HAM Sebagai Filter Tafsir Agama Era AI - Telusur

HAM Sebagai Filter Tafsir Agama Era AI

Flyer Denny JA 2025; “Hak Asasi Manusia Sebagai Filter Tafsir Agama di Era AI”

telusur.co.idOleh : Denny JA

Tahun 1633. Galileo Galilei berdiri di hadapan pengadilan Gereja Katolik Roma. Ia dipaksa menyangkal temuannya bahwa, bumi mengelilingi matahari.

Para pemuka agama, berpegang teguh pada tafsir kitab suci, menolak temuan Galileo. Namun, tiga abad kemudian, Vatikan merehabilitasi nama Galileo. Kebenaran yang semula dianggap sesat akhirnya diterima sebagai fakta.

Sejarah terus berulang.

Dulu, perbudakan dilegitimasi oleh teks keagamaan. Kini, perbudakan dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dulu, perempuan dikekang atas nama ajaran suci. Kini, perempuan bisa memimpin komunitas religius.

Dulu, identitas LGBTQ+ dikutuk dengan dalih doktrin ketuhanan. Kini, semakin banyak pemuka agama menyerukan penerimaan dan kasih.

Setiap zaman memiliki tafsirnya sendiri. Setiap keyakinan, betapapun dianggap sakral, selalu mengalami pergolakan.

Kini, kita memasuki era kecerdasan buatan (AI). Tantangan baru pun muncul: tafsir mana yang akan bertahan di masa depan?

Di sebuah malam sunyi, seorang pemuda menatap layar. Ia mengetik satu ayat, dan AI merespons. Dalam hitungan detik, tafsir-tafsir lama terurai, perbedaan dihamparkan, kontradiksi antar tafsir disorot.

Sebuah algoritma tanpa iman menggali ayat suci, membuka jendela tafsir ayat itu dari zaman ke zaman. AI membuka mata bahwa tafsir lahir bukan dari kebenaran mutlak, melainkan dari sejarah yang berubah.

Di zaman dulu, hanya para alim yang berhak berbicara. Kini, kecerdasan buatan membaca lebih banyak kitab dalam satu tarikan napas dibanding manusia dalam seumur hidupnya.

Kini, dalam hitungan detik, setiap individu bisa memperoleh tafsir Ibnu Katsir tentang perbedaan agama, misalnya, dibandingkan dengan pemikiran Rumi, dan para pemikir modern yang menantang dogma abad pertengahan.

Seorang cendekiawan di Kairo mengetik perintah: “Tunjukkan perbedaan tafsir ayat tentang perempuan.”

Kembali dalam hitungan detik, AI menyajikan spektrum tafsir dari konservatif hingga progresif, menampilkan bagaimana konteks sosial membentuk makna.

Contoh nyata pengaruh AI terhadap tafsir agama terlihat dari aplikasi seperti “Sefaria” dalam tradisi Yahudi atau “Quran.com” dalam Islam.

Sefaria, dengan bantuan algoritma AI, memungkinkan pengguna untuk membandingkan tafsir Torah dari berbagai era secara langsung.

Dalam Islam, aplikasi berbasis AI telah membantu umat membedah ayat-ayat Al-Qur’an dengan tafsir dari ulama klasik hingga kontemporer, seperti Ibnu Katsir dan Muhammad Abduh.

Bahkan, beberapa platform AI kini mampu menjawab pertanyaan keagamaan secara interaktif berdasarkan konteks sosial modern.

Fenomena ini menunjukkan bahwa AI tidak hanya menjadi alat pembelajaran, tetapi juga katalis perubahan dalam memahami teks suci.

Dalam Islam, ada yang berpegang teguh pada teks, ada pula yang membaca konteks.

Dalam Kristen, ada tradisi yang menegaskan dogma lama, tetapi ada juga yang merangkul perubahan sosial.

Dalam Yahudi, Buddhisme, dan Hindu, interpretasi berkembang dalam berbagai aliran, dari yang paling konservatif hingga yang paling progresif.

Sejarah menunjukkan bahwa perubahan tafsir sering kali didorong oleh faktor eksternal: sosial, politik, teknologi. Reformasi Gereja tidak mungkin terjadi tanpa mesin cetak.

Buddhisme Theravada dan Mahayana lahir dari cara berbeda dalam memahami pencerahan. Hinduisme yang dahulu hirarkis kini melahirkan gerakan spiritual yang lebih egaliter.

Namun, ada tafsir yang masih bertahan dalam konservatisme yang kaku. Arab Saudi baru saja mencabut larangan mengemudi bagi perempuan, tetapi kebebasan mereka tetap dibatasi oleh hukum yang rigid.

Di Iran, perempuan masih dipaksa mengenakan hijab, meski gelombang perlawanan terus membesar.

Di Thailand dan Myanmar, kelompok nasionalis Buddhis membenarkan diskriminasi terhadap minoritas atas nama agama.

Agama tidak sedang terancam. Tafsirnya yang diuji.

Di tengah perubahan ini, hak asasi manusia (HAM) menjadi penentu tafsir mana yang akan bertahan dan mana yang akan ditinggalkan.

Mengapa?

Karena generasi baru tidak lagi menerima dogma tanpa pertanyaan. Mereka menuntut agama yang memeluk kemanusiaan, bukan menindasnya.

Sejarah membuktikan: tafsir yang bertentangan dengan keadilan dan kesetaraan akhirnya akan ditinggalkan.

Di sebuah ruang sunyi, seorang ulama membuka kitabnya. Di seberang lautan, seorang aktivis menyalakan layar, membaca piagam hak asasi manusia.

Dua dunia bertemu, dua kebenaran bisa bersilangan: agama sebagai cahaya, HAM sebagai kompas peradaban. Tapi apa yang terjadi ketika keduanya tak sejalan?

Di sebuah negara, seorang seniman dipenjara karena lukisannya dianggap menghina Tuhan. Di tempat lain, seorang LGBT diusir dari komunitas religiusnya karena “menyimpang dari fitrah.”

Kebebasan berekspresi bertemu batasan sakral. Hak atas identitas berbenturan dengan doktrin suci.

Jika ini terjadi, apakah agama harus tunduk pada HAM? Atau HAM yang mesti memberi ruang bagi iman?

Di masa lalu, sejarah menunjukkan tafsir agama dapat dieksekusi ke banyak arah. Tafsir dapat menyalakan obor peradaban. Ia membebaskan budak, mengajarkan kasih, membangun tatanan moral.

Namun, tafsir agama juga dapat mengekang, menghukum mereka yang berbeda, seperti kisah ilmuwan Galileo yang dihukum karena menyatakan bahwa bumi bukan pusat tata surya.

Di masa kini, HAM menjadi standar keadilan. Ia membela yang tertindas, membongkar ketimpangan. Tapi ia juga mengusik keyakinan, mengguncang fondasi yang dianggap abadi.

Maka, perbincangan ini tak boleh berakhir pada dikotomi. Pemuka agama di masa kini harus berani bertanya: bagaimana tafsir bisa merangkul iman tanpa menenggelamkan kemanusiaan?

Apa yang baru dari fenomena agama di era AI, yang tak pernah dibayangkan oleh para sosiolog besar klasik di zaman dulu?

Durkheim melihat agama sebagai cermin masyarakatnya. Weber memahami agama sebagai katalis perubahan. Karl Marx menyebut agama candu yang meninabobokan rakyat.

Namun, mereka tidak melihat HAM sebagai batas moral tafsir agama.

Durkheim benar: jika masyarakat patriarkal, agamanya pun patriarkal. Jika masyarakat menerima perbudakan, tafsir agamanya pun membenarkannya.

Namun, agama bukan sekadar cermin. Ia bisa dan harus melawan bayangan yang keliru.

Weber benar: agama bisa melahirkan revolusi sosial. Tetapi, apakah setiap perubahan itu baik?

HAM menjadi kompas moral bagi perubahan tafsir. Ia memastikan agama tidak hanya menjadi mesin penggerak, tetapi juga kendaraan menuju keadilan.

Marx melihat agama sebagai alat kekuasaan. Namun, jika agama hanya candu, bagaimana kita menjelaskan perlawanan spiritual melawan tirani?

Martin Luther King Jr. melawan rasisme dengan iman. KH. Hasyim Asy’ari menggerakkan santri untuk melawan kolonialisme.

Agama bukan hanya candu. Ia bisa menjadi obat jika tafsirnya berlandaskan HAM.

Tafsir di persimpangan ini bukan soal menang atau kalah. Ia adalah soal menemukan keseimbangan antara keyakinan yang kokoh dan kemanusiaan yang terus bertumbuh.

Ini prinsip keenam dari tujuh prinsip yang saya susun untuk membangun Teori Sosiologi Agama dan Spiritualitas di Era AI. Dua variabel yang dieksplorasi dalam prinsip keenam ini adalah hubungan antara variabel “tafsir agama” dan variabel “hak asasi manusia”.

Tapi bagaimanakah metodologi riset yang bisa digunakan untuk mengukur hubungan dua variabel itu: tafsir agama dan hak asasi manusia?

Dalam memahami hubungan antara tafsir agama dan hak asasi manusia (HAM), kita memerlukan pendekatan metodologis yang multidisipliner.

Karena fenomena ini bersifat kompleks, berlapis, dan kontekstual, kita tidak bisa hanya mengandalkan satu metode tunggal.

Berikut metodologi yang dapat digunakan untuk menyusun kesimpulan ilmiah tentang bagaimana tafsir agama berkembang dan beradaptasi terhadap HAM.

    •    Pendekatan historis-komparatif melihat bagaimana tafsir berkembang dari zaman ke zaman.

    •    Pendekatan wacana kritis meneliti bagaimana narasi agama dikonstruksi dalam masyarakat.

    •    Pendekatan statistik dan survei mengukur respons publik terhadap tafsir agama yang lebih inklusif.

    •    Pendekatan etnografi meneliti bagaimana individu menegosiasikan keyakinan mereka dalam kehidupan nyata.

    •    Pendekatan intervensi sosial menguji apakah tafsir agama bisa berubah dengan pendidikan dan dialog.

Tentu ada kritik terhadap pendekatan yang menjadikan HAM sebagai filter interpretasi dan tafsir agama di era AI.

Ada yang berkata, “HAM adalah produk Barat. Agama bersumber dari wahyu, tak bisa diukur dengan standar manusia.”

Tetapi sejarah menunjukkan, tafsir agama selalu berubah. HAM tidak menyaring Tuhan, tetapi menilai interpretasi manusia atas firman-Nya.

Ada yang berkata, “HAM adalah alat imperialisme budaya.” Tetapi konsep keadilan dan kasih sayang tidak asing bagi agama. HAM bukan paksaan Barat, melainkan refleksi dari nilai-nilai universal.

Ada yang berkata, “HAM tidak bisa menjawab dimensi transendental agama.” HAM tidak menolak spiritualitas. Ia hanya memastikan bahwa pengalaman transendental tidak menjadi alat penindasan.

Ada yang berkata, “HAM akan mengikis otoritas agama. Tetapi sejarah menunjukkan, agama yang beradaptasi dengan zaman justru bertahan lebih lama.

Sering kali, HAM dianggap sebagai produk imperialisme Barat, seolah hanya cocok bagi masyarakat individualis. Namun, benarkah nilai-nilai kemanusiaan ini asing bagi budaya non-Barat?

Di Jepang, filosofi wa (harmoni) menekankan keseimbangan sosial dan penghormatan terhadap martabat orang lain. Ini sejalan dengan gagasan hak asasi yang menjunjung keadilan dan kebersamaan.

Di India, konsep ahimsa (tanpa kekerasan) yang diajarkan oleh Gandhi bukan hanya ajaran moral, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap hak hidup setiap manusia.

Sementara di Nusantara, falsafah gotong royong mengajarkan bahwa kesejahteraan individu tidak bisa dipisahkan dari kesejahteraan bersama. Ini sebuah prinsip yang selaras dengan hak sosial dan ekonomi dalam HAM.

Ketika agama ditafsir ulang dalam semangat kemanusiaan, muncul titik temu antara tradisi dan universalitas HAM. Islam, misalnya, mengajarkan adl (keadilan) dan rahmah (kasih sayang), nilai-nilai yang menjadi inti perlindungan hak-hak manusia.

Dengan memahami bahwa HAM bukanlah monopoli Barat, tetapi gema dari kebijaksanaan yang telah lama tertanam di berbagai peradaban, kita tidak perlu memilih antara modernitas dan tradisi.

Yang diperlukan hanyalah jembatan pemahaman, agar kemanusiaan tetap menjadi pusat dari segala hukum, kebijakan, dan tafsir agama.

Agama bukanlah batu yang tak bergerak, melainkan sungai yang mengalir, menyesuaikan diri dengan lekuk-lekuk zaman. 

Tafsirnya berubah, bukan karena ia kehilangan makna suci, melainkan karena manusia terus bertumbuh dalam memahami dirinya sendiri.

Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa tafsir yang bertahan bukanlah yang paling kaku, tetapi yang paling mampu menyerap keadilan dan kasih sayang sebagai inti spiritualitas.

AI, seperti halnya mesin cetak di masa lalu, bukan ancaman bagi agama, melainkan sebuah jendela yang membuka ruang refleksi yang lebih luas.

Dengan kecerdasannya, AI memperlihatkan spektrum tafsir yang selama ini tersembunyi.

Ia menyingkap kontradiksi yang dulu dilindungi otoritas, menyajikan tafsir lama dan baru dalam sekejap, memberi manusia pilihan untuk merenungkan: apakah keimanan harus mengurung atau membebaskan?

Namun, AI hanyalah alat. Manusialah yang akan menentukan apakah tafsir agama akan menjadi lilin yang menerangi jalan atau bara yang membakar jembatan kemanusiaan.

Di era ini, HAM bukanlah lawan agama. Ia adalah cahaya yang membantu iman menemukan jalannya di dunia yang semakin kompleks. Tafsir yang menolak nilai-nilai kemanusiaan akan terkikis oleh waktu, seperti air yang mengikis tebing hingga ia runtuh.

Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah agama harus tunduk pada HAM atau sebaliknya.

Pertanyaannya adalah: dapatkah tafsir agama merangkul HAM tanpa kehilangan esensi ajarannya?

Dapatkah keimanan menjadi ruang yang menguatkan kemanusiaan, bukan menekannya?

Seperti Galileo yang akhirnya diterima, seperti perbudakan yang akhirnya ditinggalkan, tafsir yang merangkul keadilan akan selalu menemukan jalannya.

Di tengah pergolakan zaman, hanya mereka yang berani berpikir ulang yang akan bertahan.

“The only thing that does not change is change itself.” (Heraclitus)

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.


Tinggalkan Komentar