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers. [ham]