Diskusi Dijamin UUD 1945, Kok Dituding Makar - Telusur

Diskusi Dijamin UUD 1945, Kok Dituding Makar

Ilustrasi. Foto Net

telusur.co.id - Akademika Universitas Islam Indonesia Prof. Fathul Wahid, menegaskan kegiatan diskusi yang berjudul “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” adalah murni aktivitas ilmiah yang jauh dari tuduhan makar sebagaimana disampaikan oleh oknum melalui media massa (daring) atau media sosial. 

Tema pemberhentian presiden dari jabatannya merupakan isu konstitusional yang diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945, yang lazim disampaikan kepada mahasiswa dalam mata kuliah Hukum Konstitusi.

Tindakan intimidasi terhadap panitia penyelenggara dan narasumber diskusi (Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum.) sungguh tidak dapat dibenarkan baik secara hukum maupun akal sehat. Bagaimana mungkin diskusi belum dilaksanakan, materi belum pula dipaparkan, tetapi penghakiman bahwa kegiatan diskusi akan berujung makar sudah disampaikan. 

Sivitas akademika Universitas Islam Indonesia menilai tindakan dimaksud bukan hanya tidak proporsional melainkan juga mengancam kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945. Sivitas akademika Universitas Islam Indonesia, khususnya sivitas akademika Fakultas Hukum UII, merasa prihatin dengan kejadian intimidasi yang terjadi; dan

Tindakan-tindakan berupa intimidasi, pembubaran hingga pemaksaan untuk 
membatalkan diskusi adalah tindakan yang tidak bisa diberi toleransi oleh hukum demi tegaknya HAM dan kebebasan akademik. Oleh karena itu, harus ada tindakan yang tegas dari penegak hukum terhadap oknum pelaku tindakan intimidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Lebih jauh dia mengatakan, salah satu buah reformasi adalah amandemen terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang antara lain memperteguh jaminan Hak Asasi Manusia (HAM). Di antara jaminan HAM tersebut adalah bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (vide Pasal  l28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945). 

Dalam dunia akademik, kebebasan berpendapat berupa kebebasan akademik merupakan jantung dari sebuah perguruan tinggi. Kebebasan akademik sebagai ruh sekaligus penciri dari perguruan tinggi yang akan menjadi pendorong bagi terwujudnya demokratisasi suatu bangsa. 

UNESCO mendefinisikan kebebasan akademik sebagai hak yang berupa “kebebasan dalam mengajar dan berdiskusi, kebebasan dalam meneliti dan menyebarluaskan serta menerbitkan hasil riset”. 

Pada konteks perguruan tinggi, kebebasan akademik termanifestasi ke dalam Tri Darma Perguruan Tinggi (atau Catur Darma di Universitas Islam Indonesia) yang terdiri atas penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan dakwah Islamiyah. 

Namun sayangnya, perjuangan untuk mendorong Indonesia menjadi negara yang demokratis melalui kebebasan mimbar akademik saat ini diwarnai oleh tindakan yang merusak demokratisasi yang diperjuangkan saat reformasi. Bukan hanya itu, saat ini telah tumbuh duri-duri yang menghalangi perjalanan menuju demokratisasi yang berupa tindakan intimidasi, teror, bahkan hingga pembatalan serta pembubaran kegiatan akademik di kampus.

Salah satu contoh yang paling aktual yang menunjukkan upaya “pembunuhan” demokrasi adalah tindakan intimidasi yang dilakukan oleh oknum tertentu kepada panitia penyelenggara dan narasumber (Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia) kegiatan Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (DILAWAN) yang diselenggarakan kelompok studi mahasiswa “Constitutional Law Society” Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) pada 29 Mei 2020. [ham]


Tinggalkan Komentar