Oleh: Suroto*
Dunia entreprenuership atau kewirausahaan selama ini selalu dibanggakan. Mereka yang sukses membangun bisnis dijadikan "role model", jadi teladan dan perilakunya dianggap patut untuk diikuti. Semakin kaya raya dan binisnya menggurita dimana-mana dianggap sebagai orang sukses dan patut dibanggakan.
Sebut saja misalnya, tokoh entreprenuer sukses itu seperti Warren Buffet, Bill Gates, Mark Zugerberg, Larry Page untuk contoh wirausaha kelas dunia. Untuk contoh sukses nasional seperti Tommy Winata, Liem Soe Liong, Kaesang Pengarep, dan lain-lain.
Orang-orang itu dianggap sebagai panutan anak anak muda. Kalau mau disebut sukses itu maka musti berfikir, berperilaku dan bertindak seperti mereka.
Seminar, workshop dan pelatihan pelatihan tentang kewirausahaan itu juga menjadi semakin sip kalau dapat menghadirkan orang-orang bercitra sukses seperti mereka.
Di era pemerintahan Jokowi ini, para entreprenuer role model tadi bahkan dijadikan menteri di kabinetnya. Sebut saja sebagian anak-anak muda nan sukses iu misalnya: Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Erick Tohir sebagai Menteri BUMN, Sandiaga Uno sebagai Menteri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Saya lihat Pak Jokowi terlihat obsesif sekali dengan model entreprenuer seperti mereka. Kalau dicek lebih dalam lebih banyak lagi malahan jumlahnya di kabinet sampai jabatan struktural lainya. Hanya satu saya lihat yang menjadi menterinya itu yang berlatar belakang sebagai aktifis sosial, yaitu Teten Masduki, dan jabatannya dikasih di Kementerian "kering", Kementerian Koperasi dan UKM.
Trend ini bahkan merebak sampai ke jabatan gubernur, bupati, walikota, bahkan ke tingkat erte erwe pun sepertinya musti gambarkan citra sukses seperti itu barulah dianggap pas. Kalau sudah kaya dipercaya seakan mereka itu tidak akan korupsi, tidak akan memperkaya diri, hidupnya hanya untuk rakyat!
Sukses sebagai entreprenuer itu ukuranya adalah apabila mereka kekayaanya semakin besar. Disebut sukses itu apabila bisnisnya merambah ke dunia tambang, properti, pabrik makanan, rokok, media massa, telekomunikasi dan informasi hingga usaha pisang dan martabak. Kalau hanya usaha pisang dan martabak tapi tidak punya tambang batubara itu belum disebut sukses.
Intinya sebagai entreprenuer idaman itu apabila gambarkan citra hidup kaya raya, berumah megah, mobilnya mewah, wajahnya glowing disuntik vitamin, terlihat rajin ibadah serta keluarganya terlihat rukun bahagia. Syukur jika mati terlihat seakan bakal masuk surga, walaupun hanya di sosial media.
Pokoknya begitu melihat sosok idaman seperti itu anak anak muda langsung banyak yang tergila gila dan menjadi obsesif. Syukur lagi kalau ditambah wajahnya mirip mirip aktor atau artis Drama Korea ( Drakor), dan buku biografinya menyebar dimana-mana maka semakin tak kuatlah mereka untuk bisa bertemu dan berfoto bersama. Cekrek! cekrek! langsung upload di sosial media.
Mereka, anak-anak muda itu tidak lagi peduli kalau bisnis mereka itu misalnya merusak hutan, menggusur rakyat kecil, menyerobot tanah tanah masyarakat adat, mencemari air dan udara, memeras buruhnya, mengambili uang negara, kongkalikong dengan pejabat dan bahkan gunakan jabatanya untuk kepentingan membuat kebijakan bagi perkaya dirinya.
Kewirausahaan atau entreprenuership memang dianggap strategis bagi pembangunan karena mereka itu dianggap sebagai orang mandiri yang dianggap dapat berkontribusi positif terhadap pergerakan ekonomi. Tidak peduli jika akhirnya ekonomi kita hanya ciptakan kesenjangan sosial ekonomi. Tidak peduli jika mereka itu semakin kaya raya dan rakyat banyak yang menderita.
Paling penting adalah anak-anak muda itu menjadi seakan punya harapan untuk bisa seperti mereka. Sehingga hidupnya walaupun di dunia mimpi bisa seperti mereka. Ini sangat penting, sebab apalah artinya hidup jika harapanpun sudah tak ada.[***]
*) Rakyat Jelata Bukan Entreprenuer Kaya Raya