Indonesia: Negara Otoritarian Baru? - Telusur

Indonesia: Negara Otoritarian Baru?


Oleh :  DR.TB.Massa Djafar*

Tesis Huntington (1991), dalam analisis gelombang demokrasi ketiga, demokrasi sebagai sistem politik atau sistem pemerintahan terbaik, dibandingkan dengan sistem Monarkhi, Theokrasi, Fasis, Sosialis, Komunis. Kesemua sistem tersebut punya ciri yang sama, yaitu watak authoritarian, kekuasaan otoriter.
 
Ciri sistem demokrasi ia ditopang oleh apa yang disebut sistem nilai demokrasi universal, seperti nilai kebebasan, persamaan, keadilan adalah nilai universal. Sistem nilai universal ini kemudian diklaim oleh penganut liberalism-kapitalisme dan telah mengubah peradaban dunia. Ditandai dengan kemajuan di negara-negara Eropa Barat dan Amerika. Sehingga, Schumpeter (1950) menjusfikasi, demokrasi adalah anak kandung kapitalisme, ia tumbuh subur dalam sistem kapitalisme. Ia ditopang oleh nilai-nilai liberalism dan struktur sosial ekonomi kapitalis.  
 
Pada abad 20 perdebatan para ahli, kerap mempertanyakan, bahkan menolak klaim demokrasi ala Amerika dan Eropa Barat. Karena, lahirnya negara-negara baru menunjukkan realitas dan perkembangan sejarah yang berbeda, sehingga wujud demokrasi bukan entitas tunggal. Terutama bagi negara-negara di benua Asia dan  Afrika. Pertanyaan lain kerap muncul, apakah demokrasi bisa tumbuh dan berkembang secara sehat dan stabil, sebagaimana pengalaman negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Lalu, bagaimana pengalaman demokrasi di Indonesia, mengingat separuh perjalanan negara bangsa ini bereksprimen demokrasi, hingga perkembangan muthakhir dibawah pemerintahan Joko Widodo.  
 
Pilih Demokrasi, Hasilnya Authoritarian
 
Ketika founding fathers merumuskan konsepsi negara jelang proklamasi kemerdekaan, sudah menjawab corak dan bentuk negara dan sistem pemerintahan ketika dalam merumuskan ideologi Pancasila dan konstitusi Undamg-Undag Dasar 1945. Indonesia tidak memilih model sosialisme komunisme dan liberalisme kapitalisme.  Rasionalitas dan narasi politik ini pula menjadi garis atau prinsip politik luar negeri Indonesia. Juga, tidak memilih model theokrasi apalagi monarkhi. Para founding fathers mendesain sistem demokrasi khas Indonesia, apa yang disebut Demokrasi Pancasila. Jika kita mengkaji secara mendalam, dengan pendekatan normatif, corak demokrasi Indonesia  menggambarkan sebuah intepretasi syarat dengan nilai- nilai falsafati ketimuran. Nuansa dan warna relegius yang cukup kental, pengaruh warna budaya masyarakat Indonesia.  
 
Semua nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah menjadi sumber nilai, core values demokrasi Pancasila. Seperti, nilai-nilai relegius, nilainilai kolektivitas, gotong royong atau "musyawarah mufakat" adalah kultur genuin bangsa Indonesia. Yang kemudian dibangun dalam kerangka sistem demokrasi Pancasila, berbasis pada sila ke 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan melalui permusyawaratan dan perwakilan.  
 
Sila ke empat diilhami oleh tradisi demokrasi rakyat Indonesia, atau tradisi musyawarah dengan semangat gotong royong atau nilai-nilai kolektititas yang hidup dan mengakar di tengah masyarakat Indonesia. Dalam kerangka pembangunan politik, nilai-nilai Pancasila sebagai basis nilai subtantif yang dapat ditransformasikan kedalam praktek demokrasi Pancasila. Namun dalam sejarah perkembangannya, justru nilai-nilai sistem demokrasi belum diimplementasikan secara konsisten dan berkesinambungan. Sehingga sistem politik di negeri ini kerap gonta ganti. Selain itu, yang luput perhatian adalah tidak hanya soal transformasi nilai-nilai demokrasi, tetapi apakah struktur sosisal ekonomi mendukung terhadap tumbuh dan menguatnya sistem demokrasi Pancasila ?
 
Eksperimen demokrasi liberal parlementer 1945-1959 harus diakui fotocopy demokrasi Barat. Sehinga, bangunan demokrasi tidak kompatibel dengan kultur bangsa Indonesia. Liberalisme politik dengan kehadiran multi partai, membuka ruang koflik sosial politik, khususnya pada lapisan elit politik. Secara tidak langsung mereka terjebak pada individualisme yang terjelma dalam sikap dan pandangan sempit kelompok (partai). Sehingga, pemerintahan tidak dapat berjalan efektif  dan tidak stabil. Sistem liberalism politik dikecam oleh Sukarno, sehingga ia mengubur parpol, menggantikannya, dengan Demokrasi Terpimpin.  
 
Meskipun pergantian ke Sistem Demokrasi Terpimpin, dengan berbagai argumen objektif, namun dari perpektif teori kekuasaan tidak lepas dari kepentingan Sukarno, untuk mengkonsentrasikan kekuasaan dalam genggaman tangannya. Sentralistik kekuasaan Sukarno, kemudian menjadi ciri-ciri authoritarian Demokrasi Terpimpin. Ditandai Kekuatan oposisi, seperti PSI dan Masyumi dibubarkan dengan alasan sangat politis.  
 
Bangunan politik Demokrasi Terpimpin diberikan legitimasi kultural politik dan jusfikasi idelogis. Manifesto Undang-Undang Demokrasi Ekonomi (Manifesto Usdek). Selain itu, pemberian gelar Presiden seumur hidup, pemimpin revolusi kepada Sukarno. Demokrasi Terpimpin menghasilkan sebuah sintesa baru. Yaitu, pemeritahan sipil telah mengubah dirinya menjadi Pemerintah Otoriter. Celakanya, argumen-argumen untuk menjusfikasi sistem otoriter tidak berbanding lurus dengan hasil yang dicapai. Yang terjadi justru, rejim penguasa sedang melawan krisis legitimasi politik. Rakyat menolak konsepsi Nasionalisme, Agama dan Komunis (NASAKOM), serta kegagalan pembangunan ekonomi hingga Sukarno jatuh.
 
Lahirnya rejim Orde baru merupakan anti tesis, koreksi terhadap Demokrasi Terpimpin. Komitmen pemeritah Orde Baru, ingin menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Pembangunan demokrasi Pancasila menjadi sistem politik orde baru dilakukan dengan berbagai kebijakan sangat sistematis.  Yaitu, melalui pelembagaan politik, mulai dari penyederhanaan parpol hingga penyeragaman azas Orsospol. Pelembagaan politik melalui paket Undang-Undang Orsospol, diperlukan untuk menjamin stabilitas politik guna mendukung pembangunan nasional. Pendekatan keamanan diterjemahkan sebagai upaya untuk menjaga investasi dan pembangunan ekonomi.  
 
Pelembagaan politik memiliki pisau bermata dua, di satu sisi terjadi proses sentralistik kekuasaan ditangan Presiden Soeharto dan disisi lain terjadi pelemahan kekuatan politik diluar pemerintah.. Hal menarik adalah baik Demokrasi Terpimpin maupun Demokrasi Pancasila versi Orde Baru memiliki kesamaan, ujungnya melahirkan pemerintahan otoriter. Meskipun, konsolidasi kekuasaan di tangan Presiden bukan berarti, dan dimasudkan pada penguatan sistem presidensial sebagaimana yang dimaksud oleh konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Dimana kedaulatan rakyat tetap terpelihara dan memainkan fungsi kontrol dalam penyelenggara pemerintahan. Faktanya, kebalikannya, mematikan mekanisme check and balances, sistem politik yang terbangun adalah authoritarian model.
 
Perbedaanya, pada masa Demokrasi Terpimpin kekuatan kelompok kepetingan, para pemodal (Kapitalis) domestik masih dalam kontrol negara. Tidak dominan ikut menentukan pengambilan keputusan politik. Peranan para kapitalis, tumbuh subur dimasa pemerintah Orde Baru. Sejak awal sudah terbangun relasi bisnis pengusaha Cina  dengan beberapa perwira Angkatan Darat. Robinson (1981), Masoed (1989) menyimpulkan rejim orde baru, adalah representasi kekuatan modal, birokrat, tentara dan teknokrat. Dalam studi Winters (2014), agak berbeda, ia mengatakan bahwa rejim Orde Baru, bukan sekedar model authoritarian, tapi kepolitikan pertahanan kekayaan.  
 
Namun, dipenghujung kekuasaan Presiden Soeharto melakukan akomodasi islam politik, dan . mulai membatasi peran konglemerat. Semakin mendorong peranan Koperasi dalam upaya menjawab kritik terhadap Trilogi Pembangunan. Semula prioritas utama  kebijakan Stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Kemudian berubah,  pemerataan kebijakan prioritas, pertumbuhan dan stabilitas politik. Selain itu, tekanan liberalisasi global pemerintah Orde Baru tetap bertahan dan mempertahankan kebijakan ekonomi negara. Meskipun, Presiden Soeharto dibawah terpaan krisis monoter, akhirnya tunduk dan menyerah kepada liberalisasi dibawah tekanan IMF.  
 
Gagal Reformasi, Lahir Otoritarian Baru ? 

Sebagian berpendapat 20 tahun usia reformasi belum menunjukkan hasil signikan. Pemberantasan korupsi belum menimbulkan efek jera, Jumlah pejabat pemerintah terkena kasus korupsi meningkat. Selain itu, pemberantasan korupsi masih tebang pilih hanya menjangkau menengah bawah. Sementara kelas kakap tak terjamah. Kenyataan ini ada korlesai, mengapa Indeks Persepsi Korupsi masih rendah, dari 35 ke 36. Bandingkan dengan negara Singapura, Malaysia, Thailand.   
 
Fenomena lain, yang sangat menyolok, menguatnya oligharki ditengah proses pembangunan demokrasi. Oligharki telah tumbuh sejak masa Orde Baru. Pada era reformasi, kelompok oligarki berhasil menempatkan dirinya sebagai penentu arah kebijakan dan penguasaan sumber-sumber ekonomi. Oligharki menjadi Bandar politik, bahkan sebagian parpol dalam kendali langsung kelompok oligharki. Peranan partai politik dan parlemen semakin lama menunjukkan gejala power less. Karena itu, sulit dibantah terhadap suara kritis, menilai pemilu yang tidak demokratis, tidak Jurdil mustahil adanya demokrasi berkualitas atau apa yang disebut quasi demokrasi, demokrasi palsu.  
 
Masih tesis Huntington, demokrasi yang masih ranum tidak menutup kemungkinan, ia bisa kembali ke otoritarian, sembagaimana sejarah politik Amerika Latin. Tesis Huntington juga menguatkan proposisi demokrasi pasca perang dingin. Misalnya, ia sebutkan Indonesia tidak memiliki peluang tumbuh menjadi sebuah negara demokrasi, karena nilai-nilai islam tidak mendukung demokrasi. Tesis Huntington dalam konteks peran agama (islam), selain lemah, juga bertolak belakang dengan sejarah perkembangan politik dan demokrasi Indonesia. Bukankah, sejak masa kolonial, Islam menjadi kekuatan anti kolonial, anti tesis terhadap otoritarian sepanjang sejarah, baik masa Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, hingga masa era reformasi..  
 
Yang menarik dan perlu dicermati periode kedua pemerintahan Jokowi, menunjukkan gejala konsolidasi kekuasaan authoritarian dan melindungi kepentingan pemodal. Gejala authoritarian tersebut misalnya, bisa dilihat dari gejawal, pemberlakukan Undang-undang Darurat Sipil. Selain itu, ada 7 Paket Undang-Undang, antara lain : 1. Undang-Undang Tax Ammnesti (Pemutihan harta korupsi).2 Undang-Undang KPK (pengampunan koruptor BLBI), 3.Perpu No.1 Tahun 2010, kemudian disahkan Undang-Undang. 4.Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 5 RUU Omnibus Law. 6. RUU Pancasila untuk mengantisipasi dan kriminalisasi bagi gerakan anti pemerintah sebagai  anti Pancasila. 7. Peraturan Pemerintah No.17 tentang PNS dan Dosen. Pelemahan KPK Beberapa produk kebijakan, dalam bentuk Undang-Undang Perpu, Peraturan Pemerintah. Perpu penanggulangan Covid 19, ditenggarai membypass kewenangan DPR dalam hal budgeting dan fungsi kontrol.  
 
Paket Kebijakan Politik tersebut, dipandang sebagai upaya pemerintah membajak instrumen hukum (Peraturan Undang-Undangan) sebagai alat kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dan  menunjukkan beberapa kecenderungan. Antara lain mematikan fungsi parlemen, check and balaces. Seiring dengan upaya kosentrasi  kekuasan ditangan presiden. Lumpuhnya peran media massa sebagai pilar demokrasi. Kritik sosial diberangus dengan “mempolisiskan” para aktivis yang besura kritis, seperti Said Didu, penangkapan seorang dai, ustad Habib Bahar Smith.  Bahkan jauh sebelumnya “pembunuhan politis” terhadap Habib Rizieq Shihab menggunankan pasal karet. Pembungkaman suara kampus. Misalnya ancaman pembubaran diskusi dan bahkan ancaman nyawa menimpa Ni’matul Huda Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII). Dianggap sebagai tindakan makar oleh para pendukung kekuasaan. Dan masih banyak kasus lainnya, yang menimpa suarasuara kritis seputar pemenangan Pilpres 2019.  
 
Membaca tren prilaku pemerintahan Jokowi sukar dibantah, untuk tidak mengatakan, bahwa rezim Jokowi sedang menuju transisi pemerintah otoriter. Kesimpulan ini didukung oleh banyak alasan, sebagian sudah dikemukakan. Ini menguatkan proposisi Huntington, strategi demokratisasi di Indonesia, bisa dinilai pelemahan atau bahkan dinilai gagal. Dimana kekuatan reformasi akhirnya kalah atau dikalahkan. Faktanya, gerbong reformasi diisi oleh penumpang gelab dan agenda kepentingan terselubung. Yaitu, kepentingan para kekuatan modal (konglomerat hitam), para 9 Naga, elit-elit aparat kemanan stok lama, nyusup dalam lingkaran kekuasaan. Mereka, sangat anti demokrasi dan reformasi. Para elit partai atau para politisi, aktivis politik opurtunis semula penggerak reformasi, kemudian jadi penjahat politik.  
 
Karena itu, tren otoritarian sukar dielakkan, political trust rezim Jokowi semakin merosot akibat kegagalan ekonomi, pemberantasan korupsi dan melindungi kesejahtreraan rakyat. Hegemoni para oligarki turut mempertahankan kekuasaan dan kepentingan sumber ekonomi. Ditambah, ketergantungan hutang pada Cina. Sisi ini mengulangi ciri kekuasaan Orba, yaitu orientasi dan kebijakan rezim Jokowi melindungi kepentingan investor negara Cina tak terelakkan. Meskipun harus mengalahkan kepentingan rakyat dan kedaulatan NKRI. Serta membunuh benih-benih demokrasi.
 
Bagian akhir tulisan ini, menjadi kegelisahan para kaum reformis di negeri ini sebagai kelompok minoritas dalam percaturan politik, mengingatkan kita pada tesis Levitsky & Ziblatt (2019), How Democracies Die, bagaimana demokrasi mati justru dilakukan oleh rezim sipil pemenang Pemilu.

)* Penulis adalah Akademisi dan aktivis Masyumi Reborn


Tinggalkan Komentar