Oleh: Suroto*

Jika kita melemparkan diri ke waktu di masa lalu, lima, sepuluh, atau dua puluh tahun lalu, maka kita akan mendapati sesuatu yang sebetulnya sama kondisinya. Sebut saja fakta tentang kondisi kemiskinan. 

Ternyata prosentase jumlah kemiskinan ekstrim kita dari rezim ke rezim angkanya hampir permanen dan stagnan. kurang lebih ada di angka 10 persen. Padahal kita memilih pemimpin itu utamanya untuk menghapuskan masalah paling serius dalam berbangsa dan bernegara tersebut. 

Dari fakta tersebut kita dapat banyak pelajaran. Fakta tersebut mengungkap bahwa calon pemimpin di republik ini banyak yang ternyata hanya pandai berjanji, dan menjual harapan kepada kita. 

Mereka berjanji akan segera menghapus kemiskinan dan kemelaratan pada masa kampanye, tapi setelah terpilih ternyata mereka lupa pada janji tersebut. 

Seorang calon pemimpin itu ternyata suka mengerjakan apa yang dia tidak katakan dan mengatakan apa yang sebetulnya tidak dia kerjakan. 

Janjinya pada waktu kampanye ingin mengembangkan ekonomi rakyat, ingin jadikan koperasi sebagai soko guru ekonomi untuk mengikis kemiskinan. Tapi kenyataanya yang dilakukan adalah, setelah terpilih melayani konglomerat kaya. Mendukung apa yang jadi kemauan konglomerat itu dalam menumpuk numpuk harta dan penuhi hasrat keserakahanya. 

Koperasi bukanya dijadikan soko guru tapi jadi soko pinggiran saja tidak. Ibarat makanan di mulut adalah hanya jadi selilit. 

Saya tidak perlu membentangkan angka angka statistik disini. Sebab angka angka itu tentu hanya akan membuat rasa kecewa anda menjadi semakin dalam. Saya tak ingin menyakiti perasaan anda. 

Kita sebagai rakyat yang katanya memegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini tentu akan menjadi sangat marah kalau mendapati fakta fakta tersebut. Menjadi geram dan bisa jadi menjadi sakit jiwa. 

Tanpa kita sadari, sebagai manusia biasa kita memang sangat mudah untuk dipengaruhi oleh orang lain. Seseorang itu mudah sekali untuk mempengaruhi kita dengan berbagai cara. 

Tanpa sadar kita dihegemoni, dipengaruhi dengan cara cara piskologis yang bahkan mungkin membuat hati kita tanpa sadar menerima dengan mudah janji janji para pemimpin penuh bualan itu..

Mereka datang pada kita dan masuk ke dalam alam bawah sadar kita dengan berbagai cara. Mereka membuat tampilan manipulatif, tindakan dan juga upaya upaya agar kita terpengaruh karenanya. 

Mereka itu biasanya masuk ke dalam alam pikiran kita dengan menjual harapan. Mengandai andai sebuah mimpi. Mimpi lepas dari kemiskinan. Mimpi hidup cerah serba berkecukupan. 

Seorang jelata yang hari hari hidupnya tak cukup untuk makan yang layak, sudah membayangkan betapa mimpi akan segera makan enak itu akan segera terealisir di depan mata. Membayangkan jika memilih pemimpin itu maka akan segera makan cukup tiga kali sehari. Mereka seakan telah memberikan kepastian akan masa depan yang cerah. Bebas dari tagihan rentenir yang melilit hidupnya dan menagih setiap pagi, siang, sore dan malam. 

Mereka tak hanya berjanji dan memberikan mimpi tentang suatu keadaan lebih baik di masa depan, tapi juga biasanya ditambah dengan berikan penghiburan, atau sebuah pelibatan emosional kita untuk memastikan janji itu akan dapat dilakukan oleh pemimpin itu. 

Mereka misalnya akan mendramatisir diri dengan cara tunjukan wajah lugu, lalu blusukan masuk gorong gorong atau memaki maki pejabat anak buahnya yang tak perlihatkan kegesitan dalam melayani rakyat. 

Gestur, gaya, dan cara bicara mereka pengaruhi alam bawah sadar rakyat itu dilakukan dengan dibuat seakan natural dan tulus. Semakin pandai memainkan peran maka semakin besar kans mereka itu untuk dipilih. 

Mereka, dengan drama yang telah diskenariokan itu seakan telah membuat rakyat jelata, menjadi signifikan. Menjadi seakan akan merasa dipentingkan. Walaupun di belakang layar mereka tersenyum sembari berkata dalam hati betapa mudah dan bodohnya rakyat itu mereka kibuli. 

Mereka membuat rakyat jelata seakan merasa dicintai, menjadi merasa related, terkoneksi. Mereka seakan telah memberikan kontribusi dan dorongan semangat bagi kita untuk tumbuh. Padahal manipulatif semua. 

Sejarah seperti itu bukan hanya berlaku di Indonesia, di republik ini. Tapi juga terjadi di negara lain. Tidak hanya terjadi di masa sekarang tapi juga di masa lalu. 

Belajar dari Masa Lalu

Bicara masa lalu, ada satu hal yang menarik bicara soal bagaimana cara rakyat melepaskan jerat kemiskinan itu di masa lalu. Peristiwanya adalah pada tahun 1840 an, di Jerman.  

Pada waktu itu hiduplah seorang Walikota yang bernama Frederick Wielheim Raiffesien. Dia menjadi Walikota di beberapa tempat. Flammersfeld dari tahun 1845 di Weyerbusch, kemudian 1848 jadi Walikota di Flammersfel dan jadi Walikota di Heddesdorf dari tahun 1852 hingga1865. 

Walikota itu awalnya memiliki keprihatinan yang tinggi melihat rakyatnya yang miskin. Kemudian dia mengajak orang orang kaya menyumbang orang miskin di kotanya dengan mendermakan hartanya untuk menyumbang roti buat si miskin. Dia buat perkumpulan masyarakat roti (bread society). 

Dia buat pabrik roti yang sangat besar. Orang orang miskin itu diberikan roti secara cuma cuma dari sumbangan orang kaya. Tapi dia menjadi sangat kecewa. Sebab orang orang miskin itu bukan berkurang malah semakin banyak. Antrean untuk menerima sumbangan roti semakin hari semakin panjang. 

Lalu tibalah dia pada satu refleksi dan mengambil kesimpulan. Rakyatnya itu miskin karena sebab tiga hal : mereka terjerat rentenir, kemudian ternina bobok oleh janji para politisi, dan yang terakhir adalah yang dia telah buktikan sendiri, kemiskinan langgeng karena bergantung pada derma atau belas kasihan orang lain. 

Lalu dia membuat sebuah uji pemikiran untuk memerangi hal tersebut. Rakyatnya yang miskin itu diajak untuk melepaskan kemiskinan dengan cara menolong diri mereka sendiri dengan cara bekerjasama di antara mereka. Dia keluarkan resep : menolong diri sendiri, mengelola hidup sendiri, dan bertanggungjawab terhadap diri sendiri bukan percayai janji politisi. 

Dia ajak orang orang miskin di kotanya membangun sebuah koperasi kredit yang dimodali dari uang yang dikumpulkan dari tabungan uang kecil dari orang orang miskin itu sendiri. Lalu dipinjamkan diantara mereka untuk kembangkan usaha usaha produktif. Koperasi itu mereka kelola sendiri juga secara demokratis setiap orang punya hak suara sama. 

Ternyata betul, apa yang diimpikan ternyata menjadi kenyataan. Rakyat yang dipimpinnya lepas dari kemiskina dan hingga saat ini bahkan lembaga yang dia bangun itu jadi kekuatan sosial ekonomi bangsa Jerman. 

Lembaganya menjadi langgeng sampai hari ini dan berpengaruh sangat signifikan bagi perkembangan Jerman baik sosial maupun ekonomi. Dari segi ekonomi, bank yang dimiliki langsung oleh rakyat yang dikelola secara demokrtais satu orang satu suara itu mendominasi lembaga keuangan di Jerman. Koperasi kredit menyumbang 40 persen sektor keuangan mereka dan jika ditambah model bank tabungan yang juga adopsi prinsip koperasi maka keseluruhanya jadi 74 persen di Jerman. Sisanya adalah bank swasta kapitalis dan milik negara. 

Ada pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman di Jerman tersebut. Ternyata masyarakat yang menjadi besar dan memiliki kemampuan untuk melalukan perubahan itu bukan mereka yang mudah dimanipulasi pemimpin pemimpin mereka, melainkan yang memiliki daya nalar kritis dan juga mampu membangun kekuatan mereka sediri. Mereka menjadi kuat karena rakyat bersolidaritas dan akui kesetaraan dalam soal mengambil keputusan soal hidup mereka sehari hari  

Saat ini sebetulnya model lembaga ini sudah ada di Indonesia. Dirintis oleh seorang Pater/ Pastur yang bernama Albrecht Kariem Arbie pada tahun 1970 an. Lembaga itu diberi nama Koperasi Kredit atau Credit Union. 

Anggotanya saat ini sudah 4,3 juta orang dan tabungan anggotanya sebanyak 42 trilyun di 918 koperasi dan tersebar di hampir setiap propinsi di Indonesia. Gerakan ini bahkan atas inisiatif Robby Tulus, orang kepercayaan Pater Albrecht, saat ini mulai ada yang memekarkan diri menjadi banyak koperasi di sektor riil seperti konsumsi, distribusi, jasa perhotelan, pertanian, agro dan eko wisata dan lain lain yang dinaungi satu federasi yang bernama Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR). Masih kecil memang, tapi tentu bukan tidak mungkin, suatu saat kelak bisa menjadi pendorong perubahan di republik ini. [***] 

*) Ketua AKSES dan CEO INKUR