telusur.co.id - Di tepi Danau Fuxian yang tenang, kota Yuxi, Provinsi Yunnan, menjadi saksi pertemuan bersejarah. Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, duduk bersama dua tokoh penting Asia Tenggara: Wakil Perdana Menteri sekaligus Menlu Kamboja, Prak Sokhonn, dan Menlu Thailand, Sihasak Phuangketkeow. Pertemuan trilateral ini bukan sekadar diplomasi rutin, melainkan upaya menyembuhkan luka panjang akibat konflik perbatasan berdarah antara Kamboja dan Thailand.
Hanya dua hari sebelumnya, kedua negara baru saja mencapai gencatan senjata setelah 20 hari bentrokan yang menewaskan 99 orang. Suasana tegang masih terasa, namun di Yuxi, ketiga negara mencoba membuka lembaran baru. Wang Yi menegaskan bahwa gencatan senjata yang dicapai dengan susah payah tidak boleh gagal di tengah jalan. “Ini bukan yang diinginkan rakyat, dan bukan pula yang diharapkan China,” ujarnya.
Dalam pertemuan itu, lahir tiga konsensus penting: melihat ke depan dan bergerak bersama, melanjutkan kesepakatan gencatan senjata secara bertahap, serta membangun kembali kepercayaan yang sempat hilang. Wang Yi menekankan bahwa Kamboja dan Thailand adalah “tetangga abadi” dengan sejarah panjang persahabatan, sehingga perdamaian harus menjadi pilihan utama.
China sendiri menegaskan komitmennya untuk mendukung penuh pemulihan hubungan kedua negara. Bantuan kemanusiaan, kerja sama pembersihan ranjau, hingga pemantauan gencatan senjata siap diberikan. “China akan selalu menjadi pendukung perkembangan hubungan Kamboja–Thailand,” tambah Wang Yi.
Menlu Kamboja dan Thailand pun menyambut positif. Mereka berjanji melaksanakan gencatan senjata, memperkuat komunikasi, dan bersama-sama menjaga stabilitas di wilayah perbatasan. Lima aspek kerja sama disepakati: konsolidasi gencatan senjata, komunikasi berkelanjutan, membangun kembali kepercayaan politik, mencapai titik balik hubungan bilateral, dan menjaga perdamaian regional.
Konflik perbatasan Kamboja–Thailand bukan hal baru. Sengketa yang telah berlangsung puluhan tahun kerap memicu kekerasan, termasuk bentrokan besar pada Juli 2025 yang menewaskan 48 orang. Namun pertemuan di Yuxi memberi harapan baru: bahwa luka lama bisa disembuhkan, dan persahabatan antarbangsa dapat kembali dirajut. [ham]




