Dampak Peralihan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Peserta Jamsostek Menjadi Peserta BPJS Ketenagakerjaan - Telusur

Dampak Peralihan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Peserta Jamsostek Menjadi Peserta BPJS Ketenagakerjaan


Oleh: Johannes Tambunan, S.H., CFrA.(Mahasiswa Magister Hukum Universitas Hang Tuah, Konsentrasi Hukum Kesehatan.)

Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (UU BPJS) merupakan dasar hukum terbentuknya BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan merupakan badan hukum publik yang menjadi transformasi PT. Jamsostek (Persero) yang bertujuan untuk mengakselerasi dalam penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN merupakan program kerja negara untuk memberikan perlindungan, kepastian, dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Dalam pembentukan dan pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4 UU BPJS berdasarkan prinsip-prinsip kegotong-royongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. BPJS Ketenagakerjaan tidaklah sama dengan Program Asuransi Wajib sebagaimana dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Peransuransian (UU Asuransi) karena BPJS Ketenagakerjaan mempunyai dasar hukum tersendiri sebagaimana UU BPJS untuk memberikan perlindungan dasar bagi masyarakat dengan mekanisme subsidi silang dalam penetapan manfaat dan premi atau kontribusinya sehingga BPJS Ketenagakerjaan tidak dapat dipersamakan dengan Program Asuransi Wajib sebagaimana UU Asuransi tersebut.

Oleh karena itu sebagaimana prinsip-prinsip diatas BPJS Ketenagakerjaan mempunyai komitmen luar biasa dalam berpartisipasi untuk mencapai tujuan pembangunan yang semakin baik. Komitmen tersebut diimplementasikan melalui Penyelenggaraan Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagaimana Pasal 64 huruf b Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Pertanggungjawaban BPJS Ketenagakerjaan terhadap mantan peserta PT. Jamsostek (Persero) (eks Jamsostek) yaitu menerima peserta eks Jamsostek secara langsung/otomatis menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sehingga bertalian dengan hal tersebut maka segala hak-hak yang didapat oleh peserta eks Jamsostek itu diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan. 

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 57 huruf d UU BPJS, BPJS Ketenagakerjaan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program Jamsostek yang sebelumnya diberikan oleh Jamsostek yang bertujuan untuk melindungi para tenaga kerja dari bahaya dalam bekerja, hari tua, pensiun, dan kematian. 

Terdapat beberapa program dalam BPJS Ketenagakerjaan, diantaranya Program Pensiun, Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Program Jaminan Hari Tua (JHT), dan Program Jaminan Kematian (JK).  

Jika peserta eks Jamsostek telah melaksanakan kewajibannya namun tidak mendapatkan haknya sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan UU BPJS, maka hal itu berpotensi peserta BPJS Ketenagakerjaan dan/atau anggota keluarganya menuntut haknya dengan cara membuat laporan pengaduan kepada Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). 

Adanya permasalahan dalam penyelenggaraan jaminan sosial dapat terjadi antara peserta BPJS Ketenagakerjaan dengan BPJS Ketenagakerjaan apabila peserta BPJS Ketenagakerjaan telah memenuhi kewajibannya berupa iuran, yaitu sejumlah uang yang dibayarkan secara berkala oleh peserta BPJS Ketenagakerjaan kepada BPJS Ketenagakerjaan, akan tetapi peserta tersebut tidak mendapatkan haknya, karena jaminan sosial tenaga kerja merupakan hak setiap tenaga kerja tanpa terkecuali, termasuk pekerja kontrak maupun pekerja tetap.  

Terdapat beberapa langkah hukum dalam proses penyelesaian sengketa antara peserta BPJS Ketenagakerjaan dengan BPJS Ketenagakerjaan, yaitu diawali dengan membuat Laporan Pengaduan kepada BPJS sebagaimana Pasal 3 Peraturan BPJS No. 2 Tahun 2014 tentang Unit Pengendali Mutu Pelayanan dan Penanganan Pengaduan Peserta, apabila peserta BPJS Ketenagakerjaan tetap tidak mendapatkan hak-haknya padahal seluruh kewajibannya telah dipenuhi, maka peserta BPJS Ketenagakerjaan berhak untuk membuat Laporan Pengaduan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 39 UU BPJS, sebab OJK merupakan pengawas independen dalam melakukan pengawasan eksternal terhadap BPJS.

Oleh karena itu, OJK sebagai lembaga pengawas BPJS dapat dijadikan tempat mengadukan permasalahan ataupun sengketa yang terjadi antara peserta BPJS Ketenagakerjaan dengan BPJS Ketenagakerjaan. 

Apabila langkah hukum dalam membuat Laporan Pengaduan tidak dihiraukan oleh BPJS Ketenagakerjaan, maka peserta BPJS Ketenagakerjaan dapat melakukan penyelesaian sengketa melalui mediasi, yaitu dengan cara proses negosiasi untuk memecahkan suatu permasalahan dengan melibatkan pihak luar yang netral/tidak memihak bekerja sama dengan para pihak yang mempunyai permasalahan/sengketa untuk membantu mencapai kesepakatan win-win solution yang menguntungkan para pihak.

Selain itu, Peserta BPJS Ketenagakerjaan juga dapat melakukan penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) karena salah satu program BPJS Ketenagakerjaan, yakni Jaminan Kematian (JK) ialah program asuransi, termasuk pelayanan dari rumah sakit maupun pelayanan kesehatan lainnya jika peserta BPJS Ketenagakerjaan mengalami sakit atau kecelakaan saat bekerja.

Hingga pada akhirnya apabila semua langkah hukum diatas tetap tidak menemukan titik terang, peserta BPJS Ketenagakerjaan dapat melakukan langkah hukum penyelesaian sengketa (gugatan) kepada BPJS Ketenagakerjaan melalui Pengadilan Negeri.


Tinggalkan Komentar