Telusur.co.id - oleh : Nazaruddin
Dalam menghadapi isu kebangkitan PKI, rujukan sejarah yang dipakai sering hanya diseputar peristiwa G30 S. Sehingga kesimpulannya, pahlawannya adalah Militer (Soeharto). Yang sering dilupakan, bahkan tidak dipahami adalah, mengapa kemudian PKI menjadi besar dan menjadi salah satu penopang Nasakom.
Mengapa panggung politik di zaman Demokrasi Terpimpin didominasi oleh tiga kekuatan, Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan militer?
Semuanya berawal dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dan munculnya Dekrit itu tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang ada di era Demokrasi Parlementer, khususnya pembubaran Partai Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia, dan apa yang terjadi di sidang-sidang Konstituante.
Selama masa Demokrasi Parlementer, Masjumi dan PSI berdiri digaris depan sebagai penyeimbang Soekarno dan PKI.
Kalau kita mengikuti sejarah pergulatan ketatanegaraan bangsa ini, yang populer atau yang menonjol adalah perbedaan antara arus yang menghendaki Pancasila sebagai dasar negara, dan arus yang menghendaki Islam sebagai dasar negara.
Tidak banyak yang paham dan seolah sengaja dihapus dari sejarah perjalanan bangsa ini, bahwa bangsa ini juga terbelah pandangannya pertama, dalam soal UUD 1945.
Satu arus menghendaki UUD 1945 sebagai konstitusi negara, dan arus yang lain tidak menghendaki UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Kedua, satu arus menghendaki sistem pemerintahan presidensial, arus lain menghendaki sistem pemerintahan parlementer. Ketiga, satu arus menghendaki Indonesia menjadi negara integralistik (kekeluargaan) dengan slogan gotong royong, arus lain menghendaki Indonesia menjadi negara demokratis.
Pergulatan dalam soal-soal itulah yang diperdebatkan di dalam konstituante. Ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, konstituante sedang dalam masa reses, dan masih punya waktu 100 hari untuk menyelesaikan sidang-sidangnya.
Beberapa hal penting sudah disepakati, mayoritas ingin mempertahankan sistem parlementer, karena diyakini lebih menjamin sistem pemerintahan yang demokratis. Beberapa hal memang belum disepakati, terutama soal dasar negara.
Sebelum memasuki reses, pembahasan menyangkut isyu HAM sdh dirumuskan dan akan dibahas lagi setelah reses. Persoalan dasar negara akan dilakukan lobby-lobby dalam masa reses.
Trend positif kinerja Konstituante ini terus dimonitor Soekarno dan Militer yang sejak awal sangat tidak nyaman dengan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, peran politik Soekarno sangat terbatas.
Fungsi presiden hanya sebagai kepala negara dengan fungsi-fungsi serimonial belaka. Militer yang merasa punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan dan ingin punya peran penting di dalam pemerintahan, dalam sistem Demokrasi Parlementer sepenuhnya harus tunduk pada supremasi sipil. Ditambah lagi dengan pecah kongsi Soekarno-Harta. Pada tahun 1957, Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, karena sudah tidak sependapat lagi dengan langkah-langkah politik Soekarno.
Itulah dinamika-dinamika yang melatarbelakangi mengapa Soekarno kemudian mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 membubarkan Konstituante dan kembali kepada UUD 1945.
Mitos yang diciptakan Soekarno kemudian, Konstituante telah gagal menjalankan tugasnya, karena terlalu bertele-tele berdebat tentang dasar negara. Itulah alasannya mengapa dirinya kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Mitos itu kemudian dilanjutkan oleh Soeharto. Di zaman Orde Baru diciptakanlah istilah “Demokrasi Pancasila”, suatu konsep ketatanegaraan yang diposisikan berbeda dengan Nasakom di era Soekarno, dan berbeda juga dengan Demokrasi Liberal (istilah yg sengaja ditekankan. Orba tdk pernah menyebut istilah Demokrasi Parlementer). Di masa Demokrasi Liberal, bangsa ini dikatakan terjebak dalam pertikaian-pertikaian ideologi yang tak kunjung usai. Yang ditonjolkan adalah kegagalan Konstituante.
Propaganda dua rezim otoriter itu telah merusak eksistensi dan nama baik Konstituante dalam sejarah bangsa ini. Pembentukan Konstituante untuk merumuskan dasar negara adalah ide yang sangat modern di era tahun lima puluhan.
Dan menunjukkan betapa hebatnya kesadaran dan pemahaman sistem ketatanegaraan para pelaku politik bangsa ini pada waktu itu. Perumusan Konstitusi melalui lembaga khusus yang diciptakan untuk itu dan keanggotaannya dipilih melalui pemilihan umum khusus memilih anggota Konstituante, sangat menjamin legalitas dan kwalitas Konstitusi yang dihasilkan.