Dugaan TPPU Impor Emas Rp189 Triliun, Sri Mulyani atau Dirjen Bea Cukai Berbohong? - Telusur

Dugaan TPPU Impor Emas Rp189 Triliun, Sri Mulyani atau Dirjen Bea Cukai Berbohong?


telusur.co.id - Temuan PPATK tentang transaksi janggal berbau tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), banyak yang menarik perhatian publik. Yang paling ‘seksi’ dugaan cuci uang penyelundupan atau impor emas senilai Rp189 triliun. 

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menegaskan, Menko Polhukam Mahfud MD wajib bongkar tuntas kasus ini, dan minta penyidik dari luar Kementerian Keuangan untuk menangani kasus ini. 

"Dikawal masyarakat, memberikan status penyidikan kepada masyarakat secara berkala," kata Anthony, Jumat (31/3/23).

Anthony awalnya menyampaikan bahwa penjelasan Mahfud saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI, sangat mencerahkan. Dari penjelasan Mahfud, banyak hal yang dapat dibedah dan diungkap lebih dalam lagi.  

"Salah satu topik yang sangat penting dan wajib diusut tuntas adalah terkait dugaan pencucian uang oleh perusahaan impor, tepatnya penyelundup emas senilai Rp189 triliun. Lapaoran ini sudah diserahkan secara langsung, by hand, kepada pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada 2020," kata Anthony. 

Menurut Mahfud, tutur Anthony, Kepala PPATK juga menjelaskan, dugaan pencucian uang dengan modus yang sama, penyelundupan impor emas senilai Rp180 triliun, sudah dilaporkan pada 2017, secara langsung kepada pejabat Bea Cukai.

"Kedua perusahaan penyelundup tersebut diduga terafiliasi dengan pemilik yang sama," tuturnya. 

Untuk kasus ini, lanjut dia, Sri Mulyani mengaku tidak menerima laporan tersebut, baik yang 2017 maupun 2020. Setelah diserahkan bukti tanda terima, pejabat eselon satu Kementerian Keuangan tersebut akhirnya mengakui menerima laporan tersebut.

"Tetapi, kasusnya kemudian 'dikecilkan' atau 'dikorupsi', menjadi kasus pajak, padahal ini merupakan kasus bea cukai terkait penyelundupan," ungkapnya. 

Menurut Mahfud, kata Anthony, Sri Mulyani tidak mempunyai akses terhadap laporan PPATK yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak maupun Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Artinya, Sri Mulyani tidak bisa mengendalikan anak buahnya di Kementerian Keuangan. 

"Sungguh bahaya! Bukankah Kementerian Keuangan merupakan yang terbaik dalam melakukan reformasi birokrasi? Maka itu, yang menjadi pertanyaan penting adalah, apakah benar Sri Mulyani tidak mempunyai akses terhadap anak buahnya? Atau anak buahnya siap menjadi penyangga, siap berkorban?" kata Anthony menduga.[Fhr


Tinggalkan Komentar