Gandeng Prabowo Masuk Kabinet, Bentuk Kepiawaian Strategi Jokowi - Telusur

Gandeng Prabowo Masuk Kabinet, Bentuk Kepiawaian Strategi Jokowi

Ketua Departemen Kajian Strategis Bidang Organisasi DPP Partai Hanura, Chalid Tualeka. (Ist)

telusur.co.id - Joko Widodo (Jokowi) dan KH Ma'ruf Amin telah resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2019-2024 pada Minggu, 20 Oktober 2019 lalu.

Sehari setelah dilantik, Jokowi mengundang beberapa tokoh politisi, bisnis dan profesional ke Istana Kepresidenan untuk membahas susunan kabinet jilid keduanya. Setidaknya ada beberapa tokoh yang hadir ke Istana, di antaranya Mahfud MD, Erivk Thohir, Wishnutama, Edhy Prabowo dan Prabowo Subianto.

"Sudah barang tentu nama Prabowo sangat menyedot animo publik. Sebab, dia adalah personifikasi oposan utama Jokowi, dibuktikan dengan dua kali menjadi lawan politik Jokowi dalam perhelatan pemilu terakhir," kata Ketua Departemen Kajian Strategis Bidang Organisasi DPP Partai Hanura, Chalid Tualeka di Jakarta, Selasa (22/10/19).

Prabowo bahkan harus mengakui keunggulan Jokowi dua kali berturut-turut. Namun, kata Chalid, inilah realitas politik.

"Dalam politik tidak ada yang abadi, lawan dan kawan ialah nisbi. Bahkan salah satu adagium menyebutkan; dalam politik, yang abadi adalah perubahan itu sendiri," ujarnya.

Beberapa spekulasi berhamburan terkait bergabungnya Prabowo kedalam kabinet Jokowi. Apa tujuan Jokowi mengikutsertakan Prabowo ke dalam bahtera kabinetnya. Menurut Chalid, salah satu jawaban yang bisa diketengahkan adalah Jokowi ingin memastikan kepemimpinanya dapat disokong oleh mesin partai yang solid.

"Kerja-kerja besarnya butuh didukung oleh partai-partai besar pula. Jika mengacu pada prosentase hasil suara partai dalam pemilu tahun ini, PDIP dan Gerindra menduduki posisi pertama dan kedua. Itu sebabnya langkah mengikutsertakan Gerindra dirasa opsi yang strategis untuk menyokong pemerintahan jilid duanya," terang dia.

Chalid melihat, ada beberapa alasan mengapa Jokowi menempatkan Prabowo di dalam kabinetnya dan kemungkinan menjadi Mentri Pertahanan.

Pertama, kata dia, bahwa dalam kampanye Pilres 2019, simbol Prabowo merupakan simbol oposisi yang di dalamnya berkumpul semua oposisi yang anti pada rezim Jokowi. Kelompok tersebut diisi dari anasir Partai politik (PKS, PAN, GERINDRA dan Demokrat) maupun beberapa ormas “Ultra Kanan” (PA 212, HTI, FPI dan lain-lain).

"Kedua, jika Prabowo menjadi Menteri Pertahanan, secara tidak langsung Jokowi dapat 'menjinakkan' mayoritas kelompok oposisi. Menetralisir kekuatan oposisi ialah dengan menjadikan personifikasi kunci oposisi menjadi mitra politik. Sedangkan Prabowo ialah personifikasi itu sendiri," ungkap dia.

Sedangkan, lanjut dia, apabila NasDem mengambil posisi oposisi, hal itu bukan serta merta dilihat sebagai bentuk “pecah kongsi” antara Megawati dan Surya Paloh, melainkan upaya strategis Jokowi mengarahkan Surya paloh untuk berada di luar pemerintahan agar dapat mengawal PKS sebagai oposisi. Itupun agar ada upaya jokowi mengontrol oposisi agar tidak mengganggu berjalannya program pembangunan nasional.

"Struktur Kabinet Kerja jilid II ini juga merupakan periode terakhir Jokowi, Ia berupaya mengurangi jumlah lawan politik dengan kompromistis, dengan memasukan semua kekuatan politik ke dalam kabinet. Di sinilah kepiawaian dan kehebatan Jokowi dalam mengkonsolidasikan semua kekuatan politik, baik lawan politik maupun koalisi pendukungnya," bebernya.

Selain itu, imbuh dia, TNI/Polri juga tidak lepas dari “bidak” Jokowi, yaitu selain anggaran mereka dinaikan, pos-pos strategis yang terkait dengan terjaminnya stabilitas politik dan keamanan diisi oleh orang orang loyalis Jokowi (PDIP), seperi Menpolhukam, Kajagung, Polri, Panglima TNI,dan Kepala BIN.

Di sini Jokowi telah belajar dari periode pertamanya, bahwa kerja besarnya butuh suasana yang kondusif. Ia ingin menciptakan iklim politik yang tenang agar fokus dan energi bangsa bisa diarahkan ke dalam pembangunan nasional, bukan pada kegaduhan nasional yang dipenuhi hal-hal remeh dan konfrontasi poltisi-politisi yang “kering” subtansi pada kritik dan gagasan.

Sebagaimana diutarakan Jokowi dalam pidato pertamanya seusai dilantik oleh MPR beberapa hari lalu, ia ingin berfokus- salah satunya- mengerek neraca perekonomian. Program pembangunan ekonomi nasional tentu membutuhkan stabilitas politik. Dengan stabilitas politik dan keamanan suatu bangsa maka gerbang investasi dan usaha mendapatkan jaminan keamanan yang prima.

Namun di sisi lain, Chalid melihat bahwa Jokowi dihadapkan pada pekerjaan rumah yang tidak mudah. Selain ingin melakukan konsolidasi nasional dan memobilisi mesin partai sebanyak mungkin, Jokowi juga harus mempertimbangkan psikologi kekuatan kekuatan pendukungnya.

"Khususnya para relawan pemenangannya. Sebab jika masukan-masukan mereka tidak didengar secara baik, itu bisa menjadi bomerang dan bom waktu bagi jokowi, karena mereka akan berbalik menyerang Jokowi. Sebagaimana Joker, orang jahat ialah orang baik yang dicampakkan dan tersakiti," pungkasnya. [Fhr]


Tinggalkan Komentar