Eko Kunthadi Hina Kasar Ning Imaz Lirboyo, Pengamat: Buzzer Harus Segera Ditertibkan - Telusur

Eko Kunthadi Hina Kasar Ning Imaz Lirboyo, Pengamat: Buzzer Harus Segera Ditertibkan

Pegiat media sosial Eko Kuntadhi

telusur.co.id - Pengamat komunikasi politik Universitas M. Jamiluddin Ritonga Esa Unggul menilai, komentar pegiat media sosial Eko Kunthadi atas video Ning Imaz sangat vulgar yang bernada penghinaan sehingga layak di kecam.

Kasus tersebut menambah deret panjang perilaku tak seharusnya yang dilakukan buzzer. 

"Sebagian buzzer dengan seenaknya melontarkan narasi yang tidak mengindakan etika," kata Jamiluddin, dalam keterangannya, Jumat (16/9/22).

"Kata kasar dan menyudutkan pribadi seseorang sudah menjadi bagian dari konten yang mereka share di media sosial. Mereka tidak membahas substansinya, tapi justru menyerang pribadi seseorang dengan kata-kata yang tak layak di konsumsi di rana publik," sambungnya. 

Karena itu, tegas Jamiluddin, kasus Eko Kunthadi seharusnya dapat dijadikan pintu masuk untuk menertibkan para buzzer yang mengindahkan etika komunikasi di rana publik. Sebab, mereka justru menyalahgunakan demokrasi untuk memaki dan menghina orang lain. Celakanya itu mereka lakukan bukan untuk dirinya, tapi lebih kerap untuk kepentingan orang tertentu.

Posisi Eko Kunthadi sebagai Ketua Kornas Ganjarist tentu akan mempengaruhi rencana pencapresan Ganjar Pranowo. Sebagian masyarakat akan mempersepsi Ganjar tidak mampu mengendalikan relawannya untuk berlaku santun.

Persepsi itu akan menguat setelah Ganjar mengaku tidak mengenai Eko Kunthadi. Pengakuan Ganjar itu aneh karena Ketua Kornas Ganjarist yang sudah "mengkampanyekannya" relatif lama justru tidak dikenalnya.

Pengakuan Ganjar itu tentu sulit diterima akal sehat. Kesannya Ganjar justru ingin cuci tangan agar dampak kasus Eko Kunthadi tidak berdampak kepadanya.

"Jadi, dengan Ganjar mengaku tidak kenal Eko Kunthadi, kiranya dapat menjadi pelajaran berharga bagi relawan. Jangan sampai sudah bekerja maksimal untuk seseorang, tapi karena ada masalah akhirnya sang relawan tidak diakui keberadaannya. Hal itu tentu menyakitkan bagi sang relawan," tukas mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta itu.[Fhr


Tinggalkan Komentar