HAMKA: A.R. Baswedan, Seorang Idealis yang Menanamkan Cita-Cita Baru di Kalangan Keturunan Arab - Telusur

HAMKA: A.R. Baswedan, Seorang Idealis yang Menanamkan Cita-Cita Baru di Kalangan Keturunan Arab


Oleh: Lukman Hakiem, (Peminat Sejarah)

"INILAH kesaksian Pahlawan Nasional Buya Hamka tentang A.R. Baswedan, pejuang idealis yang tidak mengenal menyerah dan setia pada pendiriannya. Ia terus berjuang meski seorang diri. Dari perjuangan dan nasionalisme sejati A.R. Baswedan lahir Anies Rasyid Baswedan. Seperti kakeknya, Anies pun disegani oleh lawan dan dihormati oleh kawan."

Buya HAMKA (1908-1981) bersaksi bahwa A.R. Baswedan (1908-1986) telah membuat sebuah garis baru yang mesti ditempuh oleh bangsa Indonesia, terutama keturunan Arab. HAMKA mengenal dan mengingat Baswedan sejak sahabatnya itu mulai menyeruak keluar dari isolasi pemikiran yang selama bertahun-tahun membuat keturunan Arab terombang-ambing dalam khayalan yang tidak jelas.

HAMKA teringat bahwa pada mulanya, orang Arab wulaiti (generasi pertama imigran Arab yang lahir di tanah leluhur mereka) dan muwallad (generasi Arab yang lahir di Indonesia) sama-sama termakan racun yang disebarkan oleh penjajah Belanda. Mereka menganggap bahwa keturunan Arab adalah orang asing yang kedudukannya lebih tinggi daripada penduduk asli negeri ini. Perasaan lebih tinggi itu bahkan tergambar dari songkok yang dipakai oleh orang-orang keturunan Arab.

HAMKA, yang pernah tinggal di Makassar (1931-1934), Pekalongan (1924), Ambon (1933), dan Manado (1934), mendapat kesan bahwa di daerah-daerah tersebut, orang-orang keturunan Arab mengisolasi diri, kecuali mereka yang menjadi anggota Muhammadiyah atau Partai Syarikat Islam Indonesia. Songkok, yang merupakan lambang isolasi, dipakai oleh orang-orang keturunan Arab, yang enggan memakai songkok atau peci ala Indonesia dan lebih memilih memakai tarbusy ala Turki.

Namun, ketika terjadi boikot terhadap barang-barang buatan Italia, termasuk tarbusy, orang-orang keturunan Arab tetap menolak memakai songkok, apalagi blangkon. Mereka berpegang pada anggapan bahwa memakai songkok menurunkan derajat orang-orang keturunan Arab.

Di tengah sikap warga keturunan Arab yang enggan memakai songkok dan blangkon, pada 1 Agustus 1934, surat kabar golongan peranakan Tionghoa, Mata Hari, memuat foto yang (untuk saat itu) menggemparkan. Seorang pemuda keturunan Arab mengenakan beskap dan blangkon. Pemuda Arab berusia 36 tahun itu menyerukan kepada kaum peranakan untuk membantu perjuangan bangsa Indonesia. "Di mana seorang dilahirkan, di situlah tanah airnya," serunya. Siapakah pemuda yang berani melawan arus golongannya? Anak muda itu adalah Abdul Rahman (A.R.) Baswedan.

"Engkau berontak melawan isolasi," kata Hamka dalam surat terbuka untuk A.R. Baswedan.

Buya HAMKA yang menulis surat terbuka itu, terinspirasi oleh foto A.R. Baswedan di sampul depan majalah Panji Masyarakat No. 631. Hamka menutup surat terbukanya dengan renungan sebagai berikut:

"Saudara Baswedan,
Engkau telah mulai tua, sebagaimana juga aku. Namun, matamu masih bersinar berapi-api, menunjukkan keyakinan akan kebenaran pendirianmu. Wajahmu pun membayangkan rasa syukur, karena golonganmu tidak lagi bermimpi tentang ladang pasir, melainkan hidup dalam alam kenyataan: Kami adalah bangsa Indonesia! Tidak ada kekuatan yang dapat menyisihkan kami!"

Dengan keteguhannya memegang pendirian nasionalisme Indonesia, A.R. Baswedan sepenuh hati terjun dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Pengabdian dan perjuangan A.R. Baswedan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dibagi dalam beberapa topik:

  1. Sebagai salah seorang pembentuk bangsa (Nation Builder).
  2. Salah seorang Founding Fathers (Bapak Bangsa).
  3. Ikut berjasa dalam meraih pengakuan diplomatik pertama bagi Republik Indonesia.
  4. Salah seorang perintis pers nasional Indonesia.
  5. Tokoh multikultural yang memperjuangkan kesetaraan gender.
  6. Seniman dan agamawan.

Tinggalkan Komentar