telusur.co.id - DPD RI mengusulkan penambahan substansi dalam materi RUU Bahasa Daerah tentang pemartabatan bahasa daerah dengan menjadikan bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib. Usulan ini sangat tepat dan menjadi kata kunci penting sebagai jiwa dalam setiap upaya pelindungan, pembinaan, dan pengembangan Bahasa Daerah. Hal ini tertuang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komite III DPD RI dengan pakar bahasa Prof. Multamia Retno Mayekti Tawangsih dan M. Yoesoef di Gedung DPD RI, Komplek Senayan Jakarta, Senin (6/11/23).
Ketua Komite 3 DPD RI Hasan Basri didampingi Wakil Ketua Komite 3 Muslim M Yatim dan Abdul Hakim dalam paparannya mengatakan kondisi bahasa daerah yang menjadi kekayaan bangsa kita, semakin terancam seiring perkembangan zaman. kondisi itu menjadi landasan yang kuat untuk membentuk undang-undang yang secara khusus mengatur Bahasa Daerah. Atas dasar itu, DPD RI menyusun Rancangan Undang-Undang Usul Inisiatif DPD RI tentang Bahasa Daerah (RUU Bahasa Daerah).
“Untuk itu diperlukan kerangka hukum dalam bentuk legislasi yang khusus menjamin dan mengatur bahasa daerah agar dapat terus berkembang sebagai jati diri dan identitas masyarakat di daerah yang mampu memperkuat persatuan dan kesatuan nasional,” ujar Hasan Basri.
Wakil Ketua Komite III DPD RI Muslim M. Yatim menambahkan, dalam perkembangannya, RUU Bahasa Daerah yang telah diserahkan ke DPR RI tersebut, oleh Badan Legislasi DPR RI ditetapkan sebagai salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Prioritas Tahun 2023, berada dalam urutan nomor 37 dan siap untuk mulai dilakukan pembahasan pada masa sidang ini.
“DPD RI akan terlibat dalam pembahasan RUU bersama DPR RI dan Pemerintah. Berdasarkan hasil rapat Komisi X DPR RI, Pembahasan RUU Bahasa Daerah diagendakan tanggal 21 November 2023 dengan agenda penyampaian penjelasan DPD RI selaku pengusul RUU Bahasa Daerah,” jelasnya.
Menanggapi hal itu, Guru Besar Linguistik Universitas Indonesia, Profesor Multamia Retno Mayekti Tawangsih menyatakan bahwa setidaknya ada 11 (sebelas) bahasa daerah yang telah punah.
“Bahasa itu punah karena semakin sedikit penuturnya. Bahasa daerah saat ini mulai ditinggalkan tampak dari jumlah penuturnya yang tidak lebih dari seratus orang,” ujarnya.
Sementara itu, Tim Ahli Penyusun RUU Komite II Dr. M. Yoesoef menjelaskan bahwa dengan adanya RUU Bahasa Daerah justru menunjukkan keselarasan dalam konteks pemartabatan Bahasa Daerah itu sendiri sebagai upaya mempertahankan eksistensinya di tengah-tengah upaya peningkatan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa persatuan.
“Bagaimana bentuk pemartabatannya, antara lain dengan menjadikan Bahasa Daerah sebagai salah satu materi pelajaran muatan lokal wajib yang berdampingan dengan muatan lokal lainnya. Namun hambatannya apabila Bahasa daerah diwajibkan sebagai mata pelajaran, maka akan memunculkan persoalan ketika di suatu daerah terdapat lebih dari satu Bahasa Daerah,” tambah M. Yoesoef.