telusur.co.id - Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) UNJ Prof. Dr. Komarudin, meminta Bawaslu untuk memastikan pelaksanaan pemilu di Indonesia dapat berjalan jujur dan adil.
Hal itu disampaikan Komarudin dalam kegiatan Literasi Data untuk Pengawasan Pemilu dengan tema "Sinergi Universitas dan Pengawas Pemilu melalui Literasi Data" di di Aula Gedung Dewa Sartika UNJ, Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Komarudin mengatakan penting untuk mentransformasi dan mereformasi pengawasan pemilu yang akan datang, mengingat perjalanan pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 banyak diwarnai dengan noda hitam, yang salah satunya berkenaan dengan politik uang.
"Kami mengharapkan dan meminta supaya pemilu yang jurdil itu benar-benar dilaksanakan. Karena kita menyaksikan sendiri, pemilu yang lalu itu penuh dengan noda, kalau menurut saya," kata Komarudin.
Menurutnya, hal ini tak hanya dirasakan oleh dirinya, tetapi semua pihak juga merasakan bahwa Pemilu 2024 kemarin banyak meninggalkan masalah.
"Dan mungkin anda, semua juga merasakan sama. Kenapa penuh dengan noda? Karena money politik di mana-mana. Sehingga pemilu kita tidak menghasilkan hasil yang berintegritas. Kalau kita mau jujur, ya seperti itu," ujarnya.
"Kalau boleh sih, mengharapkan dan meminta supaya pemilu yang jurdil itu benar-benar dilaksanakan," tambahnya.
Menanggapi itu, Anggota Bawaslu RI Puadi, mengungkapkan bahwa penanganan pelanggaran politik uang dalam pemilu tidak semudah diucapkan dengan kata-kata.
"Ada masyarakat menyampaikan, "Kok Bawaslu untuk menegakkan politik uang tidak mampu, misalkan". Tetapi sebenarnya itulah yang kadang kita diperhadapkan antara regulasi, yang menjalankannya fakta-faktanya itu tidak mudah untuk kita lakukan," kata Puadi.
Puadi menjelaskan bahwa Bawaslu selama ini dalam menegakkan pelanggaran politik uang terkadang tebentur dengan regulasi yang diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017.
"Terkadang kita sudah menjalankan mekanisme prosedur sesuai dengan hukum acara, tapi fakta di lapangan itu tidak mudah. Sebut saja undang-undang nomor 7 tahun 2017 di situ adanya larangan untuk mahar politik," beber Puadi.
"Di Bawaslu itu dalam konteks penegakan hukum itu ada Gakumdu. Di ruang Gakumdu itu perlu membangun satu chemistri. Ada polisi, ada jaksa, Walaupun PIC koordinatornya adalah pengawas pemilu. Itu tidak mudah untuk kita bisa lakukan," tambah Puadi.
Lebih lanjut, Puadi menjelaskan bahwa dalam UU tersebut ternyata tidak ada sanksi berkaitan tentang mahar politik.
"Tapi kita bisa lihat ternyata di undang-undang tersebut tidak ada sanksi berkaitan tentang mahar politik" tegasnya.
Terlebih, Bawaslu kata Puadi, juga diperhadapkan oleh dua rejim anturan antara rejim pemilu dan pilkada yang mengenakan sanksi dan tidak mengenakan sanksi.
"Di rejim pemilu itu memberi itu ada sanksinya tapi menerima tidak ada sanksinya, tapi kalau masuk di rejim pilkada atau pemilihan, memberi dan menerima itu kena," bebernya.
"Sekarang pertanyaannya, kalau ada masyarakat atau misalkan ada mahasiswa yang menerima politik uang, lalu kemudian dia melaporkan kepada penyelenggara pemilu. Kira-kira dia berani enggak? Setelah dia menerima lalu kemudian dia melaporkan sementara dalam aturannya adalah menerima itu adalah kena sanksi. Nah, ini kita diperhadapkan oleh persoalan demikian," pungkasnya.[Nug]
Laporan: Dhanis Iswara