telusur.co.id - PT PLN (Persero) diharapkan mampu menyediakan listrik secara cukup, andal dan efisien. PLN jangan sampai jatuh pada lubang yang sama, yaitu mengulang pengalaman pahit dan kesalahan pada tahun-tahun sebelumnya.
Hal itu disampaikan anggota Komisi VII DPR Mulyanto menyambut HUT PLN ke-76, pada 26 Oktober 2021.
"Permintaan saya yang sekaligus harapan masyarakat kepada PLN adalah agar tarif listrik murah terjaga dan tidak byar-pet (listrik berkedip-kedip). Jangan hanya disebabkan karena pohon sengon, terjadi black-out listrik se-pulau Jawa," kata Mulyanto, Selasa (26/10/21).
Menurut Mulyanto, posisi PLN sangat strategis. PLN diberi kewenangan negara untuk mengelola ketenagalistrikan mulai dari produksi hingga distribusi, single buyer and seller.
Karena itu, kondisi PLN harus bisa lebih baik setiap tahunnya. Dari sisi tarif, kata Mulyanto, listrik PLN memang lebih murah dibanding Singapura, Thailand, Filipina, bahkan Kamboja. Namun jika dibandingkan dengan Malaysia, Vietnam atau bahkan Laos, listrik PLN masih jauh lebih mahal.
Bahkan harga listrik di Malaysia hampir setengah dari harga listrik PLN. "Berbeda dengan Indonesia, Malaysia selain menerapkan tarif listrik progresif, mereka juga menerapkan kebijakan dimana tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga lebih murah dibandingkan dengan harga listrik untuk bisnis," ucapnya.
"Di kita terbalik, tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga lebih mahal dibandingkan tarif listrik untuk bisnis," sambungnya.
Di usia yang semakin matang ini, Mulyanto sangat berharap PLN benar-benar dapat menarik hikmah dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Jangan sampai terulang kesalahan yang serupa.
Sebelumnya, karena Pemerintah salah menetapkan asumsi pertumbuhan permintaan listrik (over estimated), maka PLN menjadi korban. Hingga kini, dampaknya masih terasa berat.
Melalui program Fast Track tahap I (sebesar 10 GW), Fast Track tahap II (sebesar 18 GW), serta program pembangkit 35 GW, penyediaan listrik menjadi surplus hampir mencapai 50% untuk pulau Jawa dan Sumatera.
Namun, karena klausul TOP (take or pay) dalam kontrak listrik di atas, PLN tetap harus membayar kepada produsen listrik sawsta (IPP), meski listrik tersebut tidak dibutuhkannya.
Naasnya, untuk keperluan investasi tersebut, utang PLN membengkak mencapai Rp 500 triliun. Di samping menyisakan 34 proyek mangkrak, dengan total kapasitas sebesar 627,8 MW yang merupakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
"Akibatnya, hari ini keuangan PLN tertekan dan kesulitan untuk pendanaan investasi bisnisnya," lanjut Mulyanto.
Karenanya, terkait Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang baru disahkan Pemerintah, Mulyanto mengingatkan PLN agar lebih cermat dalam melaksakannya.
Dalam RUPTL itu Pemerintah berencana menambah kapasitas baru sebesar 40.575 MW dalam rentang waktu 10 tahun. Porsi listrik dari sumber EBT sebesar 52 persen dan dari sumber fosil sebesar 48 persen. Sementara itu kontribusi IPP sebesar 65 persen, sedang sisanya 35 persen dibangun oleh PLN.
Mulyanto minta dalam implementasi RUPTL 2021-2030 nanti, PLN tidak lagi mengulangi kesalahan di masa lalu. Jangan sampai tambahan porsi listrik dari sumber EBT yang mencapai 52 persen dan kontribusi IPP sebesar 65 persen ini menyebabkan harga listrik menjadi mahal dan subsidi membengkak. Apalagi kalau tarif listrik jadi dikendalikan oleh pembangkit swasta.
"Jangan sampai rencana usaha ini, muncul karena terpaksa atau didikte Pemerintah atau sekedar gagah-gagahan berlabel green, namun tidak implementatif dan efisien," tukas Wakil Ketua Fraksi PKS DPR ini.[Fhr]