telusur.co.id - Hubungan antara Partai Gerindra dan PDI Perjuangan tengah memasuki fase baru yang penuh dengan dinamika strategis. Dua kekuatan besar di panggung politik nasional ini kian menunjukkan kemesraan, tak hanya lewat simbol, tapi juga dalam manuver politik nyata.
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke kediaman Megawati Soekarnoputri, peringatan bersama Hari Lahir Pancasila, hingga kedatangan tokoh-tokoh penting seperti Sufmi Dasco Ahmad dan Mensesneg Prasetyo Hadi ke Teuku Umar, semakin menguatkan sinyal terbentuknya koalisi besar.
Namun, menurut analisis Puspolindo, di balik senyum dan jabat tangan, ada agenda politik yang jauh lebih dalam: penyisiran kekuasaan dan upaya mengakhiri dominasi "Geng Solo" di panggung kekuasaan nasional.
Menurut Zulhefi, Direktur Eksekutif Puspolindo, koalisi ini bukan hanya tentang stabilitas pemerintahan. “Ini adalah langkah strategis untuk mengamankan arah kekuasaan dan menggiring kembali pengaruh PDIP ke dalam lingkaran kekuasaan setelah sempat tercerai pada Pilpres 2024,” katanya.
Gerindra dinilai membutuhkan dukungan PDIP untuk memperkuat legitimasi pemerintahan Prabowo di parlemen. Di sisi lain, PDIP sebagai pemenang pemilu legislatif 2024 tentu tak ingin duduk di luar kekuasaan selama lima tahun ke depan. “PDIP belajar dari pengalaman Gerindra 2014–2019. Menjadi oposisi penuh risiko, terutama dalam hal konsolidasi kader dan penguatan jaringan di daerah,” jelas Zulhefi.
Meski terlihat harmonis, banyak pihak meyakini bergabungnya PDIP ke pemerintahan bukan tanpa agenda tersembunyi. Salah satunya adalah upaya mengikis pengaruh Presiden Jokowi dan kroni-kroninya, yang dijuluki 'Geng Solo', yang masih memiliki jejak kuat di birokrasi dan pemerintahan.
“Pilpres 2024 menyisakan luka dalam di tubuh PDIP. Jokowi dianggap berkhianat karena mendukung Gibran sebagai cawapres dari kubu rival. Sekarang saatnya PDIP ‘membalas’ secara halus namun efektif, dari dalam,” tegas Zulhefi.
Bagi Partai Gerindra, menggandeng PDIP justru memberikan manfaat ganda. Selain memperkuat stabilitas politik pemerintahan Prabowo, masuknya PDIP ke dalam kabinet bisa menjadi tameng sekaligus senjata untuk menghadapi Jokowi dan memotong laju politik Gibran yang digadang-gadang sebagai penerus Jokowi di 2029. “Gibran adalah figur potensial yang bisa menyaingi Gerindra lima tahun ke depan. Menghentikannya dari sekarang tentu lebih strategis,” ujar Zulhefi.
Masuknya PDIP ke lingkar kekuasaan juga disebut akan membuka ruang bagi kelompok-kelompok yang selama ini merasa “dipinggirkan” oleh Jokowi. Tokoh-tokoh seperti purnawirawan TNI, Roy Suryo, dan jaringan elite politik lama diprediksi akan lebih leluasa memainkan peran. “Mereka seperti dapat momentum baru. Dengan hilangnya dominasi Geng Solo, jalur akses politik mereka bisa terbuka kembali,” tambah Zulhefi.[]