telusur.co.id - Sejak merebaknya kasus Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) pada akhir 2019 di Sumatera Utara, Kementan telah melakukan langkah-langkah strategis pencegahan dan pengendalian. Salah satu langkah jangka panjang adalah pengembangan vaksin ASF.
"Saat ini belum ada vaksin ASF yang efektif tersedia untuk pencegahan penyakit ini, sehingga saya minta 12 Pakar Kesehatan Hewan Indonesia dari Unud, Unair, IPB, Unibraw, dan UGM serta unit teknis di Kementan untuk segera mengembangkan vaksin ASF ini," kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementan, I Ketut Diarmita, di Jakarta, Jumat (24/1/20).
Menurutnya, virus penyebab ASF ini sangat bandel, karena bisa tahan lama di produk dan lingkungan. Pelaksanaan strategi pengendalian dengan pengawasan lalu lintas, desinfeksi, disposal dan biosekuriti saat ini masih belum cukup membendung penyebaran penyakit.
"Pengembangan vaksin ASF ini diharapkan akan memberikan solusi ke depan untuk pencegahan penyakit," ucap Ketut.
Sementara itu, Agung Suganda, Kepala Pusat Veteriner Farma (Pusvetma), unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Ditjen PKH menyatakan kesiapannya untuk mengawal dan memfasilitasi pengembangan vaksin tersebut. Hal itu disampaikan pada saat membuka Rapat Koordinasi Tim Pakar Pengembangan Vaksin ASF mewakili Dirjen PKH di Surabaya, 23/01/2020.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. IGN Kade Mahardika, salah satu pakar dari Fakultas Kedokteran Hewan, Unud menyampaikan bahwa pembuatan vaksin ASF sangat kompleks, karena saat ini penelitian dasar tentang hal ini belum mencukupi. Ia menjelaskan bahwa karakteristik biologis virus ASF sangat kompleks dengan genom yang besar, dan setengah protein virusnya tidak diketahui fungsinya. Begitu pula dengan mekanisme perlindungan terhadap ASF yang belum banyak diketahui.
Lebih lanjut, Mahardika juga menyampaikan kendala pengembangan vaksin ASF yang selama ini berjalan yakni penelitian tentang virus hidup dibatasi hanya di laboratorium dengan tingkat biosekuriti yang tinggi, kurangnya model hewan kecil yang tepat dan ekonomis untuk percobaan, serta beberapa kendala teknis lainnya.
"Oleh karena itu, kami mengembangkan vaksin ASF berbasis teknologi DNA rekombinan pada prokaryota dengan sistem Chaperone kombinasi protein struktural dan non struktural yang aman dan dapat diproduksi cepat. Prosesnya sudah kita laksanakan, dan saat ini master seed sudah siap untuk dibuatkan prototipenya di Pusvetma," tambahnya.
Menyambut hal itu, Agung menyampaikan kesiapannya untuk segera membuat prototipe vaksin ASF rekombinan tersebut.
"Ini sesuai arahan bapak Mentan SYL dan Dirjen PKH, yang mengharapkan agar produksi vaksin segera dilakukan dan segera dapat digunakan untuk mencegah penyebaran Penyakit ASF di Indonesia" pungkasnya. [Fhr]