Oleh: Suroto*
Sebuah tinjauan hukum berdasarkan Konstitusi kita, bahwa setiap orang itu diberikan hak yang sama atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pengakuan ini diakui dalam pasal 28 D, UUD 1945.
Kata setiap orang ini juga berlaku bagi orang pribadi sebagai badan hukum nutural lijk atau individu manusia maupun tentu badan hukum ficta persona atau badan hukum yang diciptakan oleh badan hukum.
Badan hukum koperasi adalah sebagai salah satu badan hukum ficta persona yang diakui oleh negara selain Perseroan, Yayasan, Perkumpulan dan lain-lain. Sehingga perlakuan hukum oleh negara tidak boleh diskriminatif terhadap koperasi.
Apalagi koperasi ini disebut sebagai sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang walaupun telah dihapus namun menurut pendapat pakar hukum Prof Maria Farida masih berlaku aktif karena tidak mengalami perubahan satu huruf pun dalam ayat-ayatnya ketika dilakukan amandemen.
Kenyataan di lapangan, ternyata banyak sekali produk regulasi setingkat undang-undang (UU) atau regulasi di bawahnya yang mendiskriminasi, mensubdinasi dan bahkan mengeliminasi koperasi.
Beberapa contoh bentuk diskriminasi dan subordinasi terhadap koperasi itu ada dalam UU BUMN, UU Rumah Sakit, UU Penanaman Modal. Di UU BUMN misalnya, BUMN itu wajib berbadan hukum perseroan. Kemudian di UU Rumah Sakit misalnya disebut rumah sakit privat wajib berbadan hukum Perseroan dan dalam UU Penanaman Modal disebut bahwa penanaman modal asing wajib berbadan hukum perseroan.
Kata "Wajib" dalam UU tersebut secara nyata tentu telah mendiskriminasi koperasi. Koperasi menjadi tak memiliki lagi kesempatan untuk menjadi pilihan badan hukum usaha dalam bentuk BUMN, Rumah Sakit privat ataupun dalam usaha penanaman modal asing.
Akibat dari perlakuan diskriminatif terhadap koperasi itu akhirnya menyebabkan usaha-usaha BUMN, rumah sakit dan juga perusahaan asing itu tak satupun yang berbadan hukum koperasi. Seluruh UU tersebut menutup peluang model kepemilikan koperasi. Kepemilikan langsung masyarakat.
Dampak dari regulasi yang diskriminatif tersebut adalah munculnya aleniasi terhadap koperasi dalam lintas bisnis modern yang diusahakan oleh dalam bentuk BUMN, rumah sakit ataupun investasi asing. Koperasi akhirnya menjadi kerdil dan hanya mampu urus remah-remah.
Padahal, jika kita pahami filosofi hingga tata kelolanya. Model badan hukum koperasi itu sebetulnya justru dapat dinilai sebagai yang paling cocok bagi BUMN. Sebab tujuan dari koperasi itu, sebagaimana tujuan dari BUMN adalah agar dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Bukan semata-mata untuk mengejar keuntungan seperti tujuan dari bentuk perseroan.
Apalagi misalnya menyangkut rumah sakit. Usaha yang menyangkut masalah kemanusiaan ini tentu seharusnya yang cocok justru adalah koperasi. Sebab jika diusahakan melalui cara koperasi maka tidak ada lagi pengejaran untung terhadap orang yang sedang menderita.
Apalagi menyangkut usaha dalam bentuk penanaman modal asing yang hanya dominan bermuatan kepentingan semata mengejar keuntungan karena modal asing itu sama sekali tidak punya perikatan kewargaan, ataupun memiliki perikatan sosial kultural dari usaha usaha yang ada di dalam negeri kita.
Dampak lain dari diskriminasi terhadap badan hukum koperasi itu juga berakibat fatal. Kita menjadi kehilangan visi dan imajinasi untuk terjemahkan fungsi keadilan dan kemakmuran bagi kepentingan rakyat banyak dari apa yang menjadi usaha usaha BUMN.
Usaha-usaha BUMN itu misalnya, pada akhirnya hanya berlaku dalam sistem dari, dan untuk rakyat. Tidak berlaku kata oleh rakyat. Rakyat dieliminasi langsung dari proses partisipasinya. Rakyat digembok hanya menjadi sasaran layanan bisnis mereka semata-mata.
Sebagai misal adalah beroperasinya bank-bank BUMN seperti BRI, BNI, MANDIRI, dan lain-lain itu. Bank-bank itu pada akhirnya hanya posisikan rakyat Indonesia sebagai obyek layanan. Berjuta-juta rakyat Indonesia sebagai pemilik syah dan berkedaulatan itu dalam posisi marjinal. Dikarenakan kepemilikan palsunya terhadap 118 BUMN dan 800 anak cicit BUMN itu dikuasai oleh pemerintah, maka rakyat tidak dapat ikut mengendalikan langsung perusahaan ataupun mendapatkan bagian keuntungan sebagaimana yang terjadi pada koperasi.
Padahal, dalam bentuk layanan keuangan ini kita dapat lihat contoh di negara lain jika dikelola dalam bentuk koperasi. Sebagai misal adalah di Jerman, di negara ini industri keuangan keseluruhanya itu dalam kuasa rakyat dan dikendalikan rakyat langsung hingga capai pangsa pasar 74 persen. Bahkan sisanya tetap saja berhubungan dengan perluasan usaha keuangan koperasi seperti mutual banking. Sangat kecil sekali yang diusahakan oleh model swasta kapitalis.
Masalah-masalah lain yang ditimbulkan sebagai akibat diskriminasi terhadap badan hukum koperasi ini misalnya, menjadikan usaha usaha BUMN ini justru bertentangan terhadap kepentingan rakyat. Misal adalah munculnya konflik antara BUMN disektor perkebunan dengan masyarakat adat, perusakan lingkungan dan lain lain yang hal tersebut tidak akan mungkin terjadi karena jika dalam bentuk koperasi karena mereka turut menjadi pengendali dari kebijakan perusahaan.
Itu hanya sekelumit persoalan dari akibat tindakan diskriminatif terhadap badan hukum koperasi. Lebih dari itu semua, dengan menjadikan badan hukum koperasi bagi BUMN itu sebetulnya juga akan dapat langsung memperbaiki kehidupan ekonomi rakyat. Sebut misalnya, andaikan semua keuntungan BUMN itu sebagian lagi dibagi kepada rakyat pemilik syah BUMN itu maka tingkat derajat kesejahteraan rakyat tentu akan meningkat tajam. Usaha usaha BUMN itu juga akan menjadi lebih produktif karena semua orang ikut memiliki.
Bukan hanya itu, melalui cara cara kerja koperasi dalam model koperasi publik itu juga akan meminimalisir terjadinya mis manajemen karena semua harus dipertanggungkawabkan kepada rakyat secara langsung. Sehingga tindakan manejemen yang misalnya secara serampangan menggaji direksinya beribu kali lipat terhadap buruhnya yang terendah jabatannya tidak akan terjadi lagi seperti yang terjadi saat ini.
Demikian juga dalam proses pengangkatan komisaris misalnya, tidak akan ada lagi bentuk pengangkatan seorang komisaris BUMN yang tidak memiliki komptensi sama sekali dalam bidang yang dikelola BUMN tersebut. Seperti misalnya mengangkat para politisi atau malahan artis.
Usaha-usaha BUMN yang ada pada akhirnya semua menjadi sangat transparan dan dapat dipertanggungjawabkan ke publik. Bukan seperti saat ini, dimana untuk dapat mengakses laporan keuangan konsolidasi BUMN-BUMN itu saja sulit sekali.
Dapat dibayangkan, jika semua UU itu dibalik posisinya menjadi berbunyi bahwa semua BUMN, Rumah Sakit dan Penanaman Modal Asing itu wajib berbadan hukum koperasi, maka saya berkeyakinan rakyat Indonesia tidak hanya menjadi turut menikmati kemakmuran dari seluruh usaha usaha yang ada. Tapi juga tentu dapat berikan rasa keadilan bagi rakyat banyak.
Masalahnya sekarang, ahli-ahli hukum dan juga warga negara pada umumnya siapa yang menginginkan kemakmuran dan keadilan itu terjadi dan siapa yang peduli dengan masalah diskriminasi, subordinasi dan eliminasi dari produk regulasi dan kebijakan terhadap koperasi? Siapa yang peduli terhadap agenda demokratisasi ekonomi? Sistem ekonomi Konstitusi?[***]
*) Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)