Oleh: Suroto
Tahun 2024 masih jauh, tapi suhu politik sudah mulai meningkat. Kontestasi kandidat presiden sudah mulai terasa kembali.
Dalam sistem demokrasi politik ultra liberal semacam Indonesia saat ini, tiap tiap kandidat biasanya akan sibuk lakukan promosi diri.
Promosi diri yang dilakukan bermacam-macam. Ada yang memasang baliho foto diri besar-besar, membuat biografi, sosialisasi diri melalui sosial media, ekspos prestasi program dan lain-lain.
Disadari atau tidak oleh masyarakat, selama ini ada juga yang terapkan strategi fitnah diri (self-slander), yaitu lakukan fitnah terhadap diri sendiri dengan tujuan untuk menggenjot popularitas dan diharapkan menaikkan elektabilitas diri.
Dalam model strategi ini, seorang calon presiden akan mendesign strategi dengan menciptakan aktor antagonis di luar dirinya yang akan bertugas melakukan celaan, caci maki, umpatan, mengunjingkan calon presiden sebagai tokoh protagonis.
Strategi ini cukup menarik karena akan lebih mudah untuk mendapatkan respon cepat dari masyarakat. Respon ini akan meningkat cepat bilamana isu yang diangkat itu menyangkut isu sensitif di masyarakat.
Dalam fitnah-diri ini, tokoh protagonis akan bertindak sebagai korban fitnah. Padahal, sebetulnya dia sendiri yang sedang merancangnya bersama tokoh antagonis.
Isu yang diangkat juga harus berkesesuaian dengan karakter yang melekat pada dirinya. Tidak semua orang cocok untuk semua isu.
Sebut, misalnya, masyarakat Indonesia ini sensitif terhadap isu komunisme. Jadi, pengembangan tuduhan bahwa sang tokoh itu bagian dari anggota keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI) tentu harus disesuaikan dengan karakter dan latar belakang tokoh protagonis.
Seorang kandidat presiden M tentu tidak cocok untuk isu komunisme apabila dia berlatar bekakang sebagai Pimpinan Nadhatul Ulama ( NU), dan seorang muslim taat. Tapi sebaliknya, J yang berlatar belakang seorang muslim sekuler atau abangan akan lebih cocok.
Dalam design strateginya, fitnah diri ini biasanya dimulai dari propaganda pamlet dengan sumber abu-abu. Melalui desas desus isu dikembangkan aktor antagonis dan dinaikkan terus melalui berbagai media dan terutama sosial media.
Begitu isu direspon masyarakat dan eskalasinya meningkat, maka tokoh protagonis akan bermain sandiwara sebagai korban. Dia mungkin hanya akan mereaksi dengan landai untuk tunjukkan sikap "bijak" agar dapat simpati masyarakat.
Jadi, isu yang diangkat selain harus berkesesuaian dengan sang tokoh juga harus ada strategi media propagandanya yang pas serta kendali eskalasi isu. Kerja kerja yang dilakukan sifatnya kleindestan, di bawah tanah.
Wahai para bakal-bakal calon presiden Indonesia, sudah kah anda siapkan strategi memfitnah diri sendiri? Jangan sampai salah isu karena bisa gatot, gagal total! [***]