telusur.co.id - Fenomena bendera One Piece yang viral jelang peringatan HUT RI ke‑80 memicu perdebatan tajam. Simbol bajak laut yang identik dengan karakter Luffy itu dikibarkan di beberapa lokasi dan ramai di media sosial. Sebagian pihak menilainya sebagai tindakan yang merusak kesakralan Merah Putih. Namun, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer punya pandangan berbeda.
Ditemui usai menghadiri sebuah forum diskusi di Jakarta, Noel — sapaan akrabnya — mengatakan bahwa fenomena ini harus dipahami dulu konteksnya sebelum buru-buru memberi stigma. Menurutnya, anak muda Indonesia tumbuh dalam budaya populer yang sarat simbol dan cerita fiksi.
“Anak-anak ini hidup di dunia yang penuh simbol dan cerita seperti One Piece. Mereka menyukai semangat kebebasan, persahabatan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan yang digambarkan di sana,” kata Noel kepada wartawan. “Ketika mereka pakai simbol itu, bukan berarti mereka benci Indonesia. Mereka hanya mencari cara menyampaikan perasaan mereka.”
Noel menegaskan, Merah Putih tetaplah lambang negara yang sakral dan tidak boleh digantikan. Namun, ia melihat aksi pengibaran bendera One Piece bukan upaya untuk menyaingi simbol negara, melainkan tanda keresahan yang perlu didengar.
“Yang mereka lakukan itu bukan pemberontakan. Mereka hanya ingin didengar. Sama seperti di One Piece, banyak karakter memberontak bukan karena benci, tapi karena kecewa dan ingin perubahan,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa tugas negara bukan hanya menegur, tetapi juga mendengar dan merangkul. Menurutnya, jika nilai persahabatan, keadilan, dan solidaritas hanya ditemukan anak muda dalam cerita fiksi, itu pertanda negara perlu bercermin.
“Kalau anak-anak muda merasa nilai-nilai itu tidak ada dalam kehidupan nyata, itu artinya kita harus evaluasi cara kita hadir. Energi mereka jangan dimatikan, tapi diarahkan ke hal positif,” katanya.
Noel juga mengkritisi cara pandang sebagian pejabat yang langsung menganggap fenomena ini sebagai ancaman. Menurutnya, langkah represif justru akan memperlebar jarak antara negara dan generasi mudanya.
“Mereka bukan anti-negara. Mereka hormat Merah Putih, tapi kecewa pada cara pengurus negara bekerja. Itu wajar. Justru karena cinta itulah mereka ingin perubahan,” kata Noel. “Kalau kita buru-buru memberi stigma, kita akan kehilangan mereka.”
Ia menutup pernyataannya dengan ajakan agar semua pihak lebih bijak melihat dinamika generasi muda.
“Pahami dulu konteksnya. Ini bukan soal bendera One Piece melawan Merah Putih. Ini soal anak-anak muda yang mencari tempat di negeri mereka sendiri. Kalau kita mau mendengar, rasa kecewa itu bisa kita ubah jadi energi positif,” pungkas Noel.