telusur.co.id - Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) bekerjasama dengan Koalisi Pewarta Pemilu dan Demokrasi (KPPD) menggelar kegiatan diskusi dengan tema "Penegakan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Asing (TKA) Profesional Ilegal di Indonesia".
Kegiatan yang digelar di Chandaka Venue dan Dining pada Senin (26/5/2025), ini fokus membahas bagaimana penguatan hukum terhadap maraknya TKA ilegal di Indonesia.
Adapun pembicara pada kegiatan tersebut dihadiri oleh Anggota Komisi IX DPR RI Zainul Munasichin, Ketua KSPSI Dr Jumhur Hidayat dan Direktur MHI Wakil Kamal.
Dalam pemaparannya, Zainul mengungkapkan bahwa perputaran uang TKA tidak pernah dilakukan di Indonesia, karena tidak membuka rekening di dalam negeri.
"Rekening TKA itu gak ada buka di bank BRI, Mandiri, rekening TKA banknya tetap ya di China. Jadi uang itu ya dari rekening pengusahanya ke pekerjanya transfer di sana aja, jadi gak ada perputaran uangnya disini tuh gak ada," kata Zainul dalam pemaparannya.
Zainul juga mengungkap, kalau kekayaan alam di Indonesia kerap digerus oleh perusahaan-perusahaan yang lebih mementingkan kemaslahatan TKA, sementara sumbangan perusahaan-perusahaan tersebut ke negara amat minim.
"Jadi bener-bener kekayaan alam kita ini dikeruk, pengusahanya dapat untung besar, pekerjanya dapat untung besar sumbangan ke negaranya juga ke kita sangat kecil," ungkapnya.
Untuk itu, ia pun bersyukur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menggencarkan pengusutan kasus dugaan suap TKA di Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker).
"Jadi menurut saya ini pelajaran yang sangat berharga. Dan tentu kami berterima kasih kepada KPK untuk melihat bagaimana proses TKA ini menjadi pembelajaran kedepan," ujarnya.
"Nah tapi kita masih melihat kan belum diungkap seluruhnya ya bagaimana tahapan-tahapan dari apa yang terjadi sesungguhnya," lanjutnya.
Untuk itu, Komisi IX kata dia, bakal mendalami kasus yang menyinggung soal TKA ini dengan mengundang Kemnaker dalam RDP di masa sidang DPR yang akan datang.
"Tentu kami di Komisi IX akan mendalami lebih dalam lagi nanti akan kita jadwalkan untuk rapat dengar pendapat dengan Keenaker mungkin masa sidang berikutnya, karena besok penutupan masa sidang," pungkasnya.
"Tapi nanti kalau ada sifatnya urgent bisa kita jadwalkan di tengah-tengah reses," tambahnya menegaskan.
Sebelumnya KPK telah melakukan penggeledahan untuk kasus suap ini di kantor Kemnaker pada Selasa 20 Mei 2025. Tiga mobil di sita dalam penggeledahan tersebut.
Diketahui, KPK tengah mengusut dugaan suap pengurusan TKA ini pada Kemnaker pada periode 2020 sampai 2023.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan delapan orang tersangka. Lembaga anti rasuah ini menduga oknum pejabat di Kemnaker melakukan pemerasan terhadap tenaga kerja asing yang akan bekerja di Indonesia.
“Oknum Kemaker pada Dirjen Binapenta memungut atau memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu pasal 12e atau menerima gratifikasi pasal 21 b terhadap para pekerja asing yang akan bekerja di Indonesia,” kata Budi Prasetyo di Jakarta, Selasa 20 Mei 2025.
Adapun soal penegakan Hukum terhadap TKA ini dianggap lemah, pengusutan kasus suap TKA oleh KPK menunjukkan adanya aparat ketenagakerjaan yang seharusnya menegakkan aturan terhadap TKA untuk kepentingan negara, justru disalahgunakan untuk memperkaya pribadi.
“Nah ini yang sering saya sampaikan, kalau terjadi kongkalikong dan suap, maka penegakan hukum terhadap para TKA tidak akan maksimal. Mereka suap para aparat, dan bekerja dengan bebas tanpa setor pajak,” papar Direktur Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) Wakil Kamal, beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, Warga Negara Singapura berinisial TCL dilaporkan oleh masyarakat ke Dirjen Binapenta, Kemnaker karena diduga tidak mengantongi izin ketenagakerjaan di Indonesia sejak 2018.
Dalam laporan masyarakat itu, TCL bekerja di tiga perusahaan besar dan salah satunya perusahaan berstatus PMA. Di salah satu perusahaan ini, TCL menjabat sebagai salah satu direksi.
Menururt Wakil Kamal, pengawasan dan penegakan hukum terhadap para TKA justru semakin lemah, dan pada akhirnya an merugikan keuangan negara. Pajak dan insentif bagi negara tidak bisa ditarik secara maksimal.
“Kalau pun TKA yang melanggar itu diberikan sanksi, paling Sanski paling ringan, bersifat administrasi. Padahal seharusnya bisa diberikan tuntutan pidana maksimal yang bisa membuat efek jera,” pungkasnya.[Nug]
Laporan: Dhanis Iswara