Telusur.co.id -Penulis: Cecizia Almira Prayogi, Mahasiswa Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
-Tren Junk Food di Indonesia-
Kesehatan tidak pernah lepas dari gaya hidup, terutama pola konsumsi. Berbagai macam perubahan pada pola konsumsi masyarakat, memunculkan konsep penghidangan makanan cepat saji (fast food) yang mudah dibuat dan mudah untuk dikonsumsi seperti junk food.
Dewasa kini, terjadi perilaku shifting, di mana masyarakat lebih memilih mengonsumsi makanan olahan seperti junk food dibandingkan dengan mengonsumsi real food seperti buah dan sayur (Shahab & Khoirun Eutrofik, 2021).
Berdasarkan data kementerian pertanian, konsumsi junk food selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya dan menyumbang sebesar 28% kalori yang dikonsumsi oleh masyarakat kota (Bernath, 2021). Junk food marak diminati karena praktis, cepat, rasanya yang enak, dan harganya yang terjangkau.
-Dampak Negatif Junk Food-
Bagaikan buah simalakama, dibalik kepraktisan, harga, dan rasa yang ditawarkan, junk food membawa segudang eksternalitas negatif. National Institute of Nutrition (NIN) menyatakan, junk food adalah makanan yang tidak bergizi karena tinggi akan kalori, lemak jenuh, gula, dan sodium, namun minim akan serat, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini menandakan junk food tidak baik untuk tubuh, sehingga apabila dikonsumsi setiap hari dalam jumlah berlebih, akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan.
Junk food dapat mengakibatkan lemak badan yang tidak seimbang akibat gizi lebih (overweight), kegemukan atau obesitas, serta peningkatan resiko penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit lainnya (Tanjung et al., 2022).
-Urgensi Ekstensifikasi Cukai atas Junk Food-
Berdasarkan data yang disampaikan oleh National Institutes of Health (2021), Indonesia menempati posisi kelima sebagai negara dengan penderita diabetes terbanyak di dunia dengan prediksi peningkatan jumlah penderita obesitas mencapai 50% populasi penduduk Indonesia di tahun 2030.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, mengingat diabetes menduduki peringkat pertama dan obesitas pada peringkat kelima, sebagai penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian di dunia (EASO, 2023).
Tidak hanya mengancam kesehatan, industri fast food juga bermuara pada permasalahan lingkungan akibat limbah yang dihasilkan. Limbah yang tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan pencemaran udara tidak sedap, sarang penyakit, pencemaran lingkungan, dan tersumbatnya saluran air akibat limbah minyak lemak.
-Cukai Sebagai Instrumen Fiskal-
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, cukai merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Cukai.
Cukai dapat menjalankan fungsi regulerend pajak yang digunakan untuk mengatur. Dalam hal ini adalah membatasi konsumsi barang-barang yang menimbulkan eksternalitas negatif. Sesuai dengan legal characternya, selectivity in coverage, cukai perlu dikenakan pada junk food yang konsumsinya perlu dikendalikan karena menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan.
-Implementasi Cukai Junk Food-
Saat ini cukai hanya diterapkan pada 3 barang, yakni etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau, ditambah dengan ekstensifikasi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) dan produk plastik yang akan segera diimplementasikan.
Ekstensifikasi pengenaan cukai pada junk food akan selaras dengan tujuan ketiga pencapaian Sustainable Development Goals (SGDs), yakni good health and well-being dan Indonesia Emas 2045 yang memiliki target untuk menekan angka obesitas menjadi 3% (Bappenas, 2021).
Namun, Bappenas telah mengamati dua permasalahan utama dalam langkah mencapai Indonesia Emas 2045. Permasalahan tersebut diantaranya transisi epidemiologi yang berkaitan dengan tren peningkatan kematian akibat diabetes. Kemudian, permasalahan kedua adalah permasalahan gizi ganda, dimana angka obesitas terus meningkat, namun disisi lain, terjadi fenomena kekurangan gizi yang cukup besar.
Pengenaan cukai pada junk food diharapkan dapat mengubah pola konsumsi masyarakat Indonesia sehingga tren hidup sehat sudah marak digaungkan pada tahun 2045. Cukai akan menjadi alat pengawasan serta pengendalian atas dampak negatif yang disebabkan oleh junk food. Penerimaan dari sektor cukai akan digunakan untuk menekan eksternalitas negatif seperti biaya pengobatan dan kesehatan untuk penyakit yang disebabkan oleh junk food.
-Potensi Penerimaan Cukai Junk Food-
Apabila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia termasuk ke dalam negara dengan objek cukai yang sangat sedikit. Kondisi ini membuka potensi untuk dilakukan ekstensifikasi cukai atas junk food.
Pendapat ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Zagorsky & Smith dalam Maretaniandini et al. (2024) yang mengemukakan bahwa junk food lebih sering dikonsumsi oleh masyarakat kalangan atas dibandingkan dengan kalangan bawah. Artinya, pengenaan cukai akan menciptakan keseimbangan dan keadilan dalam masyarakat.
-Benchmarking Kebijakan Cukai Junk Food-
Pemajakan atas junk food telah diterapkan pada beberapa negara, salah satunya adalah Hungaria. Di Hungaria, pemajakan atas junk food terbukti memperbaiki kebiasaan makan penduduknya. Konsumsi atas makanan olahan menurun secara signifikan sebesar 3,4% dan real food meningkat sebesar 1,1% (Bíró, 2015). Sebanyak 73% konsumen telah mengurangi konsumsi mereka pada junk food dan mulai beralih ke produk yang lebih sehat (Maretaniandini et al., 2024).
-Kesimpulan-
Tren perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia terhadap junk food yang memiliki segudang dampak negatif patut ditangani lebih lanjut. Ekstensifikasi cukai junk food dapat menjadi langkah strategis untuk mengentaskan permasalahan kesehatan seperti diabetes dan obesitas sebagai penyakit yang banyak memakan korban.
Ekstensifikasi cukai junk food juga sejalan dengan tujuan SDGs dan Indonesia Emas 2045. Regulasi ini juga terbukti efektif untuk memperbaiki pola konsumsi masyarakat Hungaria untuk shifting ke makanan sehat. Penerimaan cukai juga dapat digunakan untuk menekan eksternalitas negatif seperti biaya pengobatan dan kesehatan. Maka dari itu, ekstensifikasi cukai junk food menjadi urgensi bagi Indonesia dan menjadi prioritas untuk segera diimplementasikan.