Oleh: Suroto*
Masalah koperasi gagal bayar yang berpotensi rugikan masyarakat hingga trilyunan rupiah dan melibatkan puluhan ribu masyarakat anggotanya baru baru ini menjadi perhatian luas. Bahkan mengundang perhatian khusus dari Menko Polhukam Mahfud MD hingga Presiden Joko Widodo.
Kasus mendapat perhatian semakin luas dari masyarakat sejak terjadinya kasus suap Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Inti Dana terhadap Hakim Agung untuk pengaruhi putusan pailit dan juga putusan bebas Pengadilan Negeri terhadap pengurus KSP Indosurya.
Dalam putusan pengadilan untuk KSP Indosurya dinyatakan bahwa dalam fakta pengadilan yang diajukan tidak ditemukan unsur pidananya dan hanya menyangkut kasus perdata. Karena hanya dianggap menyangkut urusan kesepakatan investasi dan pengelolaan manajemennya.
Masalah gagal bayar tentu bukan soal pidana jika tidak ditemukan unsur semacam penyalahgunaan atau melampaui kewenangan pengurus dan manajemen sesuai aturan Anggaran Dasar (AD) Koperasi, dan atau unsur korupsi ataupun penggelapan asset koperasi untuk memperkaya pribadi pengurus atau manajemen.
Kelemahan
Sejak semula, gugatan kasus ini memang mengandung kelemahan karena anggota sebagai legal standing penggugat pertama tama tidak menyelesaikanya melalui mekanisme hukum koperasi terlebih dahulu. Dimana secara tegas disebut dalam UU Perkoperasian kekuasaan tertinggi dari koperasi adalah di tangan Rapat Anggota.
Sepertinya rekomendasi Satuan Tugas (Satgas) Koperasi Bermasalah yang dibentuk Kemenkop dan UKM juga mengarah pada penyelesaian melalui mekanisme pengadilan dengan tuntutan Homologasi atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( PKPU), bukan dudukan perkara seterang terangnya terlebih dahulu di depan majelis Rapat Anggota.
Berangkat dari penyelesaian kasus yang telah dilakukan, anggota seakan dianggap sebagai entitas para pihak yang terpisah dari manajemen koperasi. Padahal, menurut hukum koperasi, anggota adalah pemilik perusahaan koperasi, mereka adalah penentu kuasa putusan tertinggi koperasi melalui forum Rapat Anggota demokratis dengan hak setiap satu orang satu suara .
Seharusnya, jika Satgas bekerja secara benar, yang pertama tama dilakukan adalah memastikan berjalanya Rapat Anggota secara demokratis, bukan turut rekomendasi penyelesaianya langsung melalui mekanisme pengadilan.
Dari forum Rapat Anggota baru akan dapat diketahui duduk perkara dan masalah sebenarnya. Anggota dapat meminta pertanggungjawaban dan laporan keuangan dari pengurus yang diangkat melalui Rapat Anggota. Menilai fakta fakta sebenarnya dan jika diperlukan dapat mengundang pihak auditor independen yang ditunjuk oleh Rapat Anggota terlebih dahulu.
Selain itu, jika diperlukan, fungsi Satgas tentu juga dapat mendorong agar Rapat Anggota keluarkan rekomendasi untuk meminta Pemerintah bentuk semacam manajemen "care taker" independen yang berfungsi untuk tetap mengakuisi manajemen serta menyelamatkan aset koperasi dan bahkan bukan tidak mungkin untuk membangun prospektus baru bagi koperasi.
Blunder
Penyelesaian melalui mekanisme pengadilan seharusnya menjadi pintu belakang bukan pintu depan. Sehingga tidak menimbulkan masalah semakin menjadi rumit yang pada akhirnya dapat benar benar muncul jadi kerugian bagi anggota koperasi.
Satgas Koperasi Bermasalah Kemenkop dan UKM sebetulnya secara langsung atau tidak langsung bukan hanya berikan rekomendasi yang salah, tapi juga telah turut ciptakan blunder masalah karena KSP sebagai lembaga keuangan yang sangat sensitif terhadap isu karena kasusnya terus di-blow up di media secara luas terus menerus. Hal mana justru timbulkan ketidakpercayaan anggota dan dorong timbulkan rush atau penarikan dana anggota lebih besar.
Solusi
Menteri Koperasi dan UKM, Menkopulhukam dan bahkan Presiden kemudian memberikan statement dengan janji untuk segera lakukan revisi UU Perkoperasian. Sepertinya soal regulasi akan segera jadi jalan bagi semua persoalan.
Padahal masalahnya jika Pemerintah memang serius, kenapa baru baru ini ketika disyahkanya Undang Undang Omnibus Law Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan ( UU PPSK ) yang juga mengatur temtang koperasi tidak dilakukan koreksi sekaligus? padahal saat pembahasan UU masalahnya sudah menyeruak ke permukaan.
Membaca UU PPSK yang baru disyahkan, ternyata urusan penguatan kelembagaan koperasi tidak direkognisi. Koreksi terhadap UU Perkoperasian dalam Omnibus Law PPSK tidak akui Lembaga Penjamin Simpanan ( LPS) bagi koperasi. Koperasi didiskriminasi, dan hanya diperuntukkan untuk perbankkan. Demikian juga untuk masalah Dana Pentalangan ( bailout ) sebagai bantalan terakhir jika lembaga keuangan itu hadapi masalah likuiditas akibat krisis keuangan atau ekonomi, koperasi juga didiskriminasi.
Anehnya lagi, anggota koperasi yang saat ini dimana mana hadapi masalah di koperasi mereka, ternyata tak ada satupun dari mereka yang memasukkan klausul perlindungan atau setidaknya klausul tentang LPS bagi koperasi tersebut di UU.
Janji Presiden untuk segera selesaikan masalah ini dengan UU itu tentu berpotensi hanya akan jadi macan kertas dan membuat masalah menjadi semakin berlarut larut karena sebetulnya kalau ada political will, dengan dasar UU Perkoperasian yang berlaku saat ini pemerintah sudah dapat keluarkan semacam PP atau Permenkop sebagai solusi. Sebab UU itu butuh penjadwalan di Prolegnas dan pembahasan dan persetujuan Parlemen.
Sudah sejak tahun 2000 masyarakat pernah usulkan agar segera dibentuk LPS bagi simpanan anggota koperasi, namun selalu ditolak oleh Menteri Keuangan. Sekarang ini ketika masalahnya sudah mengemuka sebagai masalah besar masih tetap dijanjikan akan dilakukan revisi UU. Ini seperti menjual harapan dari waktu ke waktu.
Jumlah asset KSP di tanah air jika dibandingkan assetnya dengan asset bank komersial padahal sangat kecil. Assetnya hanya 101 trilyun rupiah atau 1 persen dari total nilai asset bank komersial sebesar 10.112 trilyun rupiah (OJK, Desember 2021). Kenapa begitu sulit sekali pemerintah untuk lindungi jumlah aset rakyat yang sangat kecil jika dibandingkan aset bank?
Dalam UU PPSK Pemerintah berikan penjaminan simpanan dan talangan kepada bank komersial dan bahkan masukkan asuransi komersial namun tidak untuk koperasi. Di UU PPSK yang baru disyahkan kemarin koperasi tidak diakui(direkognisi) untuk mendapatkan penjaminan dan talangan tersebut. Sehingga secara sengaja sebetulnya koperasi sedang diperlemah dan didiskriditkan.
Karl Marx benar, negara fungsinya memang menjadi pelayan bagi kelas dominan dan saat ini kelas dominan itu adalah para konglomerat pemilik bank. Para konglomerat itu juga tahu, jika koperasi diberikan dukungan yang sama seperti fasilitas yang diberikan pemerintah kepada bank maka koperasi sebagai lembaga keuangan yang dapat dimiliki dan dikontrol secara luas oleh rakyat akan gantikan bank seperti di negara negara maju. Sebut saja seperti Canada, Amerika Serikat, Perancis, Jerman dan lain lain. Menyedihkan sekali bukan?[***]
*) Ketua AKSES