telusur.co.id - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menemukan satu kasus kekerasan seksual terjadi setiap pekan dalam lima bulan terakhir di satuan pendidikan.
Ketua Dewan pakar FSGI Retno Listyarti menjelaskan, pendataan kasus kekerasan seksual ini dilakukan di wilayah satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangan Kemendikbudristek maupun Kementerian Agama RI. Pendataan dilakukan sejak Januari hingga Mei 2023.
"Data menunjukkan bahwa sejak 5 bulan di tahun 2023 sudah terjadi 22 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan dengan jumlah korban mencapai 202 anak atau peserta didik,” kata Retno dalam keterangan tertulisnya, Minggu (4/6/23). 2023.
Retno menguraikan, pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang yang seharusnya dihormati dan melindungi para peserta didik selama berada di satuan pendidikan.
Para pelaku terdiri dari guru sebanyak 31,80 persen; pemilik dan atau pemimpin pondok pesantren sebanyak 18,20 persen; kepala sekolah sebanyak 13,63 persen; guru ngaji (satuan pendidikan informal) sebanyak 13,63 persen; pengasuh asrama/pondok sebanyak 4,5 persen; kepala madrasah sebanyak 4,5 persen; penjaga sekolah 4,5 persen; dan lainnya 9 persen.
Retno menuturkan, dari 22 kasus kekerasan seksual yang terjadi disatuan pendidikan sepanjang Januari-Mei 2023, sebanyak 50 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek, dari 11 kasus tersebut ada 1 kasus kekerasan seksual terjadi di luar sekolah.
"Namun pihak sekolah melakukan dugaan kekerasan dengan ‘memaksa orangtua membuat surat pengunduran diri’ karena dianggap memalukan sekolah,” ujarnya.
Padahal, kata Retno, anak korban siswa dari keluarga tidak mampu dan merupakan korban pemerkosaan 8 orang tetangganya. Kasus kekerasan seksual ini terjadi di Kabupaten Banyumas.
Sedangkan 8 kasus atau 36,36 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama, dan 3 kasus (13,63 persen) terjadi di lembaga pendidikan informal, yaitu tempat pengajian di lingkungan perumahan, di mana korban mencapai puluhan. Korban guru ngaji di kabupaten Batang, Jawa Tengah mencapai 21 korban; di Sleman mencapai 15 korban; dan di Garut mencapai 17 korban. Usia korban berkisar 5-13 tahun.
“Perlu dipikirkan mekanisme pengawasan lembaga pendidikan informal seperti tempat mengaji ini agar anak-anak tidak lagi menjadi korban kekerasan seksual,” kata mantan Komisioner KPAI 2017-2022 ini
Ia mengatakan kasus siswi hamil dikeluarkan dari sekolah seperti terjadi di Banyumas bukan satu-satunya kasus. Pada awal 2023, seorang siswi kelas enam SD di Binjai, Sumatra Utara, diusir oleh warga dan putus sekolah setelah diketahui hamil akibat diperkosa. Pada 2021, dua santriwati korban pemerkosaan guru pesantren di Garut dikeluarkan dari sekolah setelah ketahuan memiliki bayi.
“Padahal, anak-anak tersebut berhak melanjutkan pendidikannya demi masa depan yang lebih baik. Memaksa ortu korban mengundurkan diri, berarti pihak sekolah sudah menghilangkan hak atas Pendidikan anak korban perkosaan tersebut,” ujarnya.
Berdasarkan temuan FSGI, wilayah kejadian berada di deapan provinsi dan 18 kabupaten/kota, yakni Provinsi Lampung: kabupaten Mesuji, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara dan Lampung Barat. Kedua di Provinsi Jawa Tengah, dengan Kabupaten Batang, Kota Semarang dan Kabupaten Banyumas. Ketiga, Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta, yakni Kabupaten Gunung Kidul dan Sleman. Keempat, Provinsi Jawa Timur, antara lain Kabupaten Jember, Kota Surabaya dan Kabupaten Trenggalek. Lalu kelima di Provinsi DKI Jakarta, tepatnya Kota Jakarta Timur. Keenam di Provinsi Bengkulu, tepatnya Kabupaten Rejang lebong. Ketujuh di Provinsi Sulawesi Selatan, yakni di Kota Pare Pare dan Kota Makasar. Dan terakhir di Sumatra Utara, yakni di Labuhanbatu Utara
Dari 22 kasus di tahun 2023 ini, FSGI mencatat ada 13 modus pelaku dalam melancarkan aksi bejatnya terhadap anak korban, antara lain dibujuk agar mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik Ponpes. Ada juga modus valuasi pembelajaran di dalam ruang Podcast Ponpes pada pukul 23.00 WIB, kemudian dicabuli. Modus lain diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku. Selain itu, ada korban melapor dilecehkan teman sekolah ke kepala sekolah, namun malah dicabuli kepala sekolah di ruang UKS dengan dalih memeriksa dampak pelecehan yang dilaporkan.
Dengan banyaknya temuan ini, FSGI pun mendukung Kemendikbudristek melakukan perubahan terhadap Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan Pendidikan, khususnya merinci apa saja perilaku di sekolah yang termasuk kekerasan seksual.
“FSGI mendorong Kementerian PPPA untuk terus mensosialisasi juga hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129 untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami dan mendorong pembentukan sekolah-sekolah ramah anak,” kata Retno.
FSGI juga mendorong Kementerian Agama untuk melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan penanggulangan Kekerasan seksual di Madrasah dan pondok pesantren atau satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemenag. “Mengingat kasus KS nya lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek,” ujarnya.
Selain itu, FSGI mendorong pemerintah daerah untuk melakukan kerja sama dengan Perguruan-perguruan Tinggi di wilayahnya yang memiliki Fakultas Psikologi, untuk membantu pemulihan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual. Sebab, kata Retno, proses pemilihan psikologi anak korban kekerasan seksual umumnya membutuhkan waktu pemulihan yang cukup panjang dan harus tuntas. [Fhr]