Oleh: Suroto*

PERINGATAN hari koperasi nasional pada tanggal 12 Juli akan segera dilaksanakan. Biasanya diisi dengan terlalu banyak seremoni pemerintah. Sementara aktifitas refleksi seperti memikirkan sejarah koperasi hampir nihil.   

Biasanya salah satu bentuk perayaanya dilakukan ziarah ke makam R. Aria Wirjaadmadja, Patih Purwokerto yang dianggap sebagai perintis koperasi di Indonesia. Sebuah narasi sejarah koperasi yang salah dan terus direproduksi. 

Kesalahan ini dituliskan dalam buku-buku koperasi yang diterbitkan secara formal dan dijadikan bahan ajar tanpa telaah mendalam terhadap peristiwa sejarah sesungguhnya dan juga pemaknaanya. 

Orang menuliskan bahwa bapak perintis koperasi pertama di Indonesia adalah Raden Aria Wirdjaadmadja. Padahal sesungguhnya, tanpa mengecilkan peranan beliau, sesunguhnya beliau adalah bapak Bank Rakyat Indonesia (BRI), bukan perintis koperasi. 

Dalam peringatan Hari Koperasi pada tahun 1998, Menteri Koperasi dan PKM kala itu, Alm Adi Sasono, pernah berkonsultasi kepada Alm Ibnoe Soedjono, mantan birokrat intelektuil koperasi yang dianggap mengerti seluk beluk dan sejarah koperasi. Ketika dalam peringatan Harkopnas mau diadakan ziarah ke perintis koperasi, Ibnoe mengatakan baiknya dikoreksi bukan ke makam Aria Wirdjaadmadja melainkan ke makam de Wolf van Westerrode. 

Ibnoe yang kala itu sebagai ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I) secara tegas mengatakan bahwa sejarah koperasi harus diluruskan karena maknanya begitu mendalam. Munculnya BRI itu adalah justru sebagai upaya penjegalan terhadap inisiatif pendirian koperasi secara mandiri. 

Pada tahun 1895, sesungguhmya rintisan koperasi pertama itu adalah dilakukan oleh seorang Indo-Belanda yang bernama de Wolf van Westerrode. Beliau adalah Asisten Residen Purwokerto kala itu. 

de Wolf adalah anak muda idealis pertama yang kembangkan koperasi kredit model Raiffisien yang banyak berkembang di Eropa terutama di Belanda dan Jerman. Dia adalah atasan Aria Wirjaadmadja. 

Keterangan ini disebut dalam buku sejarah yang ditulis oleh Margono (1941), diafirmasi oleh Bung Hatta (1951) bapak Koperasi Indonesia lalu juga diperkuat dengan hasil riset Prof David Henly (2007) dari Leiden University. Tapi entah kenapa buku-buku yang beredar kemudian menyebut Patih Wirjaadmadja sebagai perintis koperasi. 

Sesungguhnya, de Wolf ingin pengembangan koperasi itu dibangun dengan kekuatan basis tabungan dari anggota-anggotanya dan dibangun dengan kekuatan kemandirian serta solidaritas anggota. Tapi oleh atasan de Wolf kala itu dilarang. Karena hal ini akan menyebabkan kemandirian ekonomi yang kemudian ditengarai akan menimbulkan keberanian politik kaum pribumi untuk melawan pemerintah Kolonial Belanda. 

Kemandirian ekonomi dianggap akan menimbulkan keberanian politik pribumi dan dengan demikian akan dianggap sebagai bumerang yang bahayakan pemerintah kolonial. 

Bukti yang memperkuat dalil ini adalah statistik yang dikompilasi oleh JS Furnival dalam " Ekonomi Majemuk"nya yang menyebut bahwa "hulp spaarken bank "atau bank berbantuan yang sumber uangnya berasal dari kas negara yang begitu besar digelontorkan. Uang koperasi sebesar 0.6 juta florin (Golden) dioposisi dana pemerintah sebanyak 376 juta florin. 

Kalau mau menghargai ide dan pemikiran koperasi dan menyebut sebagai perintisnya di Indonesia, sesungguhnya adalah de Wolf. Ini bukan hanya soal peringatan sejarah dan penziarahan, tapi secara substansial ketika kita ingin memetik pelajaran dari sejarah maka sesungguhnya buah pemikiran de Wolf lah yang layak dihargai sebagai perintis koperasi di Indonesia. 

Dalam peristiwa sejarah tersebut kita dapat belajar, bahwa kemandirian ekonomi itu sangat penting artinya. Bukan saja menjadikan kita bermartabat, tapi juga berdaulat. 

Sejarah koperasi ini juga mengingatkan pada kita, bahwa kita tidak sedang dalam kondisi yang merdeka, kita masih dalam cengkeraman penjajahan baru yang kuasai kehidupan sosial ekonomi politik kita. 

Pelajaran sejarah ini penting, dan dari sejarah ini kita mustinya belajar. Kenapa koperasi di Indonesia sampai hari ini belum berkembang dengan baik, karena masyarakat dalam pola pengembangan koperasinya itu lebih banyak bergantung pada bantuan pemerintah. Bahkan sudah dalam situasi sindrom ketergantungan yang tinggi hingga hilang prakarsa kemandirian masyaeakat untuk membangun koperasi secara natural. Sebuah ketergantungan yang tinggi yang dipolakan sejak jaman Kolonial. 

Masihkah sesi ziarah ke makam Aria Wirjaadmadja yang dianggap sebagai perintis koperasi akan dilakukan dalam sesi peringatan Harkop? Kalau ya, kita memang tidak banyak mau belajar dari sejarah dan untuk itulah kita mungkin hingga hari ini masih terus akan mengulang sejarah yang salah itu. 

Saat ini, sejarah seperti berulang, Menteri Koperasi, Teten Masduki, dan pejabat koperasinya justru bela Holding Ultra Mikro yang akan dipimpin oleh BRI dengan gabungan PNM dan Pegadaian. 

Hukum sejarah memang begitu, mereka yang melupakan sejarah akan dihukum dengan cara mengulangi kesalahan lagi.  [***] 

*) Peserta Peneliti Sejarah Koperasi Dunia, Stockholm, 2011