Oleh: Fachrunisa Zahra (Mahasiswi IPB University)
Dalam dua dekade terakhir, perkembangan teknologi dan informasi telah menjadikan internet sebagai salah satu alat paling popular di seluruh dunia. Hampir seluruh lapisan masyarakat kini dapat dengan mudah mengakses internet, seperti pelajar, mahasiswa, dan pekerja. Sosial media didefinisikan sebagai wadah berupa platform untuk berinteraksi secara sosial, berbagi, dan bertukar informasi atau konten.
Berdasarkan data Annur (2020), sebagian besar pemakai media sosial di Indonesia ada dalam rentang usia 18-25 tahun pada persentase sekitar 32,3% dari total pengguna. Usia ini dikenal sebagai masa emerging adulthood, di mana individu cenderung aktif menggunakan media sosial untuk meningkatkan kemandirian, eksplorasi diri, dan membangun hubungan (Arnett, 2000; Coyne, et al., 2013). Meskipun masa ini sering kali diwarnai dengan ketidakstabilan dan perilaku yang tidak sesuai, media sosial berperan penting dalam memengaruhi perilaku tersebut (Ohannessian, et al., 2017).
Di tengah perkembangan teknologi sosial media ini, TikTok menjadi salah satu sosial media yang menonjol sebagai platform yang di dominasi dengan format konten video. Hal ini dikarenakan pengguna dapat dimanjakan dengan banyak visual konten yang ada, sehingga pengguna kerap kali lupa waktu saat scrolling TikTok karena terdistraksi oleh konten video yang menarik. Untuk itu, tak heran, apabila TikTok menjadi gudang informasi untuk trend-trend viral yang ada saat ini. Seperti trend skena outfit ataupun old money outfit pada mulanya banyak ditemukan dalam konten-konten TikTok.
Fear Of Missing Out (FoMO) pada Aplikasi TikTok
Generasi penerus saat ini seringkali menggunakan media sosial untuk mencari informasi yang sedang trending dan juga mencari tahu tentang kehidupan tokoh influencer yang diikutinya. Hal ini membuat mereka terus merasa perlu untuk selalu update tentang hal baru. Meskipun penggunaan TikTok dapat mengasah kreativitas dan keterampilan editing video, namun juga memiliki dampak negatif seperti meniru gerakan dan gaya dari pengguna TikTok lain tanpa mempertimbangkan apakah itu tepat atau tidak, yang bisa berbahaya bagi remaja sekolah (Lia, dkk., 2020).
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dyan Paramitha Darmayanti, Iqbal Arifin, dan Muh. Inayah A. M pada tahun 2023, FoMO pada TikTok dapat dibagi menjadi empat tingkat, yakni FoMO ringan, sedang, berat, dan ekstrim. FoMO ringan terjadi ketika pengguna hanya ingin melihat dan mengetahui trend konten yang sedang populer. FoMO sedang terjadi ketika pengguna merasa cemas apabila tidak bisa ikut trend konten viral TikTok sehingga mereka berkeinginan untuk mengikuti trend tersebut. FoMO berat terjadi ketika pengguna merasa tertekan, resah, dan mengalami gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-harinya dikarenakan terobsesi untuk menjadi bagian dari trend konten viral yang ada di TikTok. Sedangkan FoMO ekstrim merupakan aktivitas yang paling berbahaya dikarenakan seorang pengguna yang mengalam tingkatan FoMO pada tahap ini memiliki kecenderungan untuk melakukan hal berbahaya dan ekstrim seperti bunuh diri.
Lamanya waktu yang dihabiskan saat menggunakan media sosial dapat menjadi pemicu seseorang mengalami FoMO yang merupakan gangguan perilaku akibat penggunaan media sosial. FoMO dapat di pengaruhi oleh perasaan kurang cukup dalam kepuasan hidup. SEbagai contoh, pada saat seorang TikToker yang membuat konten “Trend Outfit Check” lewat di FYP (For Your Page) kita, kita akan merasa perlu untuk menyesuaikan gaya hidup para TikTokers atau bahkan influencer yang berseliweran di FYP kita.
Menurut Adzys Saleh Aryanto dalam artikelnya di laman Kompasiana.com, FoMO di TikTok dapat dipicu oleh beberapa faktor, yang pertama oleh tantangan dan trend viral. Video-video tantangan dan trend viral sering kali menciptakan tekanan psikologis pengguna untuk ikut serta, sehingga pengguna merasa perlu untuk tidak ketinggalan trend viral yang ada. Kedua, perbandingan sosial, ketika kita melihat kehidupan orang lain yang tampaknya lebih menarik atau sukses dapat meningkatkan perasaan FoMO di kalangan pengguna. Ketiga, algoritma cerdas, TikTok menggunakan algoritma cerdas untuk menyajikan konten yang dipersonalisasi berdasarkan preferensi pengguna, yang membuat pengguna merasa terus-menerus tertarik untuk memeriksa konten baru.
Fear of Missing Out (FoMO) berpotensi menyebabkan depresi, emosi negatif, gangguan makan, kompetensi hidup rendah, ketegangan emosional, dampak negatif pada kesejahteraan fisik, cemas, kendala dalam mengendalikan emosi, dan kurang tidur. Selain itu, FoMO juga dapat menyebabkan pengguna menjadi konsumtif atau menghabiskan uang untuk hal-hal yang sedang trend meskipun tidak diperlukan. Jika hal tersebut terus menerus terjadi, maka akan berakibat pada krisis manajemen finansial seseorang.
Solusi: Joy of Missing Out (JoMO)
Joy of missing out (JoMO) adalah respon puas dan bahagia, bisa dibilang posisi dimana seseorang bisa menghargai hidup diri sendiri tanpa membanding-bandingkan dengan hidup orang lain. Berbanding terbalik dengan kasus Fear of Missing Out (FoMO), dalam hal ini pengguna memilih untuk memahami dan memiliki kecerdasan emosional yang baik, tidak khawatir dengan semua informasi yang tidak penting di media sosial. Sikap seperti ini menggambarkan karakter seseorang yang positif, ia menemukan kedamaian, kebahagiaan tanpa tekanan media sosial.
Menurut Phelan, 2018 dalam tulisannya pada artikelnya di Majalah The New York Times menuliskan bahwa gaya hidup JoMO adalah gaya hidup seimbang. Mampu memanfaatkan sosial media secara positif dan bijaksana. Tentu, gaya hidup seperti ini merupakan standar ideal namun tidak semua pengguna sosial media dapat menerapkannya. Hal, ini dikarenakan sifat manusia yang terus merasa dirinya mampu untuk bersaing dan mendapatkan lebih dari yang Ia punya saat ini. Rasa tidak puas ini dapat terus-menerus muncul apabila melihat orang lain memiliki gaya hidup melebihi dari yang kita rasa dan kita punya.
Gejala Fear of Missing Out yang telah terjadi pastinya dapat dilakukan pemulihan, salah satunya yaitu dengan beralih menjadi Joy of Missing Out. Namun, bagaimana caranya?. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan focus pada kelebihan yang dimiliki diri sendiri. Kita perlu menyadari hakikat bahwa tidak ada manusia sempurna di muka bumi ini, sama hal nya dengan mengikuti trend, tidak semua manusia dapat mengikuti trend yang ada. Fokus pada kelebihan diri sendiri dan menghargai diri sendiri menjadi pilihan terbaik dengan terus meningkatkan kualitas diri. Langkah yang perlu dilakukan selanjutnya adalah dengan membatasi penggunaan media sosial. Kita semua mengetahui bahwa media sosial memiliki power lebih kuat untuk membuat seseorang menjadi FoMO dari pada kehidupan sosial secara langsung. Untuk itu, dengan membatasi penggunaan media sosial, diharapkan pula dapat mengurangi kecemasan berlebih yang timbul dan mulai belajar fokus pada diri sendiri.
Perasaan FoMO akan hilang jika kita berbaur dengan orang lain di dunia nyata. Daripada sibuk membandingkan diri dengan orang lain secara online, sebaiknya mencoba untuk melebarkan relasi secara nyata. Dengan bergaul secara real justru seseorang bisa mengetahui apa yang benar-benar mereka alami, butuhkan, dan rasakan. Karena sejatinya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan hubungan sosial secara langsung seperti berkunjung dan berkomunikasi. Jadi, hal ini bisa dipertimbangkan jika merasa iri dengan kehidupan mereka.
Dengan memahami faktor sebab akibat dari fenomena Fear of Missing Out (FoMO), dan penyelesaiannya, diharapkan pengguna media sosial dapat lebih bijak dalam menggunakan dan menanggapi konten yang ada. Hal ini dilakukan supaya pengguna dapat merasakan pengalaman media sosial yang lebih positif tanpa harus merasakan tekanan sosial yang dapat menyerang emosi dan psikologis. Manfaatkanlah perkembangan teknologi dan informasi sebagai sarana untuk mengembangkan value diri dengan cara yang positif dan sportif.
Daftar Pustaka
Della Agustin, Wulida Nurfadillah. 2024. Fear of Missing Out (FoMO) pada
Aplikasi TikTok terhadap Perilaku Self Injury/Self Harm: Kajian Sistematik. [Diakses pada 7 Februari 2025]. https://journal.pubmedia.id/index.php/pjp.
Taswiyah. 2022. Mengantisipasi Gejala Fear Of Missing Out (FoMO) Terhadap
Dampak Social Global 4.0 dan 5.0 Melalui Subjective Weel-Being dan Joy of Missing Out (JoMO). [Diakses pada 7 Februari 2025]. https://jurnal.untirta.ac.id/index.php/JAWARA/index.
Adzys Saleh Aryanto. 2024. Penggunaan Tiktok dan Fenomena Fear of Missing Out
(FoMo): Mengapa Hal Ini Perlu Diperhatikan?. [Diakses pada 7 Februari 2025]. https://www.kompasiana.com/dzysss2487/6684d83d34777c4fcb3b5d42/penggunaan-tiktok-dan-fenomena-fear-of-missing-out-fomo-mengapa-hal-ini-perlu-diperhatikan